9

315 42 0
                                    

Senja merangkak turun menuju tempatnya berasal. Langit gelap itu tak ayal menjadi suatu cahaya indah bagi Donghyuk, juga kekasihnya, Lalice. Keduanya bersemarak untuk hari yang akhirnya akan menjadi catatan sejarah terpenting, hingga dunia kembali mengagungkan anak hawa setelah emansipasi wanita memenangkan kedudukannya. Suatu hal yang sulit dipercaya, bahkan untuk kebohongan sekalipun. Namun itulah manusia—gemar berbohong sampai mereka terbiasa untuk mempercayainya.

Jasad wanita malang itu telah diletakkan pada suatu pembaringan tinggi berwarna hijau gelap, dengan tiang-tiang putih yang berdiri kokoh untuk menopangnya. Gaun manisnya tak tampak indah lagi, batin Jiwon dalam sendunya. Senyum yang bermekaran itu telah hilang, entah oleh takdir atau atas tingkahnya yang kurang ajar. Kedua hal itu sama buruk, ditinjau dari takdirnya yang tak begitu baik juga sikapnya yang terlampau keras.

"Demi Tuhan, Kim Jiwon," Suara menggeram menjadi sedikit bergema didalam pikiran kosongnya. Ia mendongak dari tengkuknya yang berat, memandang lurus kepada seorang pria dihadapannya. "Jangan mencoba memegang janji dengan Tuhan," ia menertawai temannya. "Cobalah berjanji dengan waktu, itu akan membuatmu semakin terikat."

Tanpa memperhitungkan aksinya, pria yang terlecehkan itu mencengkram ujung kerah kemeja Jiwon. "APA YANG KAU LAKUKAN?! APA YANG TERLINTAS DALAM BENAKMU, KEPARAT?!" Satu hantaman keras pun melayang menuju rahang kiri sang korban. Jiwon tak tampak bergidik. Justru dirinya menantang, menunggu hantaman lain yang rasanya tak seberapa.

"Kau tak perlu membunuhku, Hanbin. Jisoo telah merenggutnya beberapa menit yang lalu."

Sekali lagi, Hanbin mendaratkan pukulan yang keras pada rahangnya yang terlihat semakin lemah. Satu, dua, mungkin telah menjadi tiga pukulan tinju. Korbannya tidak merasa terganggu, walaupun setetes luka pada bibir dan sudut matanya telah melebam. "Keras kepala, bagaimana Tuhan dapat menukar otakmu oleh segunduk batu?" Ia tetap menjaga tubuh Jiwon agar tetap berdiri.

"Cinta," ujarnya singkat. "Tidakkah Hayi telah memberimu cinta hingga akhir hayatnya?"

"Bercerminlah, bedebah. Kau membenci Donghyuk sampai mati, namun kau ingin menjadi budak terbaiknya. Permainan apa yang telah kau mainkan?"

Jiwon terbatuk, segarnya udara dari dalam tubuhnya tidak seirama dengan apa yang hendak ia katakan. "Manusia dan waktu, Jisoo mengajakku untuk bermain manusia dan waktu." Hanbin meninjau tatapan temannya tersebut. Ia tersenyum, mungkin menyeringai, namun kesakitan. Segera cengkraman pada kemejanya mengendur, seiring dengan bencana yang terlintas dalam benak Hanbin.

Jika misi kali ini berhasil, Donghyuk akan menguasai seluruh pasar dagang organ tubuh manusia, tutur Hanbin iba. Kedua matanya menyergap seringai dari Jiwon, dikala pria itu duduk tertatih, menahan sakit yang amat sangat pada raga dan jiwanya. Lampu-lampu besar disekeliling kapal besar itu terlihat redup bagi Jiwon.

"Kim Donghyuk akan lebih dulu merasakan panasnya api didalam neraka," Lirih itu ia ucapkan setelah terkulai lemas dilantai balkon. "Sebelum aku hendak mencobanya."

-

Pada malam yang sama, Jisoo digiring menuju laboratorium terisolasi yang berada tepat dijantung kapal. Tubuh itu bergerak sedikit saat terkena guncangan, dan akan kembali diam saat jalanan menjadi tenang. Didalam ruangan bernuansa putih itu, terdapat Donghyuk—dan pelacur pribadinya, Lalice—Hanbin, dan segenap agen yang bekerja untuk sang ketua. Tidak terkecuali Jiwon, ia mematung disudut ruangan, beserta beberapa balok es yang diikat dengan sehelai kain untuk menghilangkan rasa sakit pada rahangnya. Bibirnya tidak berkutik, padahal jasad wanita itu telah berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Terima kasih atas seluruh perhatiannya, agenku. Dapat kalian saksikan, wanita cantik ini akan menjadi mahakarya perdana bagiku, selaku kepala agen, dan bagi kita semua!"

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang