Rumah

406 19 0
                                    

Tetapi kampung, dan rumahku, di sanalah kurasa senang.

     Hidup jauh dari rumah, memang begitu sulit. Menjadi anak tunggal yang harus menanggung seluruh biaya keluarga, tentu sudah menjadi kewajiban. Zeni tidak pernah tahu kalau ia akan begini, menjadi seseorang yang harus jauh dari orang-orang yang ia kasihi. Ia rindu dengan semua yang sudah ia lihat selama dua puluh tahun lamanya, sebelum benar-benar pergi. Bertandang ke rumah cuma sekali dua kali dalam satu tahun, itupun kalau sempat. Banyak sekali yang harus ia kerjakan, seolah tidak ada hari libur baginya.

    Ia tidak bisa mengatur waktu, tidak ada yang memihak padanya.

   Pemandangan di kota membuat matanya muak; melihat asap mengepul dari cerobong-cerobong. Asap itu mengotori udara, membuat asmanya seringkali kambuh.

    Bagaimanapun, sesulit apapun ia dulu di desa, ia tetap mencintainya kampungnya.

   Hidup praktis memang mudah. Tinggal memutar tombol off ke tombol on, lalu dengan mudah api menyala. Tidak perlu mencari lalu menata kayu, dijaga, dan ditiup tiap kali. Di kota, selagi ia memasak air, Zeni bisa sambil mengerjakan pekerjaan lain. Menulis beberapa kalimat hanya dengan sepuluh jari dalam waktu singkat, tentu lebih mengenakkan daripada menekan pulpen hingga ujung jari memerah. Semua itu terasa lebih mudah.

    Mudah dalam waktu yang sementara.

    Tapi, di kota, ia tidak mendapatkan apa yang seperti dulu ia rasakan.

    Tumbuhan hijau yang tidak perlu disirami, udara segar tanpa polusi dan bau tanah, bukan pengharum ruangan. Bunyi 'kring' sepeda, bukan 'bib' klakson mobil. Bunyi telapak kaki anak kecil yang berlari, bukan suara scooter di halaman mulus. Bukan juga jajanan dalam bungkus, tapi dalam daun pisang.

    Ia tetap mencintai desanya, tempat ibu dan bapaknya tinggal.

   Tempat saudaranya, tempat keluarganya.

   Zeni pikir, dengan masyarakat modern dan jumlah yang lebih banyak, ia bisa menemukan banyak teman—setidaknya lebih banyak daripada di desanya dulu. Harapannya berujung dengan rasa kecewa. Dan temannya sekarang, lama-kelamaan pergi, melupakan ia.

    Di suatu malam Desember, saat hari raya, Zeni pulang ke kampungnya, menghirup udara segar yang sangat jarang paru-parunya makan. Memandang sawah—yang walau beberapa petak sudah hilang—hijau di matanya. Jalan yang ia pijak tidak lagi berbatu. Jalan mulus sebetulnya lebih baik, tapi tidak akan ada lagi yang namanya 'siasat' berjalan. Siasat memilih jalan yang tidak berlubang dan—karena musim hujan—tentu yang tidak tergenang.

    Zeni pikir, mungkin beberapa orang di desanya sudah memiliki motor, terlihat bagaimana jejak dan retak sedikit di hampir tepi jalan. Ia lebih suka yang dulu, lebih suka di saat orang yang lewat terpaksa berhati-hati.

     Untungnya tidak ada yang berubah dari halaman rumahnya. Masih dengan rumah panggung, dengan tangga kecil di depannya. Juga pohon mangga, juga nangka. Beberapa pembeli juga terlihat masih di sana, membeli tanaman singkong bapaknya.

    Dia, Zeni. Penerima scholarship, putri penanam singkong.

    Diangkatnya sedikit ragu tangan untuk mengetuk pintu, diharapkan seseorang berwajah manis yang membuka.

    Begitu sesuatu yang telah ia nantikan tiba: seorang gadis berambut maroon—jelas kalau berdarah Asia-Eropa—berdiri di hadapannya, tersenyum.

     Zeni merendahkan tubuhnya, kemudian dipeluknya gadis itu. Ia kecup gadis itu, membiarkan pipi gadis itu basah karena airmatanya.

    Lalu dipandangnya dalam-dalam, sebelum kembali dicium dan dipeluk, biarkan dia melebur rasa rindunya.

    "Mama."

    Suara mungilnya berucap, Zeni memeluk putrinya sekali lagi.

    "Mama."

     Ditenggelamkannya gadis itu ke dalam dadanya, menyatukan hati yang sudah lama terpisah. "Alfi."

    "Mama, sekarang Mama yang akan menyuapi Alfi 'kan?"

    "Iya, Sayang. Mama yang akan menyuapi Alfi. Mama yang akan menemani Alfi tidur. Mama yang akan mengantar Alfi ke sekolah. Mama yang akan ke toko sama Alfi. Mama yang akan temani Alfi belajar."

    Ibu satu anak itu tambah menangis. Menatap sendu putrinya, yang sudah besar begitu ia lihat. Zeni bersyukur Alfi masih mengingatnya, dan tidak canggung memanggilnya 'mama'.[]

1 Story Before Go To SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang