Ketika Ale Ingkar Janji

14.1K 1.8K 199
                                    

Kalau kamu nanya ke saya, ya saya sih nggak akan kasih izin. Saya heran loh, kalian ini panitia cuma satu orang atau gimana?

Suara itu terus terputar berulang-ulang di kepala saya sejak saya meninggalkan kantor fakultas beberapa menit lalu. Bahkan aroma pengharum ruangan yang mencekik masih terngiang-ngiang, lengkap dengan sorot mata beberapa orang dewasa yang menghakimi setengah mati.

Saya juga tidak tahu bagaimana saya bisa berakhir di dalam ruangan itu seorang diri. Berdebar menggenggam gulungan proposal seperti orang tolol sementara ponsel di kantong saya bergetar di antara sindiran-sindiran yang saya terima di depan mata.

Mereka pasti baru mencari saya, pikir saya saat itu. Terlambat. Saya kalang kabut ke sana kemari selama satu jam lebih dan tim (yang seharusnya) seperjuangan itu baru mencari saya, ketika saya sudah diadili sedemikian rupa.

"Gimana, Van?"

Tanya salah satu dari empat orang yang sudah duduk mengelilingi meja bundar-tempat saya menyuruh mereka berkumpul dua jam yang lalu. Saya ingin mencerca keterlambatan mereka yang bikin saya berakhir seperti keledai tidak berotak di ruang rapat tadi, tapi saya urungkan karena tenaga saya terlanjur terkuras habis menahan rasa malu. Saya benci dengan perasaan itu. Perasaan bahwa saya masih terlalu bodoh untuk melakukan hal yang seharusnya bisa saya lakukan.

"Kita telat gerak."

Salah seorang yang lain bergerak maju sekian centi, "Telat gimana?"

"Lo pikir telat gimana?"

Dia bungkam. Mungkin terkejut karena tiba-tiba saya tatap sedemikian tajam.

"Kalian tuh tau gak sih kita mau ngapain?" Tangan saya melempar proposal ke atas meja. Tidak kasar. Tapi cukup untuk membuat sekian pasang mata di hadapan saya melebar. "Gue gak ngerti, asli. Dari awal gue udah tekenin, kita harus jalan bareng. Gak ada yang ketinggalan di belakang. Ini acara bukan pertama kalinya, udah tahun kelima. Kalo panitianya kayak gini, lo ngarep apa dari fakultas? Ngarep apa dari angkatan atas?"

"Maaf Van."

"Gue gak butuh maaf lo. Sekarang lo liat dulu ke diri lo sendiri, pantes gak lo minta maaf? Tadi tuh kesempatan jarang banget loh. Ga ada yang dateng. Malu-maluin banget, gila."

Keempat orang itu tidak lagi berkutik. Pandangan mereka menyebar berhamburan, tidak satupun bersedia untuk menemui mata saya yang berkilat.

"Lagian pada ke mana sih? Di kosan? Ngapain? Ngejar deadline? Emang lo pikir punya gue udah selesai?"

"Iya sorry sorry Van." Si laki-laki berambut sebahu mengibas tangannya. "Sekarang kita harus gimana deh biar lo gak marah-marah kayak gini?"

"Iya percuma juga lo marah-marah ga akan ngehasilin solusi."

"Dibicarain baik-baik aja dulu Van."

Mereka berujar berganti-gantian dan demi Tuhan saya merasa sedang dihakimi untuk kedua kalinya. Rahang saya yang semula mengeras perlahan mulai melunak kembali. Saya menyadari kalau berbagai macam amarah saya hanya akan terbuang sia-sia di sini.

"Gue gak tau. Kalian pikirin solusi. Gue capek. Gue butuh istirahat." Ucap saya masa bodoh sembari menyampirkan tas saya ke bahu dan bersiap pergi. "Sekarang ada yang tau Arkan ke mana?"

"Arkan ke Jakarta Van."

"Jakarta? Pulang maksud lo?"

Lawan bicara saya mengangguk pelan. Rasanya semua kekesalan saya memuncak di ubun-ubun, namun otak saya semacam tidak menyanggupi untuk menukas lagi. Saya cuma bisa mengembus napas putus asa keras-keras.

Ketika AleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang