Storm

1.4K 67 7
                                    

Aku sengaja tidak mampir ke rumah Elise hari ini. Seusai dari perpustakaan, aku memilih jalan berputar agar tidak melewati rumahnya. Beberapa kali ia menyuruhku untuk mengantarkan bunga kepada pelanggan, tapi ia tidak pernah memberikanku upah. Biasanya aku tidak mempermasalahkan hal itu, tapi kemarin petugas administrasi sekolah memintaku membayar tagihan bulanan.

Butuh dua puluh menit dengan berjalan kaki untuk bisa sampai rumah jika aku melalui jalan yang biasa. Karena aku berputar, jadi aku butuh waktu lebih lama, menjadi empat puluh menit. Aku melangkah lebih lebar ketika melewati jalanan berlubang, melompat di kubangan air, atau menghitung langkah pelan-pelan. Kemarin ada parade besar diadakan di jalan ini. Aku tidak tahu persis kenapa mereka memilih tempat ini. Tapi jalan di sini memang lumayan lebar—walau sepi—mungkin itu alasan kenapa parade itu diadakan di sini.

Waktu untuk sampai rumah, maksudku apartemen bibiku, tersisa waktu sepuluh menit. Aku sebenarnya bebas untuk lari; tidak perlu takut mendengar bunyi klakson keras nan mengagetkan, atau teriakan dari orang-orang di pinggir jalan. Rumah-rumah yang ada di tepi jalan sebagian besar memiliki gerbang—hanya satu-dua yang terbuka karena memiliki toko.

Hujan turun tiba-tiba di tengah-tengah aku hampir sampai rumah. Selain turun begitu saja, airnya juga sangat deras. Aku berlari kecil menghindar dari hujan kemudian berdiri di depan kios yang telah tutup.

Aku mundur saat angin membawa air hujan ke arahku. Dahan pohon meliung kesana-kemari, tampak mengerikan. Air hujan semakin terbawa kearahku. Dan pohon-pohon semakin ribut. Walau udara tidak serasa begitu dingin; aku mengeluarkan hoodie dari dalam tas lalu mengenakannya.

Tidak lama kemudian aku mendengar suara keributan. Ramai tidak jelas: teriakan, tangisan, gesekan ban dengan aspal, juga suara kecipak-kecipik kaki di kubangan air. Aku berjinjit untuk bisa melihat lebih jelas—maksudku mencari dimana sumber suara berasal. Tapi tidak kudapatkan apa-apa. Kemudian seorang pria—seusiaku—keluar dari dalam rumah, menghentikan wanita paruh baya yang lari di depanku.

"Bibi, apa yang terjadi?"

Wanita itu berbicara dengan air hujan yang terus menetes dari bibirnya. "Pohon beringin di seberang sana," ia menuding, "kamu tahu 'kan? Itu baru saja tumbang."

Mataku membulat kaget. Lalu kupandangi kakinya; berdarah. "Lalu Bibi mau kemana?"

Lama wanita itu tidak menyahut. Si pria di sampingku kemudian yang bertanya padanya—mungkin menanyakan pertanyaanku karena wanita itu sepertinya tidak mendengar suaraku. "Lalu Bibi mau ke mana?"

"Aku mau memastikan anakku di rumah apa tidak, aku takut jika dia sedang bermain sekarang."

Pria itu mengangguk. "Bagaimana ciri-cirinya?"

"Dia berwajah Asia, rambutnya pirang. Dia perempuan. Jessie. Namanya Jessie."

"Bibi cari ke rumah, aku akan ke san—"

"Ah, aku akan panggil ayahku sebentar." Pria tadi masuk ke dalam rumahnya, tapi aku berdiri di depannya, mencegah dia.

Ia memandangku sebelum akhirnya berbalik. "Aku akan ke sana dan Bibi cari ke rumah."

"Apa maksud—"

Aku tersenyum pada wanita di depanku, lalu berlari mengikuti pria tadi.

*

Yang kudengar pertama kali adalah tangisan. Aku mempercepat lariku menuju tempat di mana pohonnya tumbang. Anehnya, belum ada polisi yang datang. Aku berhenti setelah sampai, begitu juga pria yang bersamaku. Kupandangi seluruh siluet di mataku. Beberapa yang tertangkap masih terlihat jelas. Tapi hari semakin sore, aku tidak yakin bisa menemukan gadis itu—jika memang benar di sini.

"Jessie!" Aku melangkah dua langkah ke depan, "Jessie!" Aku berlari ke selatan. "Jessie!" Aku membuat corong dengan telapak tangan lalu menaruhnya di mulut. "Kau di sini?!"

Aku berhenti. Kakiku berputar sembilan puluh derajat. Ternyata memang bukan badai biasa. Badai sudah menumbangkan pohon yang berdiameter hampir setinggi manusia dewasa itu. Dua rumah hancur. Jalan retak sepanjang lima belas meter.

Aku mulai cemas, lalu kulangkahkan kembali kakiku ke sebelah timur. "Jessie, jika kau di sini tolong teriaklah! Aku mendengarmu!"

Hujan yang sempat berhenti beberapa menit kembali turun.

Sepertinya Tuhan berpihak padaku, sejauh sore ini penglihatanku masih jelas.

Tiba-tiba seseorang berbicara di belakangku. "Hei, Nak."

Aku berputar. Kutendang tungkai pria tadi, lalu ia berbalik.

"Ah, Bibi! Apa Jessie ada di rumah?!" Suaranya masih tetap terdengar tidak jelas, walau sudah berteriak begitu. Hujannya terlalu deras.

"Iya. Dia di rumah! Ah, syukurlah. Kukira aku akan kehilangan dia! Ya Tuhan, kau anak baik. Lihatlah, kau jadi kehujanan!"

"Bukan masalah." Ia menjawab dengan tawa kecil.

"Ya sudah!" kata wanita itu lebih keras. Sejenak ia memandangku lalu berkata lagi, "Ayo ke rumah Bibi! Hangatkan tubuhmu!"

Aku mengangguk sedangkan pria di sampingku menggeleng. "Aku harus pulang, Bi! Ayahku sendirian di rumah!"

Ia tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. "Ah, baiklah." Ia menepuk bahu pria itu sambil tersenyum. "Hati-hati di jalan, Sayang."

"Baik."

Kami meninggalkannya dan pergi menuju tempat kios tadi.

*

Buku tugasku tertinggal di sekolah, jadi aku harus mengambilnya lebih dulu. Badai datang lagi saat aku sampai di halte dekat sekolah. Tidak ada orang di sekitar sini sebelum kudengar sebuah teriakan. Suara teriakan itu masih terus kudengar hingga suara riuh yang lain datang.

Aku berlari, hingga kakiku berhenti tepat di halaman belakang sekolah. Pohon besar yang ada di sini juga tumbang. Badannya sempurna menindih ruang guru; puing-puing bangunannya tepat menimpa perpustakaan yang berdiri di lantai satu, bersampingan dengan ruang guru. Banyak dari atapnya yang jebol, juga beberapa dinding ikut retak.

Aku masih belum percaya dengan apa yang kulihat. Tanah sekitar pohon itu retak, menampakkan bagian dalamnya yang masih kering.

Aku menoleh begitu mendengar suara Mrs. Jane.

"Aku melihatnya, Pak! Gadis itu! Gadis itu ada di sana! Ia masih tidur!"

"Mana mungkin ada yang belum pulang di jam segini?!"

Mrs. Jane membenarkan ikat rambutnya yang kendur. Ah, itu artinya dia sudah jengkel sungguhan. "Anda tidak percaya di saat genting seperti ini?! Apa saya akan berbohong di saat seperti ini?!" Ada jeda sejenak, "Apa Anda anggota penyelamat sungguhan?!"

Lelaki itu tampak geram walau akhirnya tergambar kekalahan di wajahnya. "Telusuri perpustakaannya!"

Aku baru menyadarinya sekarang. Aku harus kembali. Segera kuperlebar langkahku, meninggalkan Mrs. Jane dengan tangisnya.

[]

1 Story Before Go To SleepTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang