Hutang

433 28 1
                                    

Pagi ini, langit biru mencerahkan aktivitas warga pulo gebang Jakarta Timur. Semua orang bersiap memulai kesibukan masing masing, anak anak pergi sekolah, pedagang sudah mulai menjajakan jualan, dan segelintir lainnya yang memulai aktivitas di luar kebiasaan semua orang.

Raut wajah ke lima orang dalam ruang tamu rumah Tuan Rahmadi pagi itu beragam. tegang, sedih, kecewa, bingung, seluruh perasaan tercampur menjadi satu hingga sesak tak bisa Tasya bendung lagi. Perlahan, air matanya mulai merangsek satu per satu berebutan keluar.

Dua orang yang mengetuk rumah barusan, sungguh membawa berita bagai badai di siang bolong untuk keluarga Tuan Rahmadi. Rumah besar mereka disita, beserta perabotannya. Bukan hanya rumah, perusahaan, aset, mobil, seluruh harta Tuan Rahmadi, tak bersisa.

Jadi bagaimana melanjutkan hidup kini? Tanpa uang? Dunia akan sangat jahat padamu. Tanpa uang? Bahagia akan lebih rumit untukmu. Tanpa uang? Segalanya tak lagi ramah untukmu.

Pikiran-pikiran itu terus berteriak walau dalam isak yang samar samar dibuat oleh Tasya dan Ibunya, Rani. Bahkan sampai di rumah baru mereka, Tasya masih merenungkan hidupnya tanpa uang.

***
kamar barunya dengan luas tak sampai seperempat kamarnya yang lama, di temani alunan musik instrumen dari satu satunya benda mewah yang berhasil ia selamatkan I-Phone 6, hadiah ulang tahun dari tuan Rahmadi setahun lalu.

Tasya berbaring di atas kasur, mencoba melupakan ingatan terakhirnya tentang hari ini, ia ingin tertidur dan bangun untuk melihat bahwa ini mimpi. Tapi, semua visualisasi disekitarnya begitu nyata, dan tidak nyaman.

Bau kasur apek, dinding lembab, lantai berdebu. Ah... jangan di tanya, ini mimpi buruk. Belum lagi plafon penuh sarang laba laba. Semoga tidak ada kecoa dari balik pintu, hanya itu satu satunya harapan Tasya.

Ingatan itu muncul lagi, memaksa Tasya memejamkan matanya rapat rapat dengan bantal kemudian berteriak frustasi dalam bekapan bantal. Ia tak bisa membuat ini hanya mimpi. Semua ini terlalu nyata, juga sekelebat ingatan itu.

"Papa serius ikut investasi emasnya om Andi?" Tanya Tasya begitu mendengar jumlah uang yang baru saja diberi tuan Rahmadi untuk sahabatnya.

Tuan Rahmadi hanya mengangguk, terlalu malas memulai pembicaraan berat dengan anaknya, toh Tasya baru 17 tahun, manja, belum dewasa, semua ini juga untuk kehidupannya. Fikir Tuan Rahmadi masih asik dengan aktivitas mengunyah suapan nasi dan semur jengkol buatan Rani, Istrinya.

"Ehm, tapi nih ya pa... guru aku, papa ingat Pak Darma kena tipu, ya karna ikut ikut investasi gitu, kasian deh pa" lanjut Tasya.

"Tasya... tugas kamu sekolah yang benar saja, bulan depan ujian kan? Urusan mencari nafkah itu urusan Papa, sudah makan makananmu" tandas Tuan Rahmadi, terlihat ia tidak suka diajari oleh Anaknya sendiri.

Seandainya Tuan Rahmadi mendengar, tidak! Seandainya ia mempertimbangkan, mungkin hari ini mereka tak harus terperangkan dalam kontrakan sumpek, seharga lima ratus ribu per tiga puluh hari kedepannya.

Seandainya... ah sudahlah tidak ada yang beres dengan kata seandainya. Semua sudah terjadi, menyesal sekarang sudah tidak berguna. Tuan Rahmadi mungkin salah satu dari deretan mereka yang mudah terbuai janji, Tasya tahu Ayahnya sering kali ditipu dalam bisnis, dan untuk itu Tuan Rahmadi sangat berhati hati dalam mempercayakan uangnya.

Tapi pada sahabatnya Andi. Tuan Rahmadi percaya, sangat percaya. Jadi, siapa yang mengira harga sebuah persahabatan dan kepercayaan semurah harta Tuan Rahmadi?

Memikirkan semuanya, membuat kepala Tasya pening, belum lagi isakan ibunya yang masih terdengar sejak tadi. Jadi, solusi konkrit apa yang bisa ku beri? Fikir Tasya dalam dalam. Sambil menopang dagu dan mengerutkan kening.

Sebuah ide, dari banyak cerita novel roman picisan yang sering ia baca. Menikah, ya itu solusi konkritnya. Apa susahnya menemukan pria berdompet tebal yang mau menopang ia dan orang tuanya. Tidak sulit! Berumur juga tidak apa apa. Ya, ya. Menikah! Kolega bisnis ayahnya sukses semua, walau entah jalurnya seperti om Andi atau tidak. Yang terpenting ia bisa bebas dari mimpi buruk ini.
Mudah. Hanya mencari calon, dengan spesifikasi kaya, lalu menikah. Yang sulit ketika Tasya melirik ke arah kaca kusam di kamar itu, mendapati dirinya tak secantik dan semenarik tokoh novel yang sering ia baca tadi.

Spesifikasinya gendut! Dengan pelengkap wajah yang bulat dan beberapa jerawat di bagian dagu.
"Cantik itu relatif! Pasti bisa, ya ini satu satunya jalan pintas. Menikah!" Ikrar Tasya menirukan gaya deklarator lengkap dengan kepalan tangan dan anggukan mantap.

BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang