Get Weird (11)

788 101 25
                                    

"Sorry, I was never good enough."

- Unknown
-------.------


"Makasih buat segalanya Ya..."

Kata-kata Max sore hari tadi selalu berputar-putar di otak. Terngiang, seperti menghantui. Kilasan per kilasan memori kejadian sore tadi, berputar kembali. 

Aku tidak menolak dan tidak menerimanya. Namun, Max sendiri yang mengungkapkan perasaanya terhadapku tanpa meminta jawaban.

"Maaf Max....." batinku bersuara.

Kami telah berjanji untuk tidak saling mengacuhkan karna perasaan ini. Dan Max berjanji, bahwa ia akan selalu ada saat diriku membutuhkannya. Tapi, apakah aku membutuhkannya? Pasti aku akan membutuhkannya. Suatu saat. Pasti.

Max berkata padaku, mungkin ia akan menghilang sesaat. Cara untuk move on dariku katanya. Jika ia menghilang, aku akan merindukannya. Tidak ada lagi ice cream gratisan lagi. Tidak ada yang memperlakukan seperti princess lagi. Dia menghilang, tapi aku yang kehilangan.

Pikiran dan keheningan di kamarku ini, perlahan membuatku ingin menutup mata dan tidur.

***

"Makasih ya Mar..." ucapku kepada Damar, karna ia telah mengantakanku sampai depan gerbang dengan selamat.

Tanpa acuh Damar menatapku sambil terduduk di dudukan sepedanya, "Nope..." ucapnya berbangga.

"Hati-hati. Gak usah jemput, gue pulang sendiri. Kalau udah bubaran, langsung pulang lo. Jangan ngelayap." titahku panjang lebar.

"Laporan diterima." jawabnya dengan tangan kanan hormat kepadaku.

Aku menoyor kepalanya. Memang ada saat dimana Damar akan menyebalkan + menyenangkan. "Sana. Kalau telat, nanti gue yang disalahin lagi,"

"Itu mah pasti kak. Yaudah Damar berangkat dulu, byeee." pamitnya terhadapku dan langsung menggoweskan sepedanya tanpa menghiraukan balasanku.

"Hati-hati. Idiihh tuh anak, ckckck..." lirihku saat melihat Damar menyalip motor yang menyebabkan si pengendara motor ngedumel.

Ku tapakkan kaki ini memasuki gerbang sekolah. Sudah beberapa bulan sekolahan ini menjadi naunganku. Banyak kejadian yang ku lalui, yang membuat hariku berwarna. Tidak kelam seperti diriku kemarin.

"Ya..."

"Eh, Dit..." sapaku saat melihat Radit yang sudah ada di sampingku dengan tas gebloknya.

"Tumben lo pagi-pagi berangkatnya. Ada apaan?"

"Gue berangkat kesiangan, salah. Berangkat pagi, salah. Maunya apa sih lo?" jawaban yang termasuk sinis. Tapi, Radit tau dari tatapanku.

"Hahaha, sorry my lil sister..."

Ucapannya yang membuatku tersedak, "Sejak kapan lo bisa bahasa Inggris?" tanyaku misterius.

"Sejak kamu di hatiku....."

Kata-kata yang membuatku berhenti di tempat. Dengan kekuatan penuh, ku raba dahinya, "Gak panas." Dan lehernya, "Gak panas... Lo kenapa Dit? Ada vampire yang gigit lo? Apa ada kampret yang nyerempet lo?"

"I'm okay, okay..."

"Jangan deket-deket gue. Hidup gue masih panjang Dit. Iiiihhhhh," ucapku sambil mengambil langkah seribu.

Ku dengar Radit memanggilku di belakang, "Tungguin Yaaaa..."

Aku masih mau hidup. Aku gak mau ketularan virus gila Radit.

Buuukkkk

"Aaawww...."

"Kalau jalan, tuh pake mata."

Seperti dejà vu. 

Tak ada tatapan lembut yang ku temukan di mata Revan. Hanya ada tatapan saat pertama kali kita tabrakan, sinis.

"Van..." lirihku, merasakan sakit di pergelangan kaki.

"Shit," ucapnya dan pergi meninggalkanku.

Aku tatapi kepergiannya. Aneh. Hanya satu rangkaian pertanyaan di otakku. Dia kenapa?

"Aya,"

"Heh? Aawww..."

"Ya Allah, lo kenapa Ya?" tanya Radit khawatir. Dengan sigap ia memapahku.

"Gue gak apa-apa kok. Udah gue bisa jalan sendiri," kataku sambil berusaha berdiri tanpa bantuan Radit.

"Aaaww..."

"Bandelkan? Gue rangkul lo sampai UKS, oke ayo."

"Gue gak mau ke UKS." tegasku sedikit berteriak.

"Kemana dong?"

"Ke kelas lah bego, ih."

"Oh, yaudah. Ayo," ujar Radit sambil merangkulku. Memapahku menuju kelas, tanpa memperdulikan berpasang-pasang tatapan di sekitarku.

"Pelan-pelan Dit, sakit." lirih yang benar-benar lirih. Sakit yang hanya berpusat di pergelangan kakiku. Benar-benar sakit.

"Iya,"

Radit memapahku dengan sabar. Sebentar-bentar menanyakan keadaanku. Rasanya hanya Radit yang care denganku sekarang.

"Pelan-pelan Dit,"

"Iya, sebentar lagi nyampe nih." ujarnya dengan nada tak sabar.

Saat kita hampir sampai di kelas, kegaduhan yang hanya ku dengar. "Radit, kelas lagi tawuran apa?" tanyaku polos.

"Mana gue tau. Diem lo, berat tau gak."

"Emang gue berat?" tanyaku polos lagi.

"Tau ah," jawabnya yang terdengar putus asa.

Benar-benar ramai kelasku. Inilah pemandangan yang ku jumpai saat memasuki kelas ini. Namun, ada yang berbeda di kelas ini.

"Rat?" sapaku ketika kita sampai di tujuan. "Aaawww, makasih ya Dit."

"Iya. Istirahat, lo kompres tuh kaki pake es. Jangan lupa."

"Iya," jawaban sebelum ia pergi meninggalkanku ke bangkunya.

"Rat?" Aku tepuk pundak Ratna. Ya, dia sedang menyumpal kedua telinganya dengan headset sambil membaca novel dengan genre kesukaannya.

"Yaa..."

Ini bukan Ratna yang ku kenal. Bukan Ratna yang biasa duduk di sebelahku. Yang menjawab pertanyaanku dengan sinis. Bukan Ratna yang memakai kacamata, rok panjang, dan kemeja lengan panjang. Bukan Ratna yang selalu mengikat rambut kudanya.

"Aya, kamu kenapa?"

"Hah? Oh, aku gak apa-apa kok." jawabku dengan senyum palsu.

"Bener? Tapi tadi....."

"Aku gak apa-apa kok. Bener," ujarku memotong ucapannya.

"Oh, oke..." jawab Ratna sambil melanjutkan kegiatan yang tadi sempat aku ganggu.

'Aku gak apa-apa' batinku melirih.

Apa tak ada kejutan yang lebih baik dari semua ini? Mengapa hidupku begini? Rasanya baru secuil ku rasakan pelangi di hidupku.

Ya tuhan, mengapa hidupku yang berwarna Kau renggut kembali?

***
Tbc...
.
.
.
.
.
.
.
.
Konflik dimulai dari part ini yaa gaaeeesss😙!!! Jangan lupa jejak kalian okeeehhh.... Lop u all😘

See u next part!😚

Beloved OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang