Sebuah marathon fiction, Aqua dan saya
A Reflection
MENATAP keluar dari jendela di kamar, begitulah Ersi selama berjam-jam. Sibuk memandangi hujan yang tak jua berhenti. Angannya terisi samar bayang pria yang pernah mengisi hati. Yang pernah hidup bersama, berbagi suka duka. Kenangan sedikit-sedikit terputar secara bergantian, mengorek kembali luka lama yang baru saja sembuh.
Kenapa harus ada yang menyebut namanya lagi? Setiap kali nama itu disebut, selalu muncul bayang-bayang sosok lelaki dalam masa lalu. Tidak bisakah ia melupakan memori itu untuk selamanya? Satu tahun ia mungkin berhasil lupa karena kesibukan, tetapi hanya satu orang yang menyebut namanya ingatan itu muncul lagi ke permukaan. Menyia-nyiakan usahanya selama ini.
Samar-samar, Ersi melihat sosok lelaki yang berdiri di bawah sana. Menatap ke jendela kamarnya, berusaha menatap ke arah gadis itu.
Dia... Kenapa harus muncul lagi?
Siluet pria itu mendekatinya, Ersi menyangkal bahwa dirinya berkhayal. Segala kenangan yang dilaluinya dengan pria itu naik ke permukaan. Ersi telah berharap dirinya dapat melupakan segala apa yang berhubungan dengan mantan kekasihnya, namun justru dirinya tidak dapat mengelak jika pria itu telah membuat bekas luka mendalam.
Saat tangan pria itu terulur berusaha menggapai Ersi kembali dalam genggamannya, Ersi mendengus. Bahkan dirinya tidak dapat membedakan mana nyata dan mana khayalan. Kenapa juga ia perlu peduli tentang panggilan aneh di malam hari?
Sesuatu yang ia rasakan seharusnya terkubur sejak lama, sampai-sampai Ersi lupa dirinya telah menamakan segala perabot rumah tangga menjadi Edwin. Bukan, tentu saja Ersi tidak mencintainya lagi. Sedangkan Edwin mengejarnya, boleh Ersi bertanya, jika kau mengalaminya, kau akan tenang?
Bahkan sekarang, Ersi menolak takdir.
Ersi menatap Edwin diam-diam. Memastikan sosok di hadapannya bukanlah khayalan seperti hari-hari sebelumnya. Pria iu harusnya sudah pergi tiga tahun lalu dan tak akan pernah kembali.
Tapi jika seperti itu kenyataannya, siapa sosok yang di hadapannya ini? Sosok yang terasa begitu nyata keberadaannya. Tak mungkin ini--setidaknya itulah harapannya.
"Untuk apa kau kemari?" Ersi bertanya, sedikit ketus. Tapi pria di hadapannya justru tersenyum kecil dan duduk di kursi yang ada di depan Ersi. Membuat keduanya berhadapan.
"Lihat baik-baik. Menurutmu apakah ini asli atau khayalanmu?" tanya Edwin balik. Alih-alih membuat Ersi tersenyum, hal itu justru membuat Ersi harus berusaha keras menahan air matanya agar tidak menerobos ke luar.
"Sayangnya, begitu sulit membedakan mana imajinasi dan mana kenyataan untuk sekarang ini."
"Kau, membuatnya sangat jelas." Tangan Edwin menyentuh pinggiran gelas yang baru saja diambil dari meja, "Kau, masih mencintaiku."
"Tidak, tentu saja tidak." Ersi menoleh, dirinya berdiri kikuk, mengingat pertemuan semacam ini bukanlah keinginannya.
"Memangnya, apa keinginanmu?"
Ersi, sadarlah. Edwin di depanmu bukan Edwin mantan kekasihmu, dia hanya refleksi dari apa yang kau rindukan, dan dengan jelas kau berbicara dengan dirimu sendiri.
Tapi lagi, Ersi mengelak. "Kau pergilah. Jangan lagi mengganggu malamku."
"Aku tidak mengerti, Ersi. Kau begitu menyukai malam, dan sekarang hujan." Tangan pria itu mendekap Ersi hangat. Tubuhnya tenggelam dalam dadanya yang bidang. Ersi mendecak.
KAMU SEDANG MEMBACA
1 Story Before Go To Sleep
Short StoryCerita pendek oleh dreisqy. Sebatas 500-1k words. Menulis kapan dan apa saja.