3.1 Exit!

24.2K 2K 31
                                    

Semenit yang lalu Ethan menarikku ke ruangan berganti baju dan menguncinya sebelum dia mulai menciumku dan berusaha menempelkan tubuhku di dinding.

Aku berusaha mendorongnya tapi sebagian dari diriku juga menginginkannya, jadi aku hanya diam dan membalas ciumannya.

Kami sering melakukan seks diam-diam di kantor. Bagaimanapun caranya Ethan sering mendapatkan caranya sendiri. Dia seperti punya jutaan rencana untuk menyeretku ke bawah kontrolnya. Dan aku? Kalau suasana hatiku bagus aku mengikutinya. Kalau tidak? Aku akan mulai mencakar-cakarnya dan memukulinya.

Dan sekarang suasana hatiku tidak bisa kutebak. Yang kuingat hanya saat Ethan menghabiskan pizza lalu menghina kamarku bau. Sial!

"Hentikan, Ethan." Bisikku sementara Ethan menciumi leherku dan sesekali menggigitnya. Tangannya mengusap ke balik rok ketatku.

"Kumohon," bisikku lagi sambil sedikit mendorongnya untuk menjauh, tapi dia mengeraskan otot dadanya untuk terus menciumku sementara aku menggeliat-geliat.

"Damn." Lirihku yang langsung di sambut bibir hangatnya. Dia menghimpitku dan dinding, menempelkan setiap inchi tubuh kami terutama di bagian paling intim. Aku merasakannya disana. Siap sekali.

Seolah itu pertanda, Ethan mengangkat salah satu kakiku untuk melingkarkan itu di panggulnya. Dan miliknya semakin bisa kurasakan membuatku bernafas cepat.

Aku membayangkan keluar dari kamar mandi setelah bercinta dengannya, rambut kusut, kelelahan, tata ulang makeup, baju kusut. Tidak! Aku baru saja mau pulang sekarang.

Yang aku maksud dengan sekarang adalah sekarang juga.

"Ethan," ucapku ditengah-tengah ciumannya.

Ethan mengangkat rok-ku ke atas tanpa mempedulikan ucapanku, kemudian tangannya merayap-rayap di bokongku dan meremasnya. Damn Ethan! You are so damn mutt! Dia memaksa tubuhku untuk menempel dengannya, dan tangannya gemetar seolah menahan untuk tidak menghabisiku.

Tanganku mendorong dadanya dengan sedikit tenaga, dan berhasil membuatnya menjauh, dia menatapku tidak setuju.

"Tidak, aku mau pulang, apa kau dengar itu?!" Tukasku. "Sekarang menjauh dariku!"

"Apa kau serius?" Tanyanya dingin.

"Kau pikir aku bercanda?"

Sedetik kemudian dia menjauh dan membuatku berdiri di atas hak tinggiku, aku merapikan bajuku tanpa mengindahkannya.

"Apa maumu, Barbara? Kau mau pizza? Kita beli sehabis pulang dari kantor. Aku cuma mau--" dia menatap tubuhku sambil mengepal-ngepal tangannya seperti ingin menjadikanku sansak. "Cuma mau sepuluh menit!" Geramnya di tenggorokan.

"Aku mau pulang. Itu saja. Dan aku lapar. Jangan ganggu moodku atau kau akan ada di komporku bersama brokoli, tomat, kentang dan wortel!"

Dia mengernyit, "Kenapa?"

"Oh, jangan sok polos." Jawabku sambil membenarkan kemejaku dan rok ketatku. "Itu cuma komposisi dari adonan daging gulung."

"Daging gulung?!!" Dia membeo.

Setelah selesai merapikan bajuku aku melangkah ke pintu dan membuka kuncinya, Ethan mengikuti dari belakang.

"Barbara, jangan lakukan ini padaku. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

Ingin sekali aku melakukan gerakan monyet gila di depannya, hanya untuk menghinanya. Tapi aku memilih diam dan mencuci tangan di wastafel.

"Kau ingat nyanyian Zayn Malik yang Pillowtalk?"

"Jangan menyanyikannya, suaramu rombeng seperti kaleng soda."

"Apa?! Lalu apa maksudmu kemarin kalau suaraku indah bagai Dewa Apollo?!" Tukasnya.

"Kau juga bilang kamarku bau!"

"Oh, jadi kau masih dendam? Jadi kau mau aku jujur tentang segala hal?!"

Sebenarnya, dia sudah jujur banyak hal, contohnya kulkasku sudah tidak dingin lagi, masakanku tidak enak, dan aku gendut. Heck!

Tapi yang dia lakukan itu adalah untuk mengajakku shopping, pergi ke restoran, dan menemaninya ke GYM. Tapi tetap saja, dia sudah jujur.

"Tidak perlu. Kalau kau mau bilang aku gendut, yeah aku gendut sampai-sampai lemakku bergumpal-gumpal." Aku mematikan keran air dan melihatnya.

Dia menekuk wajahnya, "Oh, ayolah Barbara. Kau tidak gendut, kau seksi sekali."

Aku tahu gejala ini. Dia sedang terangsang berat. Tentu saja, aku tidak tertahankan. Dan begitu menyenangkan melihatnya tersiksa.

"Berapa banyak kondom yang kau punya?" Tanyaku.

Dia mengangkat alisnya.

"Kondom?!" Seorang perempuan menjerit.

Sontak kami melihat asal suara dan melihat seorang officer yang mengambil lap pel dan menatap kami dengan mata membulat.

"Bitch! Apa yang kau lakukan di sini?!" Bentak Ethan.

"Ethan!" Aku membentaknya. "Jangan memarahi dia. Lagipula kenapa kita marah? Kita cuma membahas perusahaan peluru yang dikontrak bukan?"

Dia mengucapkan 'apa?' tanpa suara lalu mengangguk lemas, "Yeah, perusahaan peluru yang sebagai sponsor kisah pembunuhan Barbie dan Ken."

Tidak ada yang tahu panggilan itu kecuali kami. Jadi aku memilih keluar dari toilet sambil memberi senyum officer tadi.

*****

Bullet = Condom.
Wdyt? So what I have to do to call Ethan's dick? A gun? Or... meriam? Boom? Lmfao. Trolololol.
~V

Living With an Idiot Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang