One

4.2K 234 15
                                    


Terkadang, sesuatu yang mengganggumu adalah sesuatu yang paling kau inginkan dalam hidupmu.


Sesaat setelah Arga mengatakan kata-kata yang sulit dimengerti, aku tertawa, pelan.

"Menikah?" tanyaku sambil tersenyum mengejek.

"Iya,"

"Kamu sama Oliv?"

"Bukan. Kintan sama Arga."

Ya Tuhan! Apakah orang didepanku ini tidak memiliki selera humor yang lebih bagus? Receh banget humornya. Jangan-jangan dia admin line itu.

"Gak punya bahan humor yang lain, Ga? Kamu kecapekan ya gara-gara urusan investor kemarin? Kalo misalkan ka—"

"Enggak Kintan, aku serius," potongnya sambil menaruh kotak beludru berwarna merah marun diatas meja. Kenapa kotak itu disandingkan dengan donatku??

"Tapi Ga, ini menikah. Me. Ni. Kah."

"Kamu dikasih waktu 2 bulan sama Ayah. Masih lama sebelum ijab kabul. Jadi, santai aja." Jelasnya datar sambil melihat ke arah lain. Santai jidatmu, batinku kesal. Dia melonggarkan dasinya dan meneguk kopi sampai tandas. Tadinya panas, sekarang menguap, dingin.

"Aku mau balik ke kantor. Udah jam 3. Kamu pulang aja,"

"Yaudah enak, aku bisa tiduran dirumah,"

"Tapi aku anter kamu pulang."

Dasar bossy. Hingga akhirnya, kami berakhir di mobil dalam diam, tanpa suara. Aku juga tidak berani menyalakan musik. Jangan pernah mengganggu Arga yang sedang diam.

20 menit perjalanan seperti perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Kenapa selama ini, sih?

"Kin, jangan mikirin lagi tentang itu. Masih ada 2 bulan. Yang penting nanti—"

"Arga, stop! Ini menikah, Ga! Bisa kamu bayangin gak sih kalo nikah tanpa landasan cinta yang kuat? Tau rumah tanpa pondasi gak? Kaya gitu, Ga! Kamu pikir rumah tangganya nanti bakalan kokoh dan bertahan lama?" Akhirnya uneg-uneg yang yang aku tahan dari tadi keluar, tapi sepertinya di waktu yang tidak tepat.

"Menikah itu sekali seumur hidup, Ga. Aku gak mau ada pernikahan kedua atau ketiga. Aku maunya sekali. Sama orang yang aku cintai..." Jelasku lirih di akhir. Arga diam menatapku. Tepat dimataku. Sial. Kalau gini kan aku yang jadi merinding disco.

"Gimana kalo aku buat kamu jatuh cinta sama aku?" Suara Arga dapat aku dengar jelas di telingaku karna wajahnya mendekat kearahku. Tepat didepan wajahku dan kedua tangannya ada dipundakku.

"Arga lepasin,"

"Gak. Sampe kamu ngomong iya," Balasnya dengan nada datar, lagi.

"Terserah kamu! Semau kamu lah, aku gak peduli!" Aku mencoba melepaskan tangan Arga dipundakku. Well, inilah kodrat sebenarnya. Tenaga seorang wanita tidak sebanding dengan pria. Percuma. Tangan Arga masih 'nangkring' dipundakku.

"Bilang iya dulu,"

"Kamu maksa banget sih, Ga?"

"Bilang iya makanya," paksanya lagi sambil meremas kedua pundakku.

"Oke! Oke! Aku setuju!!" Sentakku. Dengan sentakan itu juga, Arga kaget dan melepaskan tangannya. Well, mungkin dia baru pertama kali melihat seorang Kintan marah.

"Nah, gitu daritadi kan kamu gak perlu marah-marah," katanya santai sambil terkekeh pelan. Dasar bipolar.

"Makasih, aku pulang." pamitku sambil membuka pintu mobil dan tangannya berhasil menangkap tangan kananku lalu menariknya.

Cup...

Satu kecupan berhasil mendarat di dahiku. Kecupan?

"I'll take you tomorrow at 7. Be ready, okay?"

***

to be continued...





More Than WordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang