Ketika Ale Datang Kembali

14K 1.4K 182
                                    

Mei 2018, 3.30 sore.

Cerita dimulai dengan empat mahasiswa yang tengah meratapi masa-masa terbukanya gerbang tingkat akhir di salah satu sudut balkon McDonald's Simpang Dago. Bukan dengan tersedu-sedu, saling memeluk atau menawarkan bahu, melainkan dengan memesan empat porsi besar french fries untuk menumpahkannya serta merta ke atas satu food tray sembari berkelakar kencang-kencang.

Mungkin saja itu cara terbaik berduka.

Itu cara kami mengingat bahwa masa kami menyusun momen di tenggara kampus terbaik bangsa tinggal satu tahun lagi. Semoga, salah satu dari kami mengamini.

"Anying gua kalo sampe lulus kaga bareng ama lu pada gua ke NASA aja dah jadi astronot."

Bima tersenyum miring, gerak-gerik siap melontarkan ledekan selanjutnya buat Bene, "Eh lu masuk FSRD aja empot-empotan Ben, lo ke NASA mau modal apaan? Patung? Patung Soemarja noh lo bawa ke bulan biar masuk koran."

"Nah bisa tuh Ben jadi TA lo! Sambil bawa patung Soemarja ke bulan, bikin karya sana lo di luar angkasa."

"Edan, jadi headline sepuluh tahun ntar lo Ben! Gue jadi lo bodoamat kaga lulus juga, yang penting muka gue dibikinin instalasi di pasar seni."

Gelak tawa kami tak bosan-bosannya meledak, mungkin sampai orang-orang di meja sebelah mempertanyakan apa yang membuat kami sedemikian senang dan bahagia.

Aduh, saudara-saudara, sejatinya kami ini justru sedang sebaliknya.

Kami ini manusia-manusia dewasa yang kalut. Tidak punya uang tapi masih punya kesintingan untuk menghamburkannya di sebuah restoran cepat saji; sama-sama tidak ingin buru-buru ke kampung halaman demi menghindari pertanyaan retoris seputar keputusan-keputusan hidup kami; dan tengah memandang lurus-lurus masa depan yang juga masih kami pertanyakan.

Tetapi selagi kesempatan melupakan keraguan akan sisa kehidupan kampus kami masih ada, tentu harus kami manfaatkan sebelum kesemuanya dirampas habis oleh tugas akhir, betul? Saya, Bene, Bima, dan Tasya, dengan lantang akan menjawab: betuuuul!

"Van? Ale tuh." suara Tasya membuat pandangan saya jatuh ke arah ponsel yang menyala-nyala dan bergetar di atas meja. "Buat apa sih handphone lo dibikin geter kalo ujung-ujungnya gue juga yang jadi ringtone-nya." cibirnya setengah bercanda. Saya cuma nyengir sebelum mengangkat panggilan itu tanpa berpindah dari tempat duduk.

"Hei!"

"Hei! Udah deket nih."

Mendengar renyahnya suara Ale, entah bagaimana, senyum tersipu saya tahu-tahu mengembang dengan sendirinya, seakan-akan tubuh saya tidak pernah terbiasa dengan rasa suka yang menyala-nyala tiap saya akan menjumpainya.

Terhitung lewat satu bulan semenjak kami bersama lagi, dan ternyata keseluruhan diri saya masih betah memberi sambutan selamat datang kembali kepada sosok Aldebaran Abimanyu.

"Mmm, aku lagi di McD sama anak-anak sih Le, mau aku jemput atau...?"

"Ngga usah, deket. Nanti aku aja yang jalan kaki dari shuttle."

"Oke deh..."

"Kamu udah beres makannya?"

"Ngga makan aku mah. Gadoin kentang doang."

"Ih, makan lah."

"Iyaa, ntar aja sama kamu."

Bisa saya lihat Bima membentuk kata 'bucin' dengan mulutnya, diakhiri nasib buruk satu potong kentang yang melayang dari tangan saya tapi gagal mengenai dia. Bima kemudian tertawa, entah untuk kemampuan lempar-melempar saya yang payah, atau untuk muka saya yang mungkin saja memerah.

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang