"Raya, buruan, Nak. Teman kamu udah nunggu!" panggil Mama.
"Iya, Ma. Sebentar!" balasku.
Aku mencari-cari obatku. Ya, hari ini aku akan pergi bersama Davin dan aku tidak boleh melupakan obatku jika tidak ingin kambuh. Setelah menemukan obatku dan memasukkannya kedalam tas kecil. Aku segera keluar dari kamar dan berjalan menuju Davin dan Mama berada.
"Ma, Raya berangkat dulu, ya! Assalamu'alaikum," pamitku sambil mencium punggung tangan Mama.
Setelah Davin mencium punggung tangan Mama, kami langsung masuk kedalam mobil dan tak lama mobil pun melaju meninggalkan rumahku.
*
"Wooo dufan!!!" pekikku senang.
"Astaga, Raya! Lo kayak baru pertama kali kesini tau gak?" keluh Davin.
"Ye, sirik aja lo, Kak. Gua kan udah lama banget gak kesini jadi wajarlah gua seneng," sahutku sambil berjalan mendahuluinya.
Well, sebenarnya aku cukup nekat ketika mengantri disalah satu wahana—rollercoaster yang mungkin saja dapat membuat penyakitku kambuh, tapi karena sudah lama tidak kesini aku jadi sedikit menghiraukan penyakitku.
"Ai, lo seriusan mau naik ini?" tanya Davin.
"Iya! Emangnya kenapa? Oh, jangan bilang lo takut, ya, Kak?" jawabku sambil tersenyum jahil kepadanya.
"Gak. Gua bukannya takut. Gua Cuma ngeri aja gimana kalo tiba-tiba wahana itu rusak? Kalo jalurnya tiba-tiba copot? Terus belum lagi kalo—"
"Udah, deh, Kak. Kalo takut mah bilang aja. Gak usah gengsi gitu," ledekku.
"Udah gua bilang gua kagak takut, Ai. Dan, satu lagi gua gak suka di panggil 'Kak'!"
"Lo kan lebih tua dari gua, Kak,"
"Gak. Pokoknya gua gak suka,"
Aku memutar bola mataku dan akhirnya setelah mengantri cukup lama, aku dan Davin dapat duduk disalah satu kursi penumpang.
*
"Udah, Ai. Gua gak mau ikut naik wahana kayak gitu lagi! Sekarang giliran gua ajak lo ke wahana yang gua suka!" ucap Davin lalu dia menarik tanganku menuju Istana Boneka.
"Lo cemen Kak, kalah sama gua. Haha," ledekku ketika kami mulai memasuki Istana Boneka.
"Ai, gua udah bilang jangan panggil 'Kak'," ucapnya sambil cemberut.
Hei, kenapa laki-laki ini jadi mempersalahkan panggilannya dariku?
"Oh, iya, kita belum selfie bareng loh. Yuk, selfie!" ajak Davin lalu mengeluarkan Iphone miliknya.
"Kak Dav disini tuh gelap! Lo lucu mau selfie-an ditempat kayak gini!"
"Udah, ah, ayo sini!"
Lalu Davin menarikku agar mendekat kearahnya. Blitz kamera yang mengenai wajahku membuat mataku mengerjap.
"Muka lo lucu, Ai," ucap Davin sambil terkekeh ketika melihat hasil selfie tersebut.
"Ih, hapus! Muka gua jelek banget, Kak!" protesku.
"Gak ah. Lucu jadi pengen gua post di Instagram, Ai," ucap Davin.
"Tau ah, nyebelin!" ucapku ketus. Aku ngambek padanya karena dia tidak mau menghapus foto selfie tadi.
"Ai," panggil Davin. Tapi, tentu saja aku tidak menoleh karena sedang ngambek.
"Raya," panggil Davin lagi.
"Raya Anindita Ferdinand. Iya deh, gua hapus. Nih liat, gua hapus," kata Davin yang membuatku menoleh.
Aku tersenyum senang ketika melihat foto itu telah dihapus. Selesai dari wahana Istana Boneka, kami makan terlebih dahulu.
"Kak, gua mau sholat dulu, ya!" pamitku ketika aku telah selesai makan siang.
Tanpa menunggu jawaban darinya, aku segera melangkahkan kakiku menuju mushola yang berada tak jauh dari tempatku tadi.
*
"Thanks, ya, Kak," ucapku sebelum akhirnya turun dari mobilnya.
Dia membuka kaca mobilnya dan tersenyum padaku.
"Anytime, Ai. Kalo gitu gua pulang dulu, ya!" pamitnya.
Setelah memastikan mobilnya pergi, aku segera masuk kedalam rumah. Tapi, ketika aku akan berjalan menuju tangga, tiba-tiba dadaku terasa sakit sekali. Aku terjatuh terduduk sambil terus mencengkram dadaku yang sakit.
"Pa, Ma!" panggilku lirih.
Papa dan Mama berlari menghampiriku dengan panik.
"Ya Allah, Raya! Sabar sayang. Coba buat rileks dulu," ucap Mama sambil memangku kepalaku.
Sementara Papa mencari obatku didalam tas yang kubawa. Setelah itu Papa membantuku untuk meminumnya.
"Tadi siang kamu udah minum obatnya, Raya?" tanya Papa.
"Udah, Pa. Aku juga gak tau kenapa tiba-tiba kambuh lagi. Apa aku gak bisa sembuh?" jawabku dengan sedih.
"Raya...jangan ngomong begitu. Kamu pasti bisa sembuh! Jangan menyerah, ya!" ucap Mama dengan air mata yang mulai mengalir dikedua matanya.
"Mama jangan nangis," ucapku sambil menghapus air mata Mama lalu memeluknya dengan erat.
Papa pun ikut memeluk kami berdua. Aku bersyukur terlahir dengan memiliki Papa dan Mama seperti mereka. Mereka selalu menyemangatiku. Selalu meyakinkanku kalau aku dapat sembuh.
TBC
***
A.n.
Hi, guys! Akhirnya bisa update juga! Semoga pada suka ya!
Please vote+commentnya!
Regards,
annisanrl
KAMU SEDANG MEMBACA
LDR (PENDING)
Teen Fiction(VERY SLOW UPDATE) LDR dalam cerita ini bukanlah Long Distance Relationship melainkan Love Different Religion. Ya, kisah ini bercerita tentang pacaran beda agama. Dimana kedua anak manusia dipertemukan dan dibuat jatuh cinta hingga saling takut untu...