2

624 94 2
                                    

"Namaku Bobby. Dan idemu untuk menendang bokongku itu, aku terima."

And... There you are. Saat ini aku dapat menatap wanita itu dengan seksama. Ia menyimpan pandangannya pada setiap inci tubuhku, tanpa ada yang terlewat. Lain halnya dengan tatapanku yang masih menusuknya agar menerima bujukan ini. "Apa ada sedikit kesalahan?" tanyaku memecah keheningan.

"Akan lebih baik jika kau keluar dan mencari gadis lain untuk dijadikan umpan," ketusnya dingin sambil berlalu dari hadapanku. Terdengar deru napasnya berat, seakan tiap oksigen dalam tubuhnya hanya mengalirkan sisi negatif. Wanita yang malang, sudah ada kesempatan masih saja meminta lebih.

"Tidak," gerutuku terdengar seperti menahan emosi. "Aku tidak akan keluar, bahkan untuk merokok sekalipun."

Ia terkekeh dengan wajah terselimuti kegelapan. Suara percikan api mewakili setiap tawa sarkastiknya yang tak enak didengar. "Lalu apa yang kau lakukan disini? Aku sudah menolak tawaranmu," jawabnya sesaat setelah api didalam tong besar itu menyala. Tanpa mementingkan keberadaanku, ia menghangatkan diri dihadapan api dan bersikap seolah acuh.

Tak ayal jika wanita gelandangan ini tidak disukai oleh banyak orang disekitarnya. Bersikap apatis, tak mementingan waktu, dan berprinsip bahwa tiada kata selain 'jangan pedulikan manusia'. Paras cantik, namun sikap seperti ini? Ah, kalau saja ini bukan tugasku untuk mencari seorang wanita tanpa harapan hidup... Tak perlu banyak tenaga untuk mengenal lebih dari sesosok wanita dipinggir jalan. "Kau tahu, terkadang sulit menerima kenyataan bahwa manusia hidup hanya untuk mati."

Kembali kudengar tawanya tipis saat aku mulai mengangkat kaki dan memutuskan untuk sekedar bercengkrama disampingnya. "That's the way it should be," jawabnya singkat. Jemariku perlahan menjadi hangat pada menit ke tujuh aku terdiam dihadapan tungku api sederhana ini. Sambil mengeluarkan sebatang rokok, aku berkata, "Mengapa kau memutuskan untuk tetap hidup, jika kau tahu jalan ceritanya?"

Kali ini tak ada senyum penuh arti. "Aku sedang menantang waktu untuk bermain."

"Menantang waktu?" Salah satu sisi pada batang rokok menempel pada bibirku, saat sisi yang lainnya mulai terbakar oleh api dan menerbangkan kepulan asap disekitar wajahku. Kubenamkan bibirku kebawah agar asapnya tak menghalangi paras wanita gelandangan ini yang mulai duduk menyandar pada tembok berjamur.

"Manusia dan waktu adalah hal yang tak terpisahkan. Dan kali ini, aku coba memisahkannya. Aku menguji seberapa lama waktu bertahan dan manusia bertahan secara bersamaan. Siapapun yang tak bisa bertahan lama dan berakhir paling awal, ia harus mengakui kekalahannya."

"Gila," ucapku tertahan. "Hal yang irrasional memang selalu terdengar menggelitik." Aku menaruh batang rokok diantara jemari telunjuk dan tengah, lalu ikut merebahkan kepala disamping wanita tersebut. Kuakui, terkadang beberapa orang yang tak mendapatkan kesempatan untuk menikmati hidup normal memiliki pola pikir yang irrasional. Namun kali ini terdengar cukup parah.

Tiba-tiba jemarinya menarik rokok pada tanganku kasar, dan langsung menghisapnya tanpa meninggalkan sedikit waktu bagiku untuk terkejut. "Untuk saat ini, aku dan waktu masih dalam posisi yang sama. Tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Ia menghisapnya dengan penuh penghayatan. Menimbulkan asap yang menari-nari tepat diatas terpurung kepalanya. Senyumannya kini kembali menghiasi sudut bibirnya, "Jisoo," lirihnya. Kedua manik matanya hinggap pada tatapanku yang dalam. "Kim Jisoo, itu namaku. Sekedar memberi tahu."

Malam itu pikiranku kacau. Kami berbagi rokok yang sama, padahal masih tersisa 10 batang lagi didalam bungkusnya. Ia—yang mengaku bernama Jisoo itu—memberiku sepotong roti berselai stroberi dengan kedua sudut bibir yang terangkat penuh. Hari ini adalah hari ulang tahunnya yang ke-18, bersamaan dengan orang tuanya yang meninggalkannya di daratan Eropa, 5 tahun yang lalu. Aku sempat meminta maaf padanya jika roti berselai stroberi itu telah habis kumakan, tetapi ia bersikeras bahwa dirinya membenci stroberi karena suatu alasan. Ya.. Rumit. Setidaknya aku tak perlu memberinya sebatang marijuana agar dirinya merasa lebih tenang.

-

Keesokan harinya, aku terbangun diatas kasur empuk dengan nuansa putih menyelimutinya. Gorden telah terbuka lebar, dengan menu sarapan pagi yang dingin diterpa angin. Sejak kapan aku berada dihotel? Ah, aku tak dapat mengingatnya dengan baik. Ada hal yang lebih menggangguku daripada cahaya matahari yang menyilaukan: telepon masuk dari Ketua Kim.

"Aku masih benci memanggilmu dengan sebutan 'Ketua'," suaraku terdengar memaki.

"Jangan bergurau, ini memang sudah menjadi takdirku. Bagaimana dengan wanita di Eropa? Apa kau sudah menemukan yang cocok dengan kriteriaku?"

"Kau bising, Donghyuk. Aku baru saja menjalankan misi ini selama 3 hari."

"Kupikir kau akan menemukannya hanya dalam hitungan 2 hari, ternyata mustahil. Pesonamu harus dipertanyakan,"

Sekali lagi, Tuhan, kumohon jawab pertanyaanku. Bagaimana Kau memilih pria keparat ini untuk dijadikan ketua baru pengganti Ketua Yang?! "Masih tersisa 7 hari lagi. Kau menginginkan wanita yang sudah layak uji, bukan? Sabarlah sedikit!"

"Ya.. Ya.. Ya.. Terserah. Aku tidak ingin mendengar kabar jika kau masih belum menemukan wanita yang aku inginkan sampai besok. Atau aku akan—"

"Mengirim tim rahasia yang secara diam-diam menaruh benda sialan yang disebut Mini-GPS didalam tubuhku? Bukan begitu, keparat?"

Tut-tut-tut-tut. Dasar payah, pembual sialan tak tahu diri.

Tiba-tiba ponselku kembali bergetar dan layar yang menyala, dengan tulisan: Ketua Kim. Kali ini aku harus benar-benar sabar. "Maaf atas ucapanku tadi, aku tidak serius."

"Sudah sepantasnya kau memiliki etika yang baik saat berbicara denganku, Bobby. Ada satu hal lagi yang perlu kita bicarakan,"

"Cepat katakan."

Sesaat sebelum suara diujung telepon berbicara, kuputuskan untuk memasukkan ponselku pada segelas air mineral yang terisi penuh hingga sebagian airnya keluar. Hingga layar terang itu padam dan menyisakan lirih-lirih yang hampir tak terdengar karena teredam oleh air.

"Eureka! Ia pantas untuk tenggelam."

TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang