11.Resign

13.5K 47 0
                                    

Narine hanya mampu menatap pilu kamar yang sudah menjadi ruangan pribadinya beberapa waktu. Kamar yang sangat nyaman namun mendadak menjadi kamar yang ingin sekali ia hindari.
Ia melangkah mendekati meja kerja,duduk dan mengambil sehelai kertas. Menatap kosong kertas putih itu.
Sekali lagi ia mencoba memantapkan hatinya,ia menuliskan segala keinginannya untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya saat ini. Meskipun itu terasa berat, ia akan kehilangan pekerjaan yang menghasilkan uang cukup banyak untuk dirinya.
Saat ini yang terlintas hanyalah menjauh dari Fabian. Ia segera melipat surat pengunduran dirinya dan meletakannya tetap diatas meja.

Ia bangkit dari duduknya mendekati lemari dan menarik koper miliknya keluar. Diambil seluruh barang miliknya tanpa terkecuali. Ia terduduk lemas melihat photo dirinya bersama Fabian lalu membiarkan photo itu berada diantara barang lainnya. Ia siap untuk segera meninggalkan mansion mewah ini. Ia bangkit dan segera menarik kopernya keluar.

Narine mendengar bunyi klakson taxi sudah menunggunya didepan.
Ia terus berjalan tanpa menengok kebelakang, tiba-tiba John menghalanginya.

"Anda mau kemana nona Narine, kenapa membawa semua barang-barang anda? "Tanya John penasaran.

Narine mengikuti tatapan mata John yang mengarah ke kopernya. Dengan wajah sedih Narine menatap lembut pria tua itu yang sudah ia anggap seperti ayah nya.

"I'm sorry John, aku harus pergi dari sini. Aku tidak ingin bekerja disini lagi. "

"Apa kau mengundurkan diri? Bisakah kau beri tahu padaku apa ada masalah dengan tuan Fabian? "

"Um... suatu hari aku akan menceritakannya, aku harus pergi sekarang John. " Sambil melirik keluar memastikan taxi itu masih menunggunya.

"Baiklah, saya akan merindukan mu Narine. Jaga dirimu. "John memeluk Narine seolah enggan ditinggalkan.

"Ya John. Terima Kasih. Jaga dirimu. "

John membantu Narine mengangkat koper nya ke dalam bagasi taksi. Narine masuk kedalam taksi dan meninggalkan John dan mansion mewah nya.

"Anda turun dimana nona? "Tanya supir taksi membuyarkan lamunan Narine.

"Ah..ya pak ada apa? "

"Anda turun dimana? "
"Turunkan saya di hotel terdekat ya pak."

Terlihat dari kaca spion sang supir hanya mengangguk menurut. Narine kembali dalam lamunannya memperhatikan jalanan ,tak ada yang mampu menghiburnya saat ini.

Ponselnya berdering beberapa kali, tampak nama Fabian yang terlihat di layarnya.
Narine menarik layar nya ke tombol merah dan mengabaikan panggilan pria itu.

"Sudah sampai nona. " Ucap sang supir.

Narine menengok memperhatikan gedung yang ditujunya.
Terdapat ia sedang diturunkan di hotel wilayah Jakarta Selatan. Narine segera membayar argo dan keluar membawa kopernya.
Memasuki lobby hotel.

"Ada kamar kosong? Saya pesan 1 kamar. "

"Baik, sebentar kami cek terlebih dahulu.Untuk berapa malam?"

"Satu malam saja dulu nanti kalau ingin perpanjang akan saya hubungi. "

"Baik,boleh kartu identitas nya? "

Narine segera menyerahkan kartu identitasnya dan menunggu beberapa menit.
Ini adalah keputusan baik sebelum ia kembali ke rumah ibunya. Ia harus membenahi hati dan dirinya.
Ia harus berani menghadapi kehidupan didepannya yang tak akan pernah sama lagi.

Petugas hotel mengantarkan Narine kedalam kamar kosong yang dipesannya dan membantunya membawa beberapa koper lalu pergi meninggalkannya.

Narine meletakan tubuhnya yang terasa berat keatas ranjang dan membiarkan dirinya terlelap sejenak.
Tubuhnya yang ringan meliuk-liuk resah diatas ranjang. Usahanya untuk memejamkan mata tampak sia-sia. Kejadian buruk itu masih terus menghantuinya,Narine terbangun dan duduk dengan pandangan kosong diatas ranjang.

Ia tampak menderita dan tak seorangpun mampu memahaminya kecuali para wanita yang mengalami nasib yang sama sepertinya. Kehidupan tampak semakin berat untuk ia hadapi.

*****

"Kau dimana Ivona? Tolong angkat telpon dan beri tahu keberadaanmu saat ini!"

Narine melirik ponselnya yang berbunyi dan mengabaikan pesan masuk dari Fabian.

"Jangan buat saya frustrasi Ivona,kau membuatku khawatir tolong kembali dan maafkan tindakan bodohku. Aku mohon!!!"

Fabian menatap ponselnya dengan wajah frustrasi,ia meneguk kembali sebotol whiskey. Mengerang memanggil Ivona,lalu terkapar di lantai kamarnya. Wajah frustrasinya menatap lembar surat yang ia peroleh dari John. Surat pengunduran diri dari wanita yang baru saja ia sukai dan ia tengah menghancurkan kehidupan wanita itu.
Tak ada penyesalan lebih menyakitkan dari peristiwa ini bahkan ketika ia kehilangan keluarganya.

Ia meremas kertas itu lalu meraih botol wishkey disebelahnya dan melemparnya ke arah tembok.
Bunyi pecahan botol seketika mengejutkan John yang berada di kamar yang pernah ditempati Narine dan sedang merapikan kembali kamar itu.

John segera berlari dan mengintip dicelah pintu mengawasi Fabian dari luar.
Lelaki tua itu merasakan kepiluan atas kebahagiaan yang hilang di rumah milik tuannya.
Ia harus kehilangan Narine yang baru saja ia anggap seperti putrinya dan sekarang harus melihat tuannya menderita dan mabuk-mabukan.

"Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka?"Pertanyaan itu terus mengganggu pikiran lelaki tua itu.

John masih berdiri kaku dibalik pintu mengawasi tuannya,lalu perlahan ia memberanikan diri mendorong daun pintu dan berjalan perlahan menghampiri Fabian yang terkapar dilantai.

John berjongkok dan menyingkirkan semua botol minuman yang berserakan dilantai. Ia mengambil kertas yang digenggam Fabian dan membaca ulang isi surat tersebut.

"Nona Narine,apa sebenarnya yang terjadi dengan kalian?"Bisiknya dalam hati.

John memasukan kertas itu kedalam saku celananya dan berusaha memindahkan Fabian keatas ranjang.

"Ivona,ku mohon maafkan aku."Racau Fabian.

John memperhatikannya sekali lagi,tuannya Fabian kemudian membenamkan wajahnya keatas bantal dan terlelap dalam ketidaksadarannya. Fabian tampak rapuh,ia terlihat seperti anak ingusan berusia lima tahun yang baru saja kehilangan orang berharga dikehidupannya. Tampak jelas kesedihan itu sedang menyelimuti hatinya. John bisa merasakan betapa Fabian sedang mengalami penderitaan yang sama seperti Narine yang ia dapati saat ia berpamitan pergi.

Lelaki tua itu kemudian bangkit dan menyeret langkah kasar dari kamar tuannya. Rumah yang beberapa bulan terasa hangat kini kembali seperti kuburan seram yang sepi nan mencekam. Dingin tanpa kehangatan.
John kembali ke kamar Narine berharap mendapatkan jawaban dari peristiwa yang terlihat menegangkan. Sayang ia tak mendapatkan jawaban apapun,hanya kamar yang tak mampu bicara dan larut dalam hening.

Struggle In The Dark ( Novel Dewasa 21+ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang