Ketika Ale Wisuda

11.4K 1.5K 222
                                    

Satu hal yang paling saya sesali dari sembilan belas bulan tiga belas hari menjadi manusia biasa, adalah ketika saya melewatkan salah satu momen paling berharga dalam kehidupan Ale; momen ketika dia berhasil menyematkan gelar Sarjana Sosiologi di belakang namanya.

Sebelum itu, izinkan saya menceritakan kesaksian saya sebagai seseorang yang menemani dia selama bertempur dengan tugas akhirnya.

Jujur saja, saya tidak pernah melihat kondisi Ale semenyedihkan ketika ia dikalahkan telak oleh ketakutannya terhadap kelulusan. Kumis tipisnya belum dicukur entah sejak kapan, rambutnya pun memanjang, sudah menyentuh dan menuruni sedikit bagian telinga. Tidak terdengar musik kesukaannya di seisi apartemen saat itu. Hanya dia, tubuh kurus berbalut kaus kedodoran, buku dan jurnal berserakan tidak keruan, dan sepasang mata yang tak hentinya menguarkan amarah.

"Alah anjing nih semua," umpatnya lagi-lagi sembari menjatuhkan ponselnya dengan kasar ke atas meja ruang tengah, saya asumsikan dia baru saja membaca sebuah pesan. Ale lalu menenggelamkan dirinya mundur ke sofa, menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Mau jadi apa gue anjing."

Saya yang sejak tadi iadiamkan bagaikan seonggok benda mati di sampingnya hanya bisa mengernyit. "Can you please stop that?"

"Apa?"

"Aku nggak ke sini buat dengerin kamu marah-marah." kata saya. "Tapi kalo kamu mau cerita, I will listen."

Kami beranjak menuju balkon ditemani dua gelas susu hangat. Saya kira dengan mendengarkan apa yang ingin ia katakan, saya bisa sekurang-kurangnya membantu Ale mengangkat sebagian beban yang selama ini dia pikul seluruhnya di bahu. Tetapi tidak. Ale bahkan tidak bercerita. Dia hanya menggerutu, marah, berdecak frustasi, dan terus-terusan menyalahkan separuh takdir yang sudah ia tulis sendiri.

Harusnya dulu aku ga masuk Sosiologi.

Kalimat itu terus diulangnya entah sampai berapa kali.

Langit sore di atas balkon apartemen pun mengambil alih posisi saya sebagai pendengar, sebab telinga saya terlanjur dibuat penat dan saya malah berakhir membalasnya dengan nada ikut meninggi, teringat betapa banyaknya pernyataan yang dilemparkan begitu saja ke wajah saya kalau mahasiswa seni rupa hanya akan jadi pelukis jalanan di Braga. Kosong. Tidak punya masa depan. Jauh di dalam lubuk hati saya memang ada ketakutan yang menganga lebar-lebar soal hal tersebut, namun masa depan mana yang sebenarnya sedang kami perdebatkan? Yang, kala itu, dengan piawainya menjatuhkan kami ke dalam pertengkaran hebat?

"Kamu udah sejauh ini, Ale. Mau mundur? Terus empat tahun kamu itu buat apa? Dibuang gitu aja? Ini tuh bukan tentang kamu doang, tapi keluarga kamu."

"Emang kalo udah lulus aku harus apa? Bikin lagu lagi? Ngeband terus sampe mati? Sampe semua orang muak sama Enamhari? Sampe kamu nyadar, kalo musik ngga akan bisa ngasih kamu makan?"

Saya tercekat bukan main. Ruang terbuka yang sebegitu lapang di sekitar mendadak kehilangan asupan oksigen dan demikian pula paru-paru saya kehilangan kemampuannya untuk menerima udara, sementara tajam tatapan Ale masihlah dipenuhi bara api yang menyala-nyala. Di baliknya tersembunyi kesangsian dia sendiri akan masa yang akan datang. Tetapi detik itu mata saya terlalu dibutakan oleh emosi untuk menyadarinya.

"Ini nggak kayak kamu, tau nggak." Ucap saya dingin, sebelum saya mengambil sebuah keputusan terburuk: pergi meninggalkan Ale di apartemennya seorang diri.

Pernahkah kalian berpikir betapa otak manusia teramat keji terhadap organ-organ yang bekerja sama dengannya? Terhadap hati yang paling aktif menyulut kontra, terutama? Karena itulah yang saya pertanyakan, ketika sekian banyak hal-hal di dalam otak kami malah membuat kami sedemikian mati rasa. Ale dengan tugas akhirnya, dengan sidangnya, dengan harapan untuk menyandang gelar sarjananya, juga saya dengan keegoisan saya untuk menyibukkan diri sejauh-jauhnya.

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang