4

399 59 1
                                    


"Bagaimana dengan pria itu, sayang?"

Seorang wanita muda bersurai pirang itu menatap hamparan lautan yang cukup tenang disuatu pagi pada bulan Desember. Ia menumpukan dagunya pada lengan terlipat dengan posisi tubuh cukup membungkuk. Jemarinya masih dapat merasakan dinginnya angin laut pada pagar disekeliling balkon utama diatas kapal besar itu. Shortpants dan kemeja putih yang melebihi ukuran tubuhnya telah melekat tak beraturan. "Aku tak ingin keluar dari perhitungan harinya,"

Donghyuk menghampiri wanita tersebut perlahan. "Tidak ada kabar," kedua lengannya mengunci rapat pinggang ramping milik sang wanita yang sudah menunggunya dibalkon sejak beberapa menit yang lalu. "Akan kupastikan jika proses uji cobanya tidak akan memakan waktu yang lama." Jemari liarnya mulai melepas satu persatu biji kancing pada kemeja putih yang dipakai oleh wanita tersebut.

"Anak nakal," Wanita itu menjauhkan jemari Donghyuk dari dekapannya. Dirinya memilih untuk memutar badannya, hingga kedua bola matanya bertemu pandang dengan pria tampan pujaannya. Tak banyak kata yang terucap, namun tatapan Donghyuk yang sangat dalam mampu membius sisi penglihatan sang wanita sampai kedua bibir mereka mulai terpaut.

Dengan mata terpejam, Donghyuk mulai memperdalam keintimannya dengan sang wanita. Bibir ranum milik wanita tersebut telah digigitnya berkali-kali sehingga membuat lawan mainnya mempererat pelukannya pada tengkuk jenjang pria manis itu. Sesekali dirinya mencoba untuk kembali melepas biji kancing kemeja kebesaran si wanita namun nafsunya menumpuk pada tautan kedua bibirnya. "Donghyuk—cukup—" rintih wanita itu sempat tak terdengar oleh Donghyuk.

Sampai wanita tersebut menarik paksa bibirnya yang masih diberi gigitan kecil oleh Donghyuk karena kehabisan napas. "Ini bukan waktu yang tepat, sayang," ucapannya terdengar seperti desahan bagi Donghyuk. "Kita akan melakukannya lagi setelah misimu berhasil."

"Apa bibir ini pernah mengatakan hal semacam itu padamu, Nyonya Kim?" tanya Donghyuk seraya mengecup leher sang wanita beberapa kali. Senyum simpul pun terukir pada paras berbinar milik wanita tersebut setelah Donghyuk memanggilnya dengan sebutan impiannya.

"Namaku Lalice, dan akan menjadi Nyonya Kim jika dirimu berhasil membuat dunia percaya bahwa wanita ini telah menyusuri Palung Mariana hingga titik Challenger Deep," Jawaban yang terlontar dari mulutnya sontak membuat Donghyuk kembali menemui kedua bola mata wanita itu. "Dan Lalice akan menjadi wanita pertama yang memecahkan misteri palung terdalam didunia. Kau sudah mengatakannya seribu kali, Nona." Lalu ia mengecup bibir Lalice sekilas dan tersenyum licik atas jawabannya.

Wanita yang diketahui bernama Lalice itu mempererat pelukannya lagi pada tengkuk milik Donghyuk. "Tetapi kau harus ingat," Ia menarik napas panjang untuk menghirup aroma parfum yang melekat pada tubuh pria dihadapannya. "Jangan jadikan wanita percobaanmu kali ini menjadi eksperimen gagal seperti Lee Hayi."

"Kau selalu mengungkit wanita gila itu," Donghyuk mendengus kesal dan menggigit bibir bawah Lalice dengan kasar. Wanita cantik itu meraih tulang rahang Donghyuk dengan kedua lengannya dan mulai berbicara. "Hayi tak semata-mata menjadi gila karena ulahmu, sayangku. Kim Hanbin pun ikut andil dalam kematian gadis manis itu, hanya karena dirinya mencintai Hayi diam-diam," Jemarinya yang lentik mulai menjelajahi kerah kemeja milik Donghyuk dan sesekali merapikannya.

"Dan alasan itu masih terdengar cukup tabu bagiku." Pria tersebut menarik napasnya dalam. Lalice kembali menarik kepala Donghyuk untuk mendekat, memberinya satu kecupan hangat sebelum dirinya beranjak dari kerasnya angin laut yang menerpa punggungnya. "Kupikir akan terdengar lebih baik jika kau mencegah Bobby berlama-lama di Eropa. Karena menurutku... Dirinya akan berpotensi menjadi masalah yang sama seperti kasus Hanbin sebelumnya."

Kemudian wanita itu menaruh senyumnya tipis dan beranjak pergi menuju kedalam kamar utama diatas kapal tersebut. Donghyuk mengacak rambutnya frustasi, menggeram tak karuan dan melukai jemarinya dengan menghantam besi balkon atas kekesalannya. "Jangan sampai kejadian 3 tahun yang lalu kembali terulang. Jika hal itu terjadi, aku harus membunuh kedua bedebah itu dan membuangnya ke dasar Mariana." Umpatnya sebelum Lalice menarik lengannya untuk masuk kedalam kamar.

--

Akhirnya, Jisoo dapat mengetahui bahwa Jiwon membawa pada suatu tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya: bar kecil tanpa penerangan didekat hotel yang Jiwon pakai untuk menginap. Keduanya masih berpegangan tangan—namun kali ini, jemari Jisoo yang lebih kuat memegangnya. Jiwon tidak merasa aneh atau canggung, karena ia berpikir jika dirinya memang membutuhkan sesuatu yang hangat selain mantel.

"Apa yang akan kau pesan?" Pertanyaan Jiwon berhasil memecah lamunannya sesaat setelah Jisoo terduduk disalah satu kursi dekat jendela kaca besar yang menghadap langsung pada jalan. Ia mengedipkan kedua matanya perlahan, "Aku memesan apa yang kau pesan." Jawabnya singkat.

Pria tersebut segera memesan dua gelas anggur dengan kadar alkohol yang sedang, lalu segera kembali untuk duduk dan menatap kedua mata manis milik Jisoo. "Hujan saljunya semakin lebat," tutur Jiwon seraya membuka mantelnya. "Apa kau masih kedinginan?"

"Tidak," ketus wanita dihadapannya. Wanita itu kembali menerawang pada setiap titik salju yang berjatuhan dari langit dan hinggap pada bumi tanpa ada perlawanan. Kedua indra penglihatannya terpaku oleh dinginnya setiap udara yang mencoba masuk dari celah-celah terkecil didekat kakinya. Seakan udara dingin itu menjadi jarum tajam yang menusuk kulit sensitifnya.

Jiwon kembali beranjak dari duduknya dan menghalangi masuknya udara dingin pada tubuh Jisoo dengan memakaikannya mantel tebal miliknya. Pelayan pun datang seiring Jiwon terduduk setelah memberi Jisoo kehangatan lebih, "Ini pesanannya." Ucapnya sambil menaruh dua gelas anggur yang saat ini sudah berada dihadapan Jiwon dan Jisoo.

"Jangan memaksakan diri jika kau tak menyukai anggur," Jemari milik Jiwon segera menyambar segelas anggur lalu meminumnya perlahan. "Bar ini mempunyai anggur yang enak."

Tatapan kosong hinggap pada kedua mata Jiwon setelah dirinya meminum anggur miliknya. Tanpa melepas mantel yang dipakaikan oleh Jiwon, Jisoo pun mengambil segelas anggur itu perlahan, dan meminumnya seolah sepasang mata tidak menatapnya nanar. "Tidak cukup buruk," ia memberi komentar pada anggurnya.

"Kupikir kau tak suka anggur," Jiwon meminum habis anggur yang berada didalam gelasnya. "Oh, ya, bagaimana dengan gudangmu itu?"

"Sebagian atapnya runtuh dimakan waktu, dan menyisakan lubang yang cukup besar untuk angin masuk kedalamnya." Kali ini, Jisoo yang menghabiskan anggurnya. Ia menelusuri isi hati Jiwon dengan terus menatapnya dalam. "Mengapa kau menanyakan hal yang tidak penting seperti itu?"

Pria manis itu menorehkan senyumnya pahit. Ditatapnya kembali wanita dihadapannya dengan memasang senyum palsu. "Kau bisa mati kedinginan karena atap sialan itu," Ia meraih jemari Jisoo yang masih melingkar pada gelas anggurnya. "Dan kau akan terus mengumpat karena tungku api itu terus tertiup angin."

Jisoo melukis senyum dari hatinya setelah Jiwon memegang jari-jemarinya yang sudah sedingin es. Ia menyimpan tatapannya pada genggaman tangan Jiwon yang menjadi erat karena seseorang membuka pintu bar cukup lebar dan membiarkan angin musim dingin merangkak menuju tubuhnya. "Terima kasih." Lirihnya sempat tak terdengar oleh Jiwon. Namun ada sesuatu yang aneh telah meledak didalam hati kedua sejoli tersebut. Jisoo menyebutnya dengan kebahagiaan.

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang