Sejak kejadian itu, Maria selalu menyuruhku bangun lebih pagi. Latihan yang bagus untuk memulai disiplin waktu, katanya. Apalagi soal kebun belakang rumah yang harus disiram. Sewaktu kejadian dua minggu lalu belum menimpa kami, menyirami kebun adalah kegiatan ayah di pagi hari. Dan jika sudah selesai, kemudian menyuruhku membuat teh hangat dengan gula sepucuk sendok. Aku jadi ingat bagaimana komentar ayah saat itu, walau gula yang kutaburkan lebih banyak. “Yang pasti tidak semanis putri Ayah!”
Maria hati-hati menuangkan teh panas ke dalam gelas. Kemudian menuang teh dari teko lain dan mencampurnya ke dalam teh panas yang tadi baru dituang setengah. Ia meraih sisir dari meja dekat dinding, memberikannya padaku. “Sisir rambutmu. Belajar mandiri.”
Aku terpaksa untuk tersenyum. Melihat wajahnya, samasekali tidak membuatku tenang. Tapi, sama seperti selama dua minggu ini, justru ingin sekali rasanya menggaruk wajah sok manisnya, dengan kuku yang sengaja telah kupanjangkan ini.
“Jangan lupa beri Bomi sarapan.”
Beberapa hari lalu Maria membawa seekor kucing ke rumah. Karena Bomi, aku kehilangan kertas soal Matematikaku. Jadi, saat aku menemui Bu Yuli, karena tidak mengumpulkan tugas, ia menanyaiku ini-itu, dan seandainya aku tidak pura-pura pingsan, cercahannya pasti bukan setengah jam, melainkan satu jam.
“Kau dengar ucapanku, ‘kan?!”
Aku mengerjap mendengar suara Maria. Tanpa sedikitpun untuk takut, kutatap ia dengan sudut mataku tajam. “Aku dengar!”
“Jadilah anak baik. Masih beruntung aku mau merawat anak SMP sepertimu. Seharusnya kau berterima kasih padaku.” Maria menggigit rotinya. Ada suara decakan cukup keras saat ia mengunyah.
“Apa kau adik ayah? Ayah bahkan tidak pernah berkata, “terima kasihlah kau punya ayah sepertiku” .”
“Sudah diam!” Ia bangkit, meraih mangkuk berisi serealku. “Tidak perlu makan! Sana! Pergi! Dasar anak malas!”
Tubuhku berpindah dua langkah saat ia mendorongku. Maria sudah memberi dua lebam seminggu ini di tubuhku. Di tulang pipi, dan di betis kananku.
Seharusnya ia tak perlu seperti ini. Aku harus berangkat sekolah. Sebelum tangannya bertindak lebih, kuraih tasku dari dinding, kemudian mengayunkan kakiku lebar-lebar. Aku sempat terjatuh di tangga beranda rumah, hingga lututku sobek karena pakunya.
“Jangan pulang sekalian! Masih untung ada yang memberimu makan!”
Aku mendecih, secepatnya berlari agar tidak mendengar vokal nyaring itu.
Maria sering sekali mengungkit kejadian dua minggu lalu, seolah ia begitu menyayangkannya. Padahal, saat kehidupanku bukan seperti ini, Maria sangat jarang bertandang ke rumah. Sebulan sekali, itupun jika sempat. Pernah sekali menelpon ayah, dan ia bilang, urusan kantor sedang banyak. Aku tidak pernah tahu apa urusan kantornya, sampai sepekan kemarin. Ia baru saja pulang, di malam ketika membawa Bomi ke rumah. Dengan rok seatas lutut—sangat—ia berjalan kesusahan dengan membawa sepatu hak tingginya. Aku sempat berpikir jika Maria dipukuli, karena banyak luka seperti memar di ceruknya. Namun saat kutanya mengapa, buru-buru ia menutupi ceruk kirinya dengan rambutnya yang panjang.
Besoknya, Rianti—teman sekelasku—mengatakan, kalau Maria bukanlah wanita baik-baik.
Bulir hujan membuat gelembung-gelembung di rambutku, dan semakin kuperlebar langkah untuk pulang. Di jalan, aku sempat melihat Maria turun dari mobil mewah. Seperti biasa, dengan rok merah pendek, bahkan lebih pendek dari rok anak SD.
Mukanya berpaling dariku, seolah-olah tidak mengenaliku saja. Lagipula, sejak mendengar cerita Rianti, aku barang sedikitpun tidak menginginkan punya bibi seperti dia.
Air dikubangan sengaja kupijak, hingga sempat merembes ke kaos kakiku. Aku berlari mengejar Maria, kemudian berjalan di sampingnya walau dengan jarak yang cukup jauh.
“Dia siapa? Kok beda dari yang kemarin?” tandasku tanpa basa-basi.
“Urusi saja urusanmu.”
“Bahkan kau pernah bilang punya rumah besar saat ditelpon ayah. Apa kau semunafik itu?”
“Apa maksudmu?!”
“Maksudku?!” Aku mengulangi pertanyaannya, dengan nada cukup keras. “Mana rumah berbagasi-berkolam renangmu? Omong kosong.”
“Apa kau bilang?!"
Saat tangannya sampai ke kulit pipiku, bibirku kembali mengatup—tidak jadi berucap.
“Apa salahku punya bibi sepertimu?! Apa aku nakal?! Apa?! Bahkan ayah masih tertawa saat ia bertemu denganmu! Kau membohongi kami—semua!” Tidak berbelit, kupatahkan hatinya.
Mataku sudah panas melihat ia dengan pakaian yang bahkan tidak pantas disebut layak itu. Aku berlari, membekap kerikil-kerikil, menahan jeritan dan rintihannya. Air mataku menetes bersama hujan yang semakin deras, merebut tempat untuk jatuh ke bumi.
*
Ia datang menemuiku, berbaring di sampingku saat aku memekik memanggilnya. Ibu mendekap tubuhku, menghangatkanku di malam yang dingin. Aku tidak suka gelap, ataupun kegelapan. Tidak terlalu sering, hanya jika saat suhu tubuhku naik, maka bayangan yang menampilkan mobil-cermin-darah berganti-ganti, datang, dan mengetuk mataku yang semula terpejam.
Saat napasku lebih pelan dari sebelumnya, Ibu mengusap rambutku pelan, lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhku—menyisakan bahu dan kepala. Kemudian mengecup keningku, dan aku tahu, ia akan segera pergi dari tempat tidurku. Aku tidak ingin tidurku kembali terganggu karena mimpi itu lagi, jadi aku menahan lengannya. “Jangan pergi.”
Aku tidak melihat apa pun, selain tarikan dari kedua sudut bibirnya, dan garis kerut di sudut matanya. Ia kembali duduk di dekatku, mengusap suraiku lembut. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Tidurlah. Ibu di sini.”
“Ibu, apa Maria bisa berubah?” Aku bertanya, mengabaikan perintahnya.
“Bisa. Pasti bisa.”
“Yakin?”
“Jangan panggil dengan namanya saja.”
“Kenapa?”
“Dia adik ayah.”
Aku diam sebentar, merasakan tangannya yang masih mengusap rambutku.
“Tidurlah, Teresa. Besok kau harus sekolah.”
“Aku takut, Bu. Kejadian itu selalu mengusikku.” Aku yakin Ibu mengerti apa yang kukatakan, soal kejadian dua minggu lalu.
“Jangan dipikirkan. Lupakan, lagipula Ibu sudah di sini."
“Bukan hanya untuk sekarang, tapi juga seterusnya!” Suaraku sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, namun mimik wajah Ibu tetap menunjukkan kehangatan.
Ia tak kunjung menyahuti ucapanku. Kepalaku menunduk, enggan menatap matanya yang ternyata sudah tergenang air mata.
“Ibu.” Kuperkecil suaraku, sedikit serak. Aku beringsut mendekat, kemudian mengulurkan lengan memeluknya. “Aku rindu kalian.” Sulit untukku menahan tangis di depan Ibu. Setangguh apa pun aku di hadapan teman-temanku, kekuatanku runtuh saat melihat air mata Ibu terjatuh.
“Kenapa Ibu tidak datang untuk membuat sarapan pagi? Kenapa Ayah tidak datang untuk menyuruhku membuatkan teh?” Aku diam sejenak, berharap Ibu akan menjawab pertanyaanku, walau lebih terdengar seperti aku memprotesnya.
“Teresa mau tidur ‘kan? Akan Ibu temani.” Ibu membantu tubuhku berbaring, dan merapikan selimut yang tadi sempat terlepas. Ia mendekap tubuh mungilku dengan tangannya yang dulu menua. Tapi sekarang, kembali menjadi muda.
“Kenapa harus kalian yang pergi saat kecelakaan mobil itu?!”
Tangan Ibu berhenti merapikan selimut kasurku.
“Kenapa—“ omonganku terpotong dengan batuk. Selimut kasurku yang semula putih, menjadi ternoda saat percikan darah jatuh di atasnya.
Ibu memelukku tiba-tiba, meredam suara tangisku. Ia mengecup kening dan kedua pipiku, membiarkan air mataku membasahi pakaiannya. “Istirahatlah yang nyenyak, Sayang. Ibu akan menemanimu.”
Aku tidak ingin tertidur, karena dengan begitu, aku tidak akan lagi mendapati Ibu di sampingku.
Maka, selagi Ibu masih mendekapku, diam-diam kuraih silet dari dalam saku tasku, kemudian menyayat pergelangan tangan kananku dengan benda itu. Kutatap sejenak aliran merah yang menyeruak dari dalam arteri, sebelum merasakan darah berhenti memompa jantungku. Bayangan Ibu perlahan menghilang, sekuat apa pun aku berusaha mencegahnya.
Jika Ayah dan Ibu tidak bisa kembali, aku yang akan menemui kalian.
Ruas-ruas kamarku, yang tadi masih bisa kulihat dengan jelas, kini berubah kabur, kemudian secara perlahan, semuanya menjadi gelap.[]
PS. Sudah pernah diterbitkan dalam antologi cerpen
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Story Before Go To Sleep
Short StoryCerita pendek oleh dreisqy. Sebatas 500-1k words. Menulis kapan dan apa saja.