Lost Memories

187 22 1
                                    

Bayangannya meraksasa kala berdiri di depan jendela, mengalihkan cahaya senja untuk masuk ke ruang kerja. Amira menepuk dahinya, ia melupakan sesuatu yang lumayan penting, langkahnya cepat menuju meja kerja, jemari lentiknya mencari-cariku.

Ketemu! Ia menyejajarkanku dengan pandangan matanya, lalu mencium sampul coklatku yang mulai kusam termakan usia. Aku telah menghabiskan banyak waktu dengan Amira, mungkin jalan tiga tahun. Semakin hari ia semakin ketergantungan padaku, padahal ia tidak candu seperti pengguna narkoba. Hanya saja hidupnya akan berantakan jika tanpa aku di dekatnya, mungkin menurutmu aku sangat sombong dan merasa begitu dibutuhkan, namun kenyataannya memang seperti itu, kau harus tahu bagaimana Amira tanpa aku.

Mengangkat jemuran, jemari lentik milik Amira menuntun bola matanya untuk membaca setiap kata dalam halamanku, lalu aku ia masukkan pada saku cardigan berwarna putih gading yang ia kenakan. Keluar dari rumah menuju halaman belakang, tubuhnya disapa angin sore. Matanya menengadah ke langit, menerka-nerka jika sebentar lagi akan turun hujan. Ia bergegas mengangkat pakaian yang telah kering, memasukkannya pada keranjang.

"Ibu, Ayah pulang." Lyanna berlari kecil dari dapur, pipinya berhiaskan cream coklat yang mulai mengering.

"Iya sayang, ibu segera ke sana," Amira melemparkan senyum pada malaikat kecilnya yang masih berdiri di ambang pintu dapur, pipinya membulat sempurna dengan ikatan rambut yang longgar dan tak lagi rapi.

*

Guntur pertama telah terdengar, pintu baru bergerak, Amira menyembul dari balik pintu dapur. Berjalan mendekati Romy yang bermain dengan Lyanna di dapur, beberapa alat makan mereka jadikan permainan. Lyanna tampak antusias mendengarkan cerita ayahnya, namun semua buyar kala sosok Amira datang, kini perhatian mereka teralihkan pada wanita yang amat sangat mereka berdua sayangi, dia tentu saja Amira.

"Hey, pekerjaan yang bagus," Romy bangkit dari duduknya, menghampiri Amira dan mendaratkan satu kecupan hangat di dahinya, ini semacam penghargaan untuk Amira yang telah disiplin menjaga rumah, termasuk mengangkat jemuran.

"Terima kasih, aku tak melupakan satu hal pun hari ini," Amira meraba saku cardigan untuk menandai halamanku dengan pulpen yang kini telah digenggam oleh tangan kanannya.Tugas hari ini selesai.

Setengah ruangan itu masih remang. Pandangan mereke bertemu, sesaat kemudian dipisahkan oleh kilat. Lyanna memeluk pinggul Amira, memejamkan kedua matanya sebab takut. Wanita yang kini telah menjadi seorang ibu itu berjongkok untuk menyamakan posisinya dengan Lyanna, mengusap rambut gadis kecil untuk menghilangkan rasa takutnya. Romy ikut berjongkok, memeluk punggung kecil Lyanna dari belakang, memastikan gadis kecilnya merasa aman.

"Ingin secangkir cokelat hangat?" tawar Amira pada Romy.

"Mungkin lain waktu." Ia menguap lebar, bagian bawah matanya tampak kehitaman, kakinya bergerak menuju kamar mandi.

Amira menggiring Lyanna menuju kamar, bermain sebentar sebelum menyambut mimpi malam. Keduanya duduk di atas ranjang, dengan kaki yang diluruskan ke depan, lantunan lagu keluar dari bibir Amira yang tipis, mengiringi tidur Lyanna malam ini. Ia berhenti bernyanyi, alis matanya bertautan dengan air muka yang bingung.

"Ibu lupa kelanjutan liriknya," Amira memutar bola matanya, Lyanna menyambung lagu yang sempat terhenti, kini mereka mulai bernyanyi lagi, bernyanyi berdua, agar ketika Amira lupa, ada Lyanna yang dapat mengingatkan kelanjutan liriknya.

*

Di sini Amira sekarang, di bawah langit menjelang pagi yang pekat. Romy telah pergi ke kantornya di pagi buta, seperti biasanya ia meninggalkan pesan di kulkas. Lyanna masih terlelap dalam mimpi indahnya. Amira membalik halaman demi halamanku, membaca ulang agenda-agenda yang telah selesai ia lakukan setiap harinya. Tidak terasa tiga tahun telah ia lewati, baginya tidak ada yang cukup sulit selama aku ada di sampingnya. Mata Amira berpindah arah, kini mengamati butir-butir air yang menggantung pada dedaunan. Angannya melayang jauh entah kemana.

Tangis Lyanna memecah angannya, ia bergerak cepat menuju kamar dengan sebelumnya memasukkanku ke saku bajunya. Menemukan gadis itu menangis di atas ranjang, adalah hal yang wajar jika seorang gadis kecil menangis kala terbangun dari tidurnya. Masih terlalu pagi, Lyanna dapat tidur sebentar lagi. Amira menjatuhkan tubuhnya pada ranjang yang empuk, berbaring di sebelah Lyanna.

"Tidak ada mimpi yang buruk, tidurlah kembali," Amira membelai lembut rambut malaikat kecilnya.

"Ibu ada di sini," bisiknya lembut pada telinga Lyanna, nafasnya yang hangat menenangkan Lyanna.

Malaikat kecilnya kini kembali terlelap, begitu pula dengan Amira. Keduanya mungkin sedang bermimpi indah, tubuh mereka saling berpelukan satu dengan yang lain, tidur yang begitu nyenyak,sangat nyenyak hingga tidak terbangun lagi, selamanya. Rumah terbakar, apinya juga membakar halaman-halamanku, sampul coklatku semakin usang, bukan hanya warnanya yang pudar, namun sebagian telah menghitam dibakar oleh api. Aku di sini, hanya bisa diam ketika api membakar tubuh Amira dan Lyanna. Aku tak bisa melakukan apapun, tidak untuk berjalan ke dapur dan mematikan kompor yang tadi Amira gunakan untuk memanaskan air.

Jangan pikir Amira gadis yang ceroboh karena melupakan banyak hal. Kau perlu tahu bahwa tiga tahun terakhir ini Amira divonis menderita Alzheimer, sebuah penyakit yang membuatnya lupa akan banyak hal. Ini lah alasan dari Amira yang tak bisa hidup tanpa aku di sampingnya. Amira telah berusaha keras tiga tahun ini, menjaga semuanya agar baik-baik saja, begitu disiplin menulis setiap agenda pada halamanku, mulai dari mengangkat jemuran, mencuci pakaian, menulis bumbu masakan, dan sebagainya. Mungkin ini adalah waktunya untukku tak lagi harus berada di sampingnya, ia telah berusaha keras untuk menjadi ibu pada umumnya, walau Romy tahu bahwa ia lebih dari itu.

Suara pemadam kebakaran memekikkan telinga para tetangga, aku yang tadinya merasa panas kini berubah menjadi basah terkena semburan air dari mobil pemadam kebakaran. Perlahan-lahan api mulai padam. Petugas menemukan Amira dan Lyanna dalam posisi berpelukan, tubuh mereka tak lagi sempurna, namun bingkai senyum itu masih terpatri di wajah. Keduanya tak terselamatkan, mereka di bawa keluar agar tak tertimpa puing-puing rumah. Ini mimpi yang panjang, tidurlah yang nyenyak, Amira pasti lelah berusaha mengingat, kini ia tak membutuhkanku lagi untuk mengingatkannya.

BendaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang