Alvin bilang, dia akan menemuiku di perempatan jalan dekat taman kota, namun, setelah menunggu hampir satu jam, ia tidak juga datang. Kami berjanji untuk menonton film bersama, dan di tanganku, tergenggam dua buah tiket.
Setelah Alvin masuk universitas, aku dengannya jadi jarang bertemu. Dulu, setidaknya kami kerap ke kantin, atau pulang sekolah bersama. Akhir-akhir ini kegiatan band-nya juga menambah waktuku dengannya berkurang. Biasanya, kami bertemu saat sore begini. Namun sekarang, ia lebih sering membatalkan perjanjiannya daripada datang menemuiku.
Kulempar cup bubble tea yang telah kosong ke tengah jalan, lalu remuk saat sebuah mobil melintas. Aku tidak menemukan pesan ataupun panggilan saat kuambil ponselku. Alvin selalu begini, tidak memberi kabar. Sekalinya menelepon, pasti yang ia katakan hanyalah permintaan maaf karena tidak bisa datang.
Dan bodohnya, aku tidak pernah bisa pulang lebih dulu sebelum benar-benar tahu apa ia mau datang atau tidak.
Aku dan Alvin berpacaran sejak dua tahun yang lalu, dan sikap dia yang seperti ini, selama beberapa bulan belakangan, seringkali membuatku curiga. Dulu tidak seperti sekarang, walaupun sama-sama terlambat datang, tapi tidak selama ini—hanya sepuluh sampai lima belas menit. Aku memasukkan lagi ponselku setelah mengirim serentetan kalimat untuk Alvin, lalu mengembuskan napas panjang.
Suara ranting yang tertiup angin semakin jelas kudengar setelah hampir dua jam duduk di seberang jalan. Beberapa daun dari pohon tempatku berteduh juga mulai runtuh, seiring rantingnya yang bergerak. Sambil duduk, kuayunkan kedua kakiku bergantian, pertanda aku mulai gusar. Saat kulihat layar ponselku lagi, tidak ada apa-apa, selain bunyi baterai lemah. Tiik-tiik.
Kupandang awan yang mulai gelap, udara sore yang sejuk berubah menjadi dingin. Diperintah mama, semestinya aku harus sudah pulang, karena tubuhku yang juga masih sakit. Perasaan dongkol kepada Alvin lambat laun menghilang, terganti dengan lelah dan kepala pening.
Well, aku sulit untuk marah kepadanya, apa pun yang dia perbuat.
Cahaya jingga menghilang, dan aku khawatir, malam segera tiba. Kugosokkan kedua tanganku, menciptakan hawa hangat, lalu kutempelkan ke kedua pipiku.
Sudah lebih dari dua jam, dan tidak ada tanda yang menunjukkan kedatangan Alvin. Waktu satu atau dua jam, mungkin masih sanggup untukku bertahan, tapi ini sudah lebih. Dua tiket film di tanganku semakin lusuh, seiring dengan tanganku yang tidak berhenti menggenggamnya.
Dan sekarang aku bisa mengatakan, kalau Alvin tidak datang.
Kutegakkan punggungku, kemudian bangkit dari tempatku duduk. Kelamaan duduk membuat kakiku keram, dan lututku menjadi sakit. Kueratkan hoodie yang kupakai, lalu melangkah, siap untuk tidak usah menunggu pria itu lagi.
Sia-sia, menunggunya hanyalah membuang waktuku. Oh, Tuhan. Aku lupa, Alvin pastilah butuh istirahat. Di semester pertama kuliah membuat ia kehabisan waktu senggang, ditambah jam mengajarnya di sekolah animasi. Sedangkan di hari Minggu saja, ia masih harus berkumpul bersama teman-teman satu band-nya.
Itu sudah rutinitas, dan semestinya aku mulai menyadari hal itu.
Sampai di taman kota, kubuang tiket film tadi ke tempat sampah. Lalu kuangkat tanganku dan mengusap pipiku yang basah dengan punggung tangan. Alvin memang sering terlambat, atau tidak datang. Tapi, pertama kalinya ia tidak mengatakan apa-apa, pun jika tidak akan datang. Alvin tidak membalas pesanku, tidak juga teleponku. Tidak sama sekali.
Tanganku melambai untuk memberhentikan taksi ketika aku tiba di jalan utama. Namun seseorang telah menepisnya duluan, dan disaat aku menoleh, segera kulepas genggamannya dari tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Story Before Go To Sleep
Short StoryCerita pendek oleh dreisqy. Sebatas 500-1k words. Menulis kapan dan apa saja.