Realita

234 20 0
                                    

Tasya kembali fokus melihat bayangan lusuh dalam cermin lamat lamat, detik berikutnya membuang nafas kasar lalu berusaha tersenyum semanis mungkin. Setelah deklarasinya dua hari lalu, ia sangsi.

Dirinya sendiri tak yakin bisa menemukan pria yang sesuai kebutuhannya, mengingat dia gadis yang sangat tidak menarik.

"Realistis lah tasya, mana ada pria kaya, yang mau dengan tumpukan lemak sepertimu. Kalau bukan dia tidak waras pasti matanya katarak" imbuh Tasya lalu kembali merebahkan tubuh sintalnya di lantai.

Kadang, kisah fiktif terlalu mempengaruhi dunia nyata seseorang hingga batas antara khayalan dan kenyataan menjadi tipis, bahkan bertukar posisi. Kehidupan tak pernah semudah novel romancenya, dan ia baru sadar kini.

Jadi, bagaimana menyelesaikan masalah keuangannya? ia pengangguran, mau bekerja, lalu kuliahnya? Apa sebaiknya dia mengambil cuti? Itu berarti, semester ini PKLnya harus tertunda, dan memang harus. Dari mana pula uang untuk membayar biaya PKL.

Lima juta rupiah, uang yang dulu tidak besar, tapi sekarang? Ah sudahlah dia memilih tidak mendebatkan itu lagi.

Setengah jam kemudian, tasya sudah rapi dengan kunciran kuda favoritnya, baju biru bercorak boneka teddy juga celana levis hitam ketat.

Hari ini, dia harus mencari kerja, mungkin kisah cinta romance ala ala CEO tidak akan pernah mampir dalam hidupnya, tapi penghidupan layak masih mungkin untuk ia perjuangkan. Kalau nanti bertemu kisah cinta, anggap saja jekpot dari Tuhan.

Hari ini, ayah dan ibunya masih sibuk menghubungi kolega bisnis yang tersisa, sanak keluarga yang kiranya masih perduli. Dasar manusia! Selalu datang kalau ada maunya, bermanis manis kalau butuh lihat sekarang, ketika mereka yang meminta pertolongan? Semua orang itu balik kanan tiba tiba jadi buta dan tuli.

"Papa... mama. Tasya pergi dulu, mungkin malam baru balik" pamit Tasya tanpa memperdulikan panggilan Rani yang ingin tahu kemana dia akan pergi.

Ini kali pertama ia keluar rumah, jalanannya sempit hanya bisa di lalui satu badan mobil, suasananya benar benar asing untuk Tasya, suara gonggongan anjing dan raungan kucing yang bersahutan, gaduh teriakan dan tangisan yang beradu jangan lupakan bau kenalpot motor yang dipanaskan juga bau makanan dari warung yang baru saja ia lewati.

Selokan air yang penuh dan berwarna hijau kehitaman, sampah di sepanjang jalan, beberapa bocah dengan lelehan dan tarikan ingus yang berlarian di sekitarnya.

"Tuhan... daerah mana ini?" Batin Tasya sambil terus berjalan dan mengingat belokan belokan keluar menuju jalan raya yang tadi ia tanyakan pada abang bakso.

Aih, padahal tadi maksud hati refleks memanggil untuk membeli seporsi bakso, tapi kantongnya tak menyokong, akhirnya sudah kepalang basah, ia bertanya saja dimana arah jalan raya.

***

Ini pertama kalinya Tasya menjejalkan bokongnya untuk duduk di atas angkot. Astaga, ia begitu nekat naik angkot tanpa tahu tujuan pastinya.

Saat tiba di terminal akhir, Ia mengeluarkan 5000 rupiah yang di ambil supir dengan wajah masam. Mungkin kurang, karena badannya yang menjatah dua penumpang.

Tasya berjalan keluar terminal, lalu membaca "terminal Senen". Masih di Jakarta rupanya, mudah, ia hanya perlu naik angkot bernomor sama seperti yang tadi, dan tara... pasti akan sampai di perumahan kumuh tadi.

Jam mulai merangkak naik, matahari mulai nyalang sinarnya, betapa Jakarta panas luar biasa saat siang terang benderang, tanpa arah yang pasti Tasya mulai masuk dari satu toko ke toko lain dari satu Mall ke mall lain. Jakarta tak menyediakan banyak lowongan rupanya.

Dengan peluh karena letih dan suhu siang itu, Tasya yang lelah langsung asal duduk begitu saja di pinggir trotoar jalan, ia melihat uang dalam tasnya tersisa sepuluh ribu.

Untung, tadi sempat membawa minum dari rumah. Batin Tasya lalu menegak airnya hingga tandas tak bersisa, detik kemudian perutnya bergemuruh hebat. Ia lapar.

Rasanya ingin menangis, seumur hidup inilah titik terendahnya. Hanya memegang uang sepuluh ribu dan kelaparan, kalau beli makanan belum tentu cukup. Lagi pula, kalau habis, ia akan pulang dengan apa?

Tasya mengabaikan perutnya, namun kakinya berdusta, ternyata ia melangkah mantap menuju gerai donat di dekat trotoar, matanya tanpa sadar melirik jejeran donat dengan toping menggiurkan di etalase toko.

Mulai dari coklat, stawberry, bulberry, sampai donat bertoping lucu mirip wajah panda. Seluruh bahasa tubuhnya kini refleks tak disadari oleh Tasya.

Bagaimana ia menunjuk satu per satu deretan donat lalu menjilati bibirnya sendiri, sesekali bahkan tangannya mengelus elus perut buncitnya di balik kemeja biru teddy yang sudah lembap oleh keringat sejak tadi.

"Maaf bu... ada yang bisa saya bantu?" Sekejap Sapaan pelayan toko melenyapkan sosok kelaparan tasya.

"Emn... eh.. ini mba... saya, saya mau cari lowongan pekerjaan. Ada nggak mba?" Jawab Tasya sedikit gelagapan, sambil merutuki betapa memalukan sikapnya tadi.

Pelayan toko itu lalu mengambil map yang di sodorkan Tasya, kemudian tersenyum manis. Mungkin semanis donat coklat dalam etalase tadi, lihat saja selain senyuman yang manis, ia punya tubuh yang ideal, rambut yang panjang, juga wajah yang cantik.

Tasya lalu melirik name tag milik pelayan toko yang kini serius membaca map miliknya, Alifah.

"Masuk, mba Tasya. Kita bicara di dalam" sebuah kalimat yang tiba tiba menerbangkan anakan rambut Tasya, ya sebenarnya karena angin sedang berhembus.
Tapi sejuknya angin siang itu, barangkali karena ucapan Alifah barusan. "Tuhan... semoga ini awal jalanku memulai kehidupan baru, aamiin, dan semoga aku diterima, aamiin" doa dan harapan Tasya sambil mengikuti langkah Alifah ke dalam toko.

BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang