RSUD Mardi Waluyo adalah rumah sakit warisan Belanda di Kota Blitar yang dibangun sebelum Indonesia merdeka (tahun 1942) di Jl. Dr. Soetomo.
Sejak 13 Agustus 2007, beberapa layanan dipindah ke gedung baru yang terletak di Jl. Kalimantan, Blitar dan pada 1 Juni 2010 RSUD Mardi Waluyo pun pindah total ke gedung baru tersebut.
----------
Kisah ini berawal dari seorang Ibu yang usia kandungannya sudah menginjak ke 9 bulan dan waktunya untuk melahirkan. Sepasang Suami Istri sebut saja namanya Denok dan Adi. Mereka bukan warga kota Blitar, mereka berdomisili di desa Ngeni dekat Pantai Jebring.
Sekitar jam tujuh malam, Adi mengajak sang istri, Denok, turun ke kota Blitar.
Niat hati ingin membeli baju-baju bayi di toko perlengkapan bayi. Adi mengantarkan istrinya dengan mengendarai motor bebek. Sehabis membeli pakaian bayi, mereka mampir ke warung nasi goreng di pinggiran jalan Mawar. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 10 malam.
Adi dan Denok bergegas hendak pulang, ketika diparkiran motor perut Denok menegang.
”Mas, mas rasane aku kok koyok arep nglaherne to, beh wetengku matu-matu wes san” (Mas, mas sepertinya kok aku akan melahirkan, duh perutku sudah menegang), kata Denok sembari mengaduh kesakitan sambil memegangi perut buncitnya.
"Beh piye buk, engko lek ngenteni sampek bidan Ani kesuwen buk.. Piye ki?", (Beh gimana bu, nanti kalo menunggu sampai ke rumah Bidan Ani terlalu lama bu, gimana ini?), ujar Adi tak tega melihat istrinya mengaduh-ngaduh.
Akhirnya Adi pun langsung menyalakan mesin motornya dan menyisiri jalan. Mereka mencari rumah sakit terdekat. Ketika melewati jalan depan gerbang masuk gedung tua RS. MARDI WALUYO, entah bagaimana dalam penglihatan Adi dan Denok, rumah sakit itu ramai sekali seperti dulu saat difungsikan.
Tanpa pikir panjang, Adi masuk gerbang gedung itu, memapah istrinya berjalan menuju suster jaga dan satpam.
Adi menyapa dan minta tolong suster penjaga “Selamat malam, suster tolong istri saya mau melahirkan.”
Tanpa bicara suster itu tersenyum dan menganggukan kepala. Denok kemudian dibwa ke ruang bersalin oleh 4 orang suster dan satu dokter yang menangani prosesi melahirkan.
Tak lama kemudian Adi mendengar tangisan bayi.
Adi sangat bahagia dan ia mengucap terimakasih pada suster itu. Istrinya pun dipindahkan di kamar inap pasca bersalin.
Dilihatnya, istrinya nampak lemas tak berdaya.
"Buk, aku tak muleh sek yo, tak ngabari wong omah karo tak cepak-cepak ubo rampene anak’e dewe, klambi sampean barang." (Bu, aku pulang dulu ke rumah ya, aku mau mengabari orang-orang di rumah serta mempersiapkan keperluan anak kita dan baju kamu juga), kata Adi.
Denok menganggukan kepala mengiyakan. Adi pamit pada istrinya dan mencium kening istri dan anaknya yang di bungkus kain jarik, sambil Denok belajar menyusui anaknya.
Adi bergegas pergi meninggalkan ruang bersalin. Ketika Adi melewati lorong-lorong dan melintasi kamar orang-orang sakit, banyak orang-orang yang sakit dirawat di sana. Semua orang itu memandang ke arah kaki Adi mengayunkan langkah yang menginjak tanah.
Adi mencoba bersikap ramah menyapa salah satu pasien tetapi tak ada jawaban, semua diam. Suster dan Dokter juga banyak yang lalu lalang tapi mereka diam semua.
Mulai ada kejanggalan yang dirasakan Adi, saat itu pun bulu kuduknya merinding.
Akan tetapi dia berusaha menepis rasa itu. Diapun sampai di parkiran dan menyalakan mesin motornya dan pulang menuju rumah.
Esok harinya menjelang subuh, Adi kembali ke rumah sakit untuk menjemput istrinya. Ketika sampai di depan gerbang masuk RS Mardi Waluyo, Adi mendapatkan keganjilan yang dirasakannya. Tak ada satpam, tak ada mobil ambulans, tak ada suster dan dokter yang lalu lalang.
Sepi seperti rumah sakit tak berpenghuni, tapi Adi tetap masuk menuju kamar inap di mana istrinya semalam berada. Sambil terus bergegas dia menoleh ke kanan dan ke kiri, semua kamar inap yang semalam penuh tak ada pasien sama sekali. Tak ada satu pasien yang terbaring.
Hati adi merasa merinding dan cemas, jantungnya berdegub kencang dan bulu kuduknya merinding.
Sesampainya di kamar inap pasca melahirkan, ia tercengang kaget. Denok Istrinya tidak ada di tempat, ia semkin cemas dan takut, tetapi dia tetap memberanikan diri. Sambil menangis dia memangil-manggil nama istrinya. Dia mencari ke setiap lorong kamar, tetapi tak ada sahutan. Dia berlari dan terus memanggil istrinya.
Tiba-tiba langkahnyapun terhenti, ada satu lorong yang belum dilewati. Itu adalah lorong kamar mayat. Diapun berlari menuju ke arah kamar mayat.
Adi terhenti langkahnya, dia mendengar isak tangis dari kamar mayat seperti suara isak tangis istrinya. Tanpa pikir panjang Adi membuka pintu kamar mayat. Ia mendapati istrinya menangis duduk sambil memeluk erat anaknya dengan wajah yang pucat pasi dan ketakutan yang luar biasa. Dia tak bisa bicara, hanya menangis lega karna Adi datang menjemputnya.
Adi langsung mengajak anak-istrinya keluar dari gedung itu. Dia memacu motornya dengan diliputi rasa takut dan aneh. Sampai di rumah diadakan selamatan besar untuk anak laki-laki mereka.
Tidak bisa dibayangkan dengan nalar, kalau yang membantu Denok melahirkan bukanlah suster dan dokter manusia, melainkan hantu.
Ari-ari atau batur bayi anak Denok tidak ada. Kata Denok diambil oleh suster-suster yang menolongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta Indonesia
HorrorIf you can't wake up from nightmare, maybe you're not sleep.