5

356 56 1
                                    


Segelas anggur dengan kadar alkohol sedang yang telah Jiwon dan Jisoo teguk memberi suatu masalah baru yang tak bisa keduanya kendalikan.

Setelah beberapa saat berlalu, Jisoo sudah setengah tak sadar. Ia mengucap sumpah serapah yang mengganggu pendengaran Jiwon, hingga dirinya harus tertatih dengan meraih pinggang kurus milik Jisoo dan berjalan menuju kamar hotel miliknya. Waktu sudah menunjukkan pukul 5 petang namun terasa sudah menjadi malam karena lebatnya hujan salju mengguyur kota.

"Hey, Bobby," Jisoo mengigau sesaat setelah keduanya telah berada diambang pintu kamar hotel. "Apa kau tahu, mengapa aku dapat merokok, bahkan meminum anggur keparat itu?" Sorot matanya memberat disaat Jiwon menatapnya sendu. Tiada sepatah kata pun terucap.

"Hey, Kim Jiwon! Aku berbicara denganmu!" Jiwon berusaha mengelak dan menghambur masuk menuju kamar hotelnya. Disampingnya masih terdapat Jisoo yang memeluk lengan kanannya erat seakan pria itu adalah guling kesayangannya. "Kau pura-pura tidak mendengarku, ya? Ayolah, jawabannya sangat mudah!"

Dengan kasar, Jiwon melepas pelukan Jisoo terhadap lengan kanannya yang terasa sakit. Ia menatap wanita tersebut tajam, lalu berkata, "Karena kau adalah salah satu wanita gila diantara wanita-wanita lain yang pernah kutemui didunia ini," Dalam satu hentakan, pria itu menghantamkan tubuh kecil milik Jisoo pada pintu yang tak sempat ditutup. Lengannya telah membanting Jisoo cukup keras hingga pintu menutup rapat.

Piluh mencair disisi kepala Jiwon sebelum ia melanjutkan kata-katanya, "Dan kau hanyalah wanita gila yang membuatku tergila-gila."

Kedua sudut bibir wanita itu terangkat, menoreh senyum manis diantara pahitnya rasa sakit. "Jawaban yang bagus," Hantaman keras pada bagian belakang tubuhnya seolah memberinya energi yang lebih untuk menghadapi pria mabuk tepat dihadapan wajahnya. "Padahal kau sendiri yang membuat wanita ini gila, tanpa kau sadari sepenuhnya." Tutur kata yang baru saja meluncur dari lidah seorang Kim Jisoo berhasil memecah kesabaran Jiwon. Rahangnya bergetar saat pandangannya terpusat pada senyum licik yang menempel pada bibir Jisoo.

"Kupikir kau juga tahu, mengapa pria brengsek ini masuk kedalam hidupmu?" Jiwon mulai menjilat sisa anggur yang berada tepat disamping sudut bibir Jisoo, memberi lampu hijau kepadanya bahwa pria tersebut siap melahapnya malam ini. Wanita dihadapannya mendengus kasar, sudut matanya terfokus pada bibir Jiwon yang terus mendekat. "Seandainya aku tahu, mungkin kemaluanmu telah kupotong habis."

Tawa Jiwon pecah setelah mendengar lirih Jisoo atas pertanyaannya itu. "Aku sedang mencari jiwa-jiwa hampa yang terjebak dalam tubuh tak bergizi dipinggir jalan. Kurasa jemari ini sangat cocok untuk mencabut nyawa-nyawa kosong itu," Perlahan, Jiwon mengalihkan lengan kanannya dari leher jenjang Jisoo menuju surainya yang terurai panjang. Ia mengumpulkan surai tersebut pada satu genggam jemarinya sehingga dirinya dapat menarik kepala sang wanita dengan mudah. "Pria brengsek ini ingin membunuhmu, Kim Jisoo."

Lengan kirinya aktif mengunci kedua tangan Jisoo pada bagian belakang tubuh wanita tersebut hingga terkunci rapat. Ia tidak memberi tempat lagi bagi Jisoo untuk bergerak bahkan bernapas. Setiap pergerakan yang Jisoo lakukan terasa sia-sia oleh eratnya genggaman jari-jemari Jiwon pada rambut dan kedua tangannya. "Lepaskan, keparat!" Kali ini suaranya terdengar merintih bagi pria berhati dingin itu.

"Tidak. Aku ingin meninggalkan jejakku pada tubuhmu." Seolah menjadi pesan terakhir yang diucapkan pada Jisoo, Jiwon pun segera menarik segelintir surai yang telah digenggamnya agar dapat mengecup leher jenjang milik wanita malang itu. Berbeda dengan Jisoo, dirinya masih berusaha keras untuk menjauhkan segala pikiran kotor yang Jiwon berikan padanya melalui kecupan-kecupan hangat yang hinggap pada lehernya.

"Sungguh," Setitik air mata terjatuh dari salah satu sudut mata Jisoo. "Apa yang kau lakukan, Jiwon?" Pria yang tengah dipanggilnya itu semakin sibuk dengan aktivitasnya sebelum akhirnya ia bertemu pandang dengan sang wanita. Sekali lagi, bulir air dari matanya terjatuh karena tak dapat menampung banyaknya air pada kedua matanya. "Seharusnya aku yang bertanya, untuk apa kau menangis?"

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang