1

1K 104 7
                                    

Hari ini aku genap berusia 18 tahun. Tak ada lilin, tak ada balon, tak ada makan bersama... Cukup sepotong roti sisa yang kemarin kutemukan dipersimpangan jalan menuju salah satu kompleks perumahan mewah di Manchester. Roti dengan selai stroberi itu sangat menggugah selera makanku yang tak sempat terisi selama 3 hari sebelumnya. Pada salah satu sisinya telah terdapat jamur, namun kubiarkan. Benar-benar kubiarkan selagi kubisa.

Atmosfer kota ini membawaku jauh menuju indahnya imajinasi. Dalam gubuk sederhana ini, aku menerawang jauh menuju cakrawala mimpi tanpa batas. Pabrik bekas yang beralih fungsi menjadi gudang seakan menutupi mataku dari kerasnya dunia, yang sejatinya adalah kenyataan. Kubangun istanaku didalam gudang ini sendiri, bersama sebuah tong besar sebagai wadah tungku api. Jika terlintas pada benak manusia bahwa diriku adalah seorang tunawisma sialan yang senang mengambil hak orang lain, oh, tunggu sebentar. Namaku Jisoo, Kim Jisoo, wanita hebat sang penentang waktu. Dan satu lagi, aku suka selai stroberi.

Aku sempat mengenal dunia dengan baik bersama kedua orang tuaku. Tanah kelahiranku berada di Korea Selatan, dan jangan bertanya bagaimana tubuh kecil ini dapat terbang menuju Eropa. Namun, sebelum Tuhan memberi garis keras pada takdirku saat ini, biar kujelaskan.

Ayahku merupakan salah satu dari banyaknya pemegang berbagai proyek bangunan megah di Seoul, dan sangat memerhatikan waktu untuk keluarganya. Lalu ibuku, ia bekerja paruh waktu di suatu kedai makanan. Mereka hanya memiliki diriku, seorang gadis manis bersurai hitam dengan kelopak mata yang khas. Kami sempat merasakan kebahagiaan. Ayah yang baik dan ibu yang manis selalu menjadi dambaan setiap keluarga, bukan?

Namun, badai hinggap pada keluarga kecil kami. Seorang gadis berusia 12 tahun itu mendengar pekikan keras dari bibir ibunya yang sering kali ditikam benda tumpul oleh suaminya. Sial... Suara itu terus menghantui malam-malam tenangku. Rintihannya masih melayang didalam benakku sampai saat ini, walaupun tak terdengar cukup nyata. Hingga keduanya mengajakku pergi jauh menuju Eropa, dan meninggalkanku sampai membusuk. Kubiarkan Tuhan mengambil nyawaku kapan saja Ia inginkan.

Dan, kejutan! Tubuh kurus ini sudah menginjakkan usianya pada angka 18 tahun. Bahkan aku tak ingat kapan terakhir kali perut ini memakan gandum dan berbagai makanan kaya gizi lainnya. Aku tak peduli. Saatnya pulang ke istana!

-

Kulangkahkan kedua kakiku menuju permukaan tanah yang diselimuti oleh salju. Oh, ya, Desember telah memberiku salju yang cukup lebat, hingga atap gudang terkadang menjadi sangat dingin. Tak banyak orang tahu jika gudang tersebut adalah tempat tinggalku, dan sebagian orang lebih memilih untuk tak peduli. Lalu, selama tubuh ini belum terasa hangat, mataku akan sulit tertutup karena dinginnya udara yang menusuk. Tetapi jalanan kota hari ini cukup menghangatkan hatiku.

Seng-seng bekas menutupi sebagian mulut gudang yang sengaja kususun berantakan agar tak terlihat seperti tempat tinggal. Dapat kulihat jika seng-seng tersebut belum berubah sejak terakhir kutinggalkan, dan kembali kulangkahkan kakiku pada istanaku ini. Gudang ini berada tak jauh dari hiruk-pikuk kota dan terkadang berpotensi menjadi gudang sampah jika aku tak mengelolanya dengan baik. Ya.. 5 tahun menjadi gadis remaja tanpa kasih sayang ayah dan ibu menjadikanku sebagai gadis yang harus pintar mengelola apapun yang kupunya.

Setelah berada didalam gudang, mataku disuguhi oleh hal yang tak biasa. Mungkin saat ini, hanya alas tidur dari kain planel dan sebagian kecil barang-barang berhargaku yang akan menyambut. Namun disana, diatas tong besar untuk tungku api, terlihat siluet seorang pria dengan rambut yang disisir rapi. Tak ada pergerakan yang berarti, tetapi setidaknya ia menyadari kehadiran sang tuan rumah.

"Ini hanya sebuah gudang, untuk apa kau berdiam disini?" Gema suaraku terasa begitu nyaring. Seolah tutur kataku tidak cukup jelas baginya untuk menjawab. "Apa aku harus mengganti bahasaku? Bahasa apa yang kau mengerti?"

Tawa sarkastiknya menggelitik gendang telingaku. Ia memberi pergerakan yang cukup jelas pada kegelapan sebelum akhirnya berdiri tegak dihadapan tong. "Maaf mengganggu tidur malammu, nona,"

Nona? Oh, gila. Manusia seperti apa lagi yang kutemui saat ini?!

"Jangan memanggilku dengan sebutan 'nona', itu menjijikkan. Ada hal lain yang ingin kau lakukan disini sebelum kutendang bokongmu keluar?" Aku berusaha menahan setiap amarah yang ingin sekali kuluapkan saat ini juga. Tetapi, tidak, aku masih memiliki attitude yang dapat dihargai.

Pria misterius itu melangkah maju. Dua, tiga langkah ia lalui hingga dirinya terhenti tepat sebelum cahaya bohlam menerpanya. "Waktu. Ya.. Kau tahu itu. Seluruh makhluk diplanet ini memiliki waktu. Namun terkadang, makhluk-makhluk itu tak memiliki kesempatan yang sama,"

Ia sempat berdenham dan berlalu. "Dan jika dirimu berpikir bahwa tak akan lama lagi kesempatanmu untuk hidup layak akan terwujud, kau cukup ahli dalam hal meramal."

"Omong kosong," ketusku tak peduli. "Sudah banyak orang asing menawarkan hidup yang baik untukku, dan akan selalu berakhir menjadi kekacauan. Entah seseorang yang merekrutku menjadi housekeeper, menarikku menjadi penyanyi klub murahan, bahkan menjadi penawar nafsu pria. Hal itu telah kubuat menjadi hidangan malamku."

Kali ini, tawanya memenuhi ruangan. Pria ini terdengar cukup muda, dan suaranya masih terdengar jahat. "Kau pintar membuat orang tertawa," ia memberi asumsi yang baik agar aku dapat memenuhi permintaannya. "Namun, bukan itu yang ingin kubicarakan."

Dapat kurasakan jika dirinya telah jauh lebih dekat dengan tubuhku. Aroma parfum yang menyengat, dan sepasang loafers dipakainya. "Sebelum itu, biar kuperkenalkan diriku terlebih dahulu."

Akhirnya, pria tersebut menyentuh pendar cahaya. Pria brengsek ini telah berada dihadapanku, dengan perawakan tinggi juga garis rahang yang baik. Matanya sedikit menyipit dan terdapat dua buah lesung pipi. "Namaku Bobby. Dan idemu untuk menendang bokongku itu, aku terima."

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang