Hai gaes. Saya balik lagi dengan tulisan tak berguna.
Nah, waktu itu pernah kan janjiin mau kasih ulasan seputar kritik di goodreads VS kritikus Sastra Indonesia? Here we go...
Saya paling benci menulis secara terstruktur. Jadi saya tidak akan memberikan definisi kritik. Cari aja secara mandiri di google. Tapi pada dasarnya, setiap tulisan itu pasti tak akan bisa terlepas dari kritik pembaca. Nah yang suka bikin rame tuh, pasti—PASTI!—ada yang ngeributin perbedaan antara kritik dan nyinyiran.
"Ihhhh apaan sih lo dasar nyinyir! Emang lo bisa bikin cerita sebagus gue?!"
Yaha. The fuck man?
Emang bedanya kritik sama nyinyiran apaan sih? Saya sendiri tidak berani memberikan pembeda antara kritik dengan nyinyir. Silakan buka KBBI pengertian kritik dan bandingkan dengan nyinyir.
Kalau kalian adalah penulis yang baru brojol di dunia sastra dan mendapati rate di GR sangat jelek ditambah review yang tak kalah sadis, reaksi kalian pasti satu: GONDOK. Dulu saya juga begitu awal-awal nulis. Ya... dimaklumi saja. Namanya masih labil. Lantas, bukan berarti saya melanjutkan kelabilan saya dengan memarah-marahi setiap review jelek. Kebanyakan nih, penulis baru yang udah terlalu lama dibanjiri pujian bakalan kena serangan jantung pas baca review jelek pertama kali. Hehehehehe yu ar not elon, bebi. Dulu malah saya di depan muka saya dikatain:
"Heh, kon ngerti ra nek ceritamu iki koyok taek?" (Silakan yang bersedia translate ke bahasa Indonesia, komentari saja di kolom ini).
Dan reaksi saya seketika nangis galau dan meratapi nasib "Udah cerita nggak best seller, dihina depan muka pula."
Malah dulu saya sempat khilaf dengan membela penulis GR yang direview kejam. Saya pikir, eh apa-apaan sih mereka kok jahat banget mulutnyaaaa. Pengen ditabok ya? Karena saya pikir mereka ini sangat keterlaluan. Bahasanya amat sangat kasar. And guess what? Rupanya ada yang lebih parah daripada reviewers GR.
Yep. Kritikus sastra.
Saat saya memasuki kelas Kritik Sastra, saya mulai berkenalan dengan dunia kritikus Indonesia. Mereka lebih kejam daripada reviewers GR. Lidah reviewers GR tuh tidak ada apa-apanya daripada lidah kritikus Indonesia. Kalau diceritain bakal sepanjang thesis. Kalian bisa baca artikel dengan kata kunci "Kritik Pramoedya Ananta Toer pada Ayu Utami", "Prahara Buku Tokoh Sastra Paling Berpengaruh", "Kritik HB Jassin". Biasanya banyak tuh.
Jadi semisal kalau kalian baca ripiu kejam di GR, jangan sewot dulu. Mental orang-orang emang beda, tapi berlogikalah. Bayangkan jika kalian berhadapan dengan kritikus sekelas Alm. HB Jassin dan bilang "Pak, tolong jangan pakai kata kotor ya. Hati saya serapuh tembikar dan sehalus beledu. Saya baru dicampakkan pacar saya. Mantan saya baru nikahin janda. Saya makin terpuruk pak. Tolong pak. Pahamilah jiwa saya yang layu."
Yang ada situ malah dibantai habis, bukan hanya oleh Jassin, tapi juga kritikus dan sastrawan lain. Bakal dikatain "Mental Tempe" dan dilempari kata-kata kotor karena terlalu lemah.
Saya kasih contoh saja ya dikit. Kalau kalian googling soal Denny JA, kalian pasti tahu praharanya. Doi dinobatkan sebagai sastrawan berpengaruh bersanding dengan Pramoedya dkk, padahal karya doi saja tidak keendus eksistensinya. Bahkan saya sendiri tidak pernah dengar nama Denny. LOL. Alhasil, sastrawan Indonesia berang dan melancarkan kritikan tajam terkait penyusunan buku tersebut. Si penyusun buku (termasuk Denny dan penyokongnya) itu dilempari kata-kata kasar dan makin rusuh. Pramoedya bahkan pernah secara terang-terangan menghina karya-karya Ayu Utami yang banyak konten joroknya. HB Jassin pernah mengkritik Chairil Anwar atas kasus plagiasi (padahal Jassin jugalah yang mengenalkan Anwar ke permukaan).
Percayalah, kritik di GR itu tidak ada apa-apanya dibandingkan lidah kritikus Indonesia. Dosen-dosen saya termasuk kritikus. Kalau mengkritik pun aduh... tajam sekali. Sangat menyayat hati. Yang dikritik itu bukan cerita Wattpad abal-abal loh. Levelnya sudah buku pemenang ini dan itu. Nah apalagi kalau membaca cerita Wattpad yang dapat review buruk di GR? Tidak hanya akan dicoreti, tapi juga bakal dilempar ke tempat sampah, belum lagi jadi bahan perbincangan di kelas kuliah. Bayangkan saja jika kritikus (yang merangkap sebagai dosen) membicarakan karya kalian.
"Pernah denger buku ini? Buku yang menurut saya sangat nggak banget. Jelek. Dan entah kenapa dibiarkan berkembang biak di pasaran..." And so on. Lalu memerintahkan mahasiswa memberikan kritikan pada buku tersebut dan mempostingnya di web kampus. Lengkap sudah berlipat-lipat ganda kritikannya wkwkwkwk.
Untungnya, kritikus Indonesia tidak akan tertarik mengulas buku-buku metropop. Kalian harus menghela napas panjang dan mengucap syukur. Kritikus GR masih bersedia memberikan perhatian pada buku kalian. Sedangkan kritikus Indonesia? Boro-boro ngelirik, ditanya "Tahu buku bla bla bla nggak?" pasti jawabannya "Buku apa tuh?" sambil mencebikkan bibir dan mengerutkan dahi.
Bayangkan kalau kritikus GR tidak ada. Berapa lama kalian bermasturbasi dengan karya kalian sendiri? Nulis sendiri, dibaca sendiri, dipuji sendiri. What a good move, man.
Good luck buat penulis baru.