The Girl Who's You Called Best Friend

460 25 12
                                    

"Zar, lo kenapa sih suka sama cowok yang bahkan nggak nganggep lo ada? Elo nggak capek apa? Udahlah, Zar. Lupain dia. Ntar lo sakit." Wanda yang baru datang duduk di depan Zarfah, mengucapkan hal yang sama dengannya dua hari lalu.

"Elo cuma belum pernah ngerasain, Wan."

"Belum pernah gimana, sih. Aldi itu udah jelas jauh banget buat lo gapai, boro-boro dia ngelirik, tau lo idup aja alhamdulillah."

"Paan sih, Wan. Seharusnya lo mah doain sahabatnya biar gue bisa dapetin dia, malah gitu." Zarfah memajukan bibirnya, kesal dengan perkataan Wanda.

"Yah, Zar. Udah jelas, kali. Lo inget Fia adik kelas lo 'kan? Si Emas Passusal."

"Beda itu mah, Wan. Salah dia langsung nembak Aldi gitu aja, tau si Aldi nggak suka jadi pusat perhatian cem gitu."

"Tapi dia nolak Fia di depan anggota pramuka! Lo bayangin coba, gimana perasaan Fia pas itu. Terus katanya dia juga nggak masuk pramuka empat kali. 'Kan juga buruk buat raport-nya." Wanda berbicara tanpa jeda, Zarfah menghela napas.

Percakapan mereka terhenti oleh kedatangan guru, Wanda bergegas menghadap papan tulis dan memasang headset selagi guru biologi itu menerangkan. Zarfah pernah mendengar Wanda mengeluh, Wanda bosan tiap kali jam biologi. Kirain memang karena saat itu Wanda duduk di belakang jadi tidak dengar keterangan Pak Sunito, tapi mau di belakang atau di depan, rupanya sama saja. Suara Pak Sunito terlalu lirih di telinga Wanda.

"Istirahat, nggak?" tanya Wanda pada Zarfah, saat gadis itu baru saja menutup bacaannya.

"Nggak, duluan aja."

Zarfah memandang sampai tubuh Wanda dilahap daun pintu. Kelasnya kosong, hanya Zarfah yang duduk di tengah. Ia melepas kacamata dan menaruhnya ke dalam wadah. Zarfah bangkit, kemudian kakinya menuju ruang organisasi Cimed di ujung. Di atas pintunya tertera huruf kapital besar, "BULETIN CITRA MEDIA". Dan juga tulisan "Dilarang masuk selain pengurus/anggota" di tengah-tengah pintu. Zarfah memutar knop pintu, lalu dirinya duduk di kursi dan termenung untuk beberapa saat.

"Loh, Zar?" Suara Farid, PIMRED II, saat dirinya masuk. "Bukannya lo dipanggil tadi?"

"Hah? Siapa?"

"Kantor. Lo nggak denger? Tidur, ya?" kata Farid, sambil mengambil berkas dari dalam lemari. "Betewe rapat ntar lo beneran nggak bisa ikut? Ikut lah bentaran, kasian anggota baru yang nggak bisa liat pimpinannya."

Zarfah berdecak, "Lebay lu, Rid."

"Udah gih sana. Atau lo sakit? Mau gue wakilin?" Pria tinggi itu berputar, sepenuhnya menghadap Zarfah.

"Mana ada gue sakit," Zarfah beranjak, "Gue usahain ntar dateng, deh. Semoga bokap belum jemput."

"Oh, oke." Farid tersenyum, ada sesuatu yang menggelitik perutnya.

**

"Lo kemaren dipanggil kenapa, Zar? Tumben tadi pas rapat nggak bahas soal pertemuan kemaren." Farid memandang mata gadis itu cukup serius.

"Bukan soal cimed, Rid. Pribadi, kok."

"Soal apa?"

"Nilai gue."

"Hah? Nilai lo emang kenapa?" Farid menutup buku jurnal kelas, ia duduk di depan Zarfah, menunggu mulut gadis itu menyahut.

"Ada, lah. Soal itu."

"Soal kepala?"

Zarfah termenung, seseorang sudah memberitahu Farid.

"Nggak usah kaget gitu," kata Farid, membuka lagi catatan jurnal kelas. "Gue kemaren liat Bu Dira, agak kaget sih, ngapain kepala yayasan ke sekolah kita. Tapi, Wanda keceplosan."

"Wanda?" Zarfah mendelik, hatinya mencelos begitu saja mendengar nama sahabatnya. "Wanda yang bilang ke elo kalau Bu Dira ibu gue?"

"Ho'oh."

"Terus? Dia bilang siapa lagi?"

"Nggak tahu," Farid mengangkat bahu. "Lagian dia keceplosan, kok. Dan nggak ada orang lagi selain gue sama dia."

Zarfah menghela napas. "Syukurlah."

"Betewe emang kenapa kalo nggak boleh ada yang tau?"

"Nggak ada untungnya juga sih, buat gue."

"Zar," panggil Farid.

"Huh?"

Gue suka sama lo.

"Mau bilang apa?"

"Eh, enggak, enggak jadi." Farid bangkit, bersamaan panggilan untuk seluruh ketua kelas agar mendatangi ruang TU. "Gue ke sana dulu, ya."

**

Al_di

[Wan, lo jadi panitia KBO.]

[Wan.]

[Dipilih panitia tambahan dari organisasi lain.]

[Wanda.]

[Lo kok cuma nge-R.]

"Be-em dari siapa, sih, Wan?" Zarfah bertanya sambil melipat kertas origami menjadi burung bangau, tugas untuknya saat sedang malas-malasan, bersama Wanda.

"Biasa, lah, olshop," kata Wanda, sambil menyaku HP.

"Tumben amat lo nggak nge-silent mode HP lo di sekolah."

"Hehe," Wanda nyengir. "Eh, Zar, gue ke belakang dulu, ya."

"Iya."

Wanda bangkit. "Jangan lupa ntar gue ajarin pe-er kimia kemarin, awas lho kalo enggak."

"Iya, iya. Udah sana. Ntar ngompol di sini."

"Kok lo nggak bales be-em gue?"

"Yah, sori, Al. Gue lagi bareng Zarfah."

"Terus?"

" 'Kan lo tau, dia suka sama lo."

"Wan," kata sebuah suara dari ujung telepon gadis itu, "Lo lebih baik bilang ke Zarfah, deh. Gue nggak enak kalo dia tau dari orang lain."

"Nanti, 'key? Lagian kita 'kan baru sebulan."

Di balik dinding, Zarfah menatap kosong lantai. Dirinya jatuh sekian kilometer, tidak berujung. Dari balik kacamatanya ia meneteskan likuid asam, Zarfah melangkah pergi.

Lo tau, Wan. Gue suka Aldi dari kelas satu.[]

(Pojok Dinding Ruang Buletin, 28/01/17)

1 Story Before Go To SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang