Ketika Ale Khawatir

12.6K 1.5K 320
                                    

Rasanya sudah kelewat sering saya--atau mungkin kalian juga--menemui pembukaan sebuah novel fiksi berupa paragraf klise yang menggambarkan bagaimana si tokoh utama membuka mata di dalam ruangan serba putih berbau obat-obatan khas rumah sakit, disertai sisa-sisa lengar di kepala yang gagal mengingat peristiwa terakhir sebelum ia tahu-tahu menemukan dirinya terbaring di atas ranjang yang asing. Bukan maksud saya mengawali cerita ini dengan sedemikian melodramatis, tapi percayalah, saya sendiri juga baru menyadari kalau hal seperti itu memang bisa terjadi. Pada saya, misalnya.

Saya tidak pernah sakit parah. Kali terakhir saya harus dirawat adalah ketika saya tertabrak mobil dan harus menjalani operasi di tulang kaki hingga ujian nasional saya tertunda satu minggu lebih lama. Sisanya hanya batuk, pilek, demam yang bisa reda hanya dengan menenggak air banyak-banyak, lalu batuk lagi, pilek lagi, dan penyakit-penyakit bertajuk kurang fit lainnya. Hanya saja saya tidak pernah mengira bahwa ketika semua sakit itu melebur jadi satu, tubuh saya rupanya menyerah untuk menampung.

Waktu itu sekitar pukul sembilan tiga puluh malam. Saya baru saja hendak menaiki tangga di samping sebuah instalasi setinggi tiga koma lima meter sambil menenteng sekaleng cat tembok di tangan kanan ketika untuk pertama kalinya, dunia di mata saya mendadak jadi saluran televisi di luar jangkauan---buram, mengeluarkan bunyi berdenging yang mengganggu, dan menghalangi pandangan saya dari apapun yang semula bisa saya lihat jelas. Saya tidak ingat bagaimana kelanjutannya selain samar-samar saya dengar suara Tasya bertanya, "Ada apa Van?"

Setelah itu entahlah. Seolah filmstrip dalam ingatan saya digunting, tiba-tiba saya sudah terbangun di sini dengan semua rasa tidak nyaman menggerogoti tubuh saya.

Saya tidak tahu prosedur jelasnya, yang pasti segera setelah membuka mata, Dokter langsung menanyai saya dengan hati-hati, seolah berharap pingsannya saya tidak membuat saya lupa cara berbahasa. Saya bisa lihat kehadiran Tasya yang memperhatikan dari sudut bilik, berdiri berdampingan dengan Bima. Keduanya adalah teman-teman kampus terdekat saya. Bima lalu beranjak keluar menyibak tirai, baru kembali ketika dokter dan suster yang menangani saya sudah pergi dengan Bene mengekorinya. Belakangan saya baru tahu kalau ternyata ada tiga kolega lain yang juga sedang menunggu di luar IGD.

"Gila lo Van." adalah hal pertama yang saya dengar dari mulut mereka. Saya cuma bisa tertawa pelan dengan sisa tenaga yang ada.

"Gue lagi bertugas nyari halogen langsung cabut ke sini demi lu." kata Bene si gembul, yang perutnya langsung dipukul gemas oleh Tasya.

"Untung tadi ada Kak Idris sama Bima. Kalo ngga ada gue pasti bingung Pan gotong lo ke rumah sakit gimana caranya." kata Tasya sambil menarik kursi di samping ranjang untuk dia duduki. "Bisa-bisa gue geret kali."

Saya tersenyum, berharap tidak samar. "Kak Idris-nya ke mana, Sya?"

"Udah balik duluan, ngelanjutin gawean lu."

"Oh..."

"Aduh gila, panik banget gue tadi cuy, sumpah!" imbuhnya berapi-api. Bima langsung menepuk pundaknya, menempelkan telunjuk di bibir untuk mengingatkan Tasya kalau ini bukan tempat untuk berteriak-teriak seperti kebiasaan dia sehari-hari.

"Abis Ivana tuh ga pernah sakit woi? Sekalinya sakit kayak begini gimana gue ga panik?"

"Tapi asli Van, tadi beneran se-chaos itu," timpal Bima. "Pada mau manggil ambulans tapi tanggung bener rumah sakitnya di seberang."

"Jadinya gue dibawa pake apa?"

"Pake rengan bambu." Bene menyahut lagi, yang menyebabkan perutnya dipukul lagi.

"Ya itu tadi gue sama Kak Idris akhirnya bawa lo ke mobil."

"Yah sorry ya Bim. Jadi ngerepotin lo."

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang