Orang-orang memanggilnya Simbah Karet. Badannya bungkuk karena terlalu sering membawa beban berat kayu bakar di punggungnya. Rumah Simbah hanya gubuk reot di tengah-tengah hutan karet. Aroma balsem hampir tiap malam menyeruak dari gubuk kecil itu, memberi tanda kehidupan di tengah-tengah sepinya penduduk di sekitar.
ㅡ▪ㅡ
Ilham merapikan seluruh peralatan mendakinya. Ia mengalungkan kamera, kemudian beranjak dari posko dan melanjutkan perjalanan. Sembari membuka lembar-lembaran note-nya, Ilham mencatat apa saja yang ia rasakan, ia dengar, dan ia lihat di hutan itu.
"Tidak ada sinyal," keluhnya. Meski tangannya sudah dijulurkan ke atas dengan kaki berjinjit, tidak ada satupun batang sinyal yang masuk di ponselnya. "Bodo amat, udah."
Ilham tengah kerepotan dengan barang bawaannya saat seorang Kakek menghampiri dirinya.
"Assalamualaikum, Le," sapanya lembut.
"Waalikum salam." Tersirat nada gembira dari sapaan Ilham. "Bapak warga sini?"
"Iya, Le."
"Alhamdulillah." Ilham segera membersihkan tangan dengan mengelapnya ke paha, mengajak kakek itu berjabat tangan. "Saya Ilham, Pak. Dari pers salah satu kampus di Jogja."
"Oh, iya. Iya. Panggil saya Mbah Karet, Le." Kakek tua yang memperkenalkan diri dengan sebutan Mbah Karet itu membalas jabatan Ilham. "Ada apa gerangan, Le? Jauh-jauh kemari."
"Oh, itu, Mbah. Saya mendapat tugas dari penerbitan majalah kampus untuk meliput Masjid Karet di daerah sini, Mbah," jelas Ilham. Masjid Karet masyhur sebagai masjid misterius. Kemunculannya hanya pada petang, jam-jam sore seperti sekarang. Meski berada di sekitar rumah penduduk, Masjid Karet yang hanya dapat dilihat malam hari, hanya digunakan untuk salat berjamaah pada waktu maghrib dan isya'. Selepas ayam-ayam penduduk berkokok membangunkan tahajud, masjid itu menghilang, berganti tanah lapang.
"Hoalah. Masjid Karet," kata Mbah Karet, mengusap janggutnya yang tanggung. "Kalau begitu, kamu kebetulan bertemu orang yang tepat, Le. Saya ini dikenal masjid."
Mata Ilham berbinar. "Oh, begitu, ya, Mbah. Alhamdulillah."
"Kalau begitu, mari saya antar, Le. Mumpung waktunya pas sekali ini."
Ilham bergegas mengikuti Mbah Karet. Mereka melewati jalan terjal dan bebatuan. Meski medan yang dilalui cukup curam, tapi bagi Ilham ini merupakan tantangan baginya.
Setelah berjalan hampir 45 menit, sampailah mereka di hadapan gubuk tua. Tampak rapuh, tapi bambu yang disusun sebagai pagar rumah itu terlihat belum lapuk. Ilham mendaratkan bokongnya pada sebilah papan yang sudah Mbah Karet siapkan.
Kata Mbah Karet, "Le, mau kopi tidak?"
Ilham mengangguk, "Boleh, Mbah."
Sembari menyelonjorkan kakinya, Ilham membaui aroma yang tidak asing di hutan itu. Aroma kopi yang datang dari gubuk di belakang punggungnya, aroma alam yang sangat ia rindukan, dan satu aroma lagi yang tidak ia mengerti. Seperti aroma balsam, tapi siapa? Ilham memakai parfum pun tidakㅡapalagi balsam.
"Apa Simbah ya?" tanyanya pada diri sendiri.
Tidak berselang lama, Mbah Karet datang dengan menyajikan segelas kopi dan memberinya sebungkus rokok. "Ngerokok tidak, Le?"
Ilham menoleh. "Monggo, Mbah. Saya tidak merokok. Kopinya saja saya ambil." Ilham menyeruput kopi panas perlahan.
"Rame, ya, Mbah. Warungnya." Ilham menoleh ke belakang, memandang warung gubuk Mbah Karet. Suara-suara obrolan terdengar dari dalam, Ilham mendengarkan dengan saksama, tapi seluruh obrolan bercampur menjadi satu. Alhasil, tidak ada yang bisa ia simpulkan kecuali suara sesahutan dan kelakaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Story Before Go To Sleep
Historia CortaCerita pendek oleh dreisqy. Sebatas 500-1k words. Menulis kapan dan apa saja.