Ketika Ale Harus Pulang

57.4K 4.9K 414
                                    

Saya dan Ale terpisah jarak. Bandung—Jatinangor itu puluhan kilometer jauhnya.

Tapi tak cukup jauh untuk membuat saya merasa berhak mengeluh tentang bagaimana kami hanya bisa bertemu satu dua kali--tiga kali, kalau rindunya sedang tidak bertepuk sebelah tangan--dalam seminggu. Bila Ale mau menghampiri saya, atau saya mau menghampiri Ale, masing-masing harus rela satu sampai dua jamnya terbuang di perjalanan. Padahal bagi ego saya dan ego dia waktu adalah prioritas.

Maka dari itu, detik di mana Ale mengantar saya kembali ke tempat tinggal saya setelah hampir setengah hari kami menghabiskan waktu bersama, adalah detik yang paling tidak saya suka.

Saat ini hanya dua puluh menit tersisa sebelum hari Senin tiba. Ale dan saya masih dalam perjalanan pulang, menyenandungkan lagu-lagu yang baru kami tonton pertunjukannya semalaman. Entah dia sadar atau tidak, tapi saya tahu Ale sengaja tidak mengemudikan mobilnya lebih cepat dari 40 kilometer perjam.

"Kuliah kamu tuh nggak bisa apa pindah ke sini?" Saya menggerutu tanpa alasan.

Ale cuma senyum-senyum. Saya kira temporer. Ternyata sampai berdetik-detik kemudian lengkungan itu masih ada di sana, diikuti tawa geli dia sendiri. Saya curiga dia punya bayangan-bayangan aneh di otaknya.

"Ngapain sih kamu?" Tanya saya.

"Seneng."

"Kok seneng?"

"Tumben kamu manja."

"Mana manja? Aku serius."

"Malah bagus kalo serius. Daripada dibercandain sakit." Balasnya (iya, jangan protes mengenai leluconnya yang tidak lucu, saya juga barusan tertawa saking tidak lucunya) sebelum melirik saya sekilas, lalu mengerang sendiri. "Aaah, kamu aja dong yang pindah ke sana? Kan udah ada kampusnya??"

"Ga mau ih, enakan di sini."

"Iya sih enakan di sini."

"Lebih dingin ya?"

"Engga."

"Trus?"

"Ada kamunya."

Tertawalah saya, sementara tangan saya mendorong pipi dia pelan. "Berisik tau ga."

Perbincangan saya dan Ale setelah itu bercabang tak kenal arah, sampai tak terasa kalau kos saya sudah di depan mata. Dengan berat hati, saya keluar dari dari mobil, berbalik, memandangi dia lewat kaca jendela yang iaturunkan.

"Hati-hati di jalan, ganteng." Saya melambaikan tangan pelan. Pura-pura masih bersemangat. Padahal rasanya saya ingin membawa dia sekalian untuk saya kantongi di dalam plastik dan saya simpan rapat-rapat di sudut kamar. Sayangnya Ale terlalu besar. Walaupun sebetulnya dia tidak besar, apalagi jika bersebelahan dengan Jeremy, tapi tetap saja, Ale itu besar.

"Aku pulang ya."

"Iyaa."

"Gapapa aku pulang?"

"Iyaaaaa. Buruan gih besok kuliah?"

"Pulang ya."

"Iya Aleeeee..."

"Kamu masuk."

"Iya kalo kamu pergi aku masuk."

"Eh bentar, mau nitip salam ngga?"

"Buat siapa? Kak Brian?"

"Buat Kak Ale." Dia tersenyum lebar. Mati-matian saya menahan untuk tidak mendekat dan mencubit lengannya gemas.

"Mmm... ya udah boleh deh."

"Salam doang apa pake pesan?"

"Bisa pake pesan?"

"Bisa. Singkat aja tapi ya. Kalo panjang-panjang pidato."

"Iyaaaa."

"Pesannya?"

"Pesannyaaa... Ngggg... Jangan lucu-lucu jadi orang."

"Jangan lucu-lucu jadi orang." Dia mengulangi. Tangannya bergerak menirukan gestur mencatat, dengan telapak tangan satunya sebagai alas menulis. "Trus?"

"Kalo lucu, jadi pelawak aja, jangan jadi pacar aku. Akunya capek ketawa."

Eh malah Ale yang sekarang tertawa. Ajaibnya, suara gelak teratur Ale itu menular. Mungkin kalau ada abang-abang nasi goreng lewat, dia juga akan ikut tertawa bersama kami.

"Itu aja?"

"Itu aja."

"Ongkirnya cium pipi ya."

Saya mendelik, "Heh!"

"Beneran nih. Kamu yang ke sini apa aku yang ke sana?"

"Ale besok kamu kuliah jam delapan pagi."

"Kamu jam tujuh."

"Iya makanya."

"Ya udah ya?"

"Iya."

"Aku pulang nih?"

"Aduuuh bodoamat!" Saya memutar tubuh saya dan melangkah memasuki teras dengan sebal, sementara dia malah terbahak-bahak di dalam sana.

"Udah sanaaa!" Seru saya dari muka pintu, lumayan kencang dan lumayan mengusir. Saya tidak mau tanggung jawab kalau Ale harus absen karena bangun kesiangan. Untungnya kali ini dia menurut. Ale melambaikan tangannya, perlahan kembali menutup kaca jendela, kemudian menginjak gas dan berlalu pergi.

Dalam diam saya tersenyum-senyum sendiri. Dia itu, sungguhan, lucu sekali. Bikin saya tidak rela untuk menunggu satu minggu lagi.

Tapi apa boleh buat, ya?

Ya sudah, deh.

Dadah Ale.

Sampai ketemu sebelum kangen.

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang