Part 5

23 1 0
                                    

Rahman Apriliam

Pagi ini sebenernya jadwal ngampus, tapi gue malah bolos. Hari ini Nisa dibolehin pulang sama dokter. Gue nemenin Nisa di hari terakhirnya di RS. Gue liat tangan Nisa yang perlahan dilepaskan dari selang infus, ekspresi wajahnya biasa aja. Setelah itu, Nisa minta tolong sama gue buat dianterin ke makamnya Reza. Ya, terpaksa gue turuti kemauan dia.

Sesampainya di tempat peristirahatan terakhirnya Reza, gue lihat mata Nisa yang sangat lelah untuk menangis. Wajahnya sangat tegar, tapi gue yakin hatinya sangat sedih. Gue mulai menjauh dari makam Reza dan mulai pergi ke makamnya Fia. Ya, kebetulan mereka satu tempat pemakaman umum yang sama.

Gue lihat batu nisannya Fia yang mulai kotor, bunga yang gue beri beberapa hari yang lalu pun masih ada dan sudah layu. Gue terus tatapi batu nisannya.

"Fi, aku kayaknya sayang lagi sama Nisa. Tapi, ga mengurangi rasa cinta aku ke kamu kok. Apa kamu rela cinta aku terbagi dua?" Ucap gue sambil mengelus-elus batu nisannya.

"Andai Fia tau, aku masih sayang Fia. Tapi aku juga harus moveon dari Fia. Fia bukan jodoh aku" lanjut gue.

Tiba-tiba, Nisa berada disebelah gue dan mengelus pundak gue.

"Kita berdua lagi ada di posisi yang sama, kok" ujar Nisa

"Iya, Sa"

"Lo sedih gak sih Fia gaada?"

"Banget lah. Tapi Fia bukan jodoh gue, mau gimana lagi?"

"Reza ju..." belum selesai Nisa melanjutkan kata-katanya, gue langsung menutup mulutnya dengan tangan kanan gue.

"Reza juga bukan jodoh lu. Kalau malah kita yang jodoh gimana?" Tanya gue

"Lu suka bercanda sih, kemarin kemana aja pas gue sayang sama lu? Sekarang lu nyesel?"

"Gue bukannya nyesel, cuma baru bangun dari tidur nyenyak gue aja. Gue udah terlalu jauh terbawa mimpi bersama cintanya dia. Padahal, gue udah melukai hati lu. Padahal, lu masih aja tulus sayang gue. Tapi gue terus aja mimpi indah bersama dia, tanpa mikirin perasaan lu. Gue sadar, gue terbangun, setelah mengetahui kalau itu cuma mimpi, kalau sebenernya di dunia nyata gue punya bidadari lebih indah dari dunia mimpi. Ada bidadari yang tegar gue sakitin terus, dia masih tetap ada buat gue. Tapi sayang, karna gue terlalu larut dalam mimpi gue, gue kehilangan bidadari nyata itu"

Nisa hanya terdiam

"Maaf, gue butuh waktu buat bisa beradaptasi lagi. Berdoa aja, seperti gue yang selalu bersujud sampai kening gue lecet. Yang selalu berdoa sampai telapak tangan gue pegel. Yang terus menangis sampai air mata gue habis. Percayalah, rencana Tuhan lebih indah."

"Iya, Sa"

Gue hanya tersenyum mendengar ucapannya walaupun sebenarnya hati gue sakit seperti teriris, bahkan lebih sakit dibandingkan teriris oleh pisau.

"Ayo Sa kita pulang" ajak gue

"Iya, Man"

Gue dan Nisa pulang menggunakan mobil pribadi gue. Sepanjang perjalanan, gue liat Nisa yang selalu memegang kepalanya. Gue yakin, mungkin itu efek dari kecelakaan yang dialami olehnya beberapa hari yang lalu.

Sempat kritis dan di diagnosa gegar otak, membuat gue merasa ingin memeluknya. Tapi, semuanya sudah terkabul setelah kemarin gue sudah memeluknya ketika ia menangisi Almarhum Reza. Gue terus

Setelah mengantarkan Nisa pulang kerumahnya, gue berpamitan pulang dan pergi ke sebuah cafe yang gak jauh dari rumah Nisa.

Sesampainya disana, gak sengaja gue ketemu Indri. Gue pun menghampiri Indri yang sedang duduk sendiri.

"Sama siapa, Dri?" Tanya gue memulai percakapan

"Ngga nungguin siapa-siapa. Lo sendiri?"

"Gue sengaja kesini, mau refreshing otak dari masalah cinta"

"Maksud lo? Masalah Fia ya? Atau Nisa?"

"Entahlah, Ndri. Gue mau lupain Fia"

"Ya, itu bagus. Walaupun gue sahabatnya Fia, tapi pasti dia bahagia kalau lu bahagia"

"Iya, Ndri. Dan gatau kenapa hati gue ngerasa mulai jatuh cinta lagi sama Nisa"

Tiba-tiba, raut wajah Indri berubah, seperti orang yang sedang sedih.

"Kenapa?" Tanya gue

"Hm, gapapa sih"

"Masalah pacar?"

"Masalah doi, Man. Gue iri sama dia. Dia bisa banget mencintai perempuan lain. Sedangkan gue? Gue cuma pengagum rahasianya. Gue sedih aja, pengen banget ngerasain cintanya dia"

"Emangnya dianya siapa?"

"Ada sih, rahasia, Man"

"Oke gitu, main rahasia-rahasiaan"

"Nggak gitu, nanti aja deh waktu bakal jawab semuanya"

"Oke deh. Lu mau pesen apa? Nanti gue yang bayarin?"

"Gausah, Man. Gue mau langsung balik aja. Lagian tadi udah pesen ice cream, kok"

"Beneran, nih?"

"Iya. Yaudah, gue cabut duluan, ya"

"Hati-hati, Ndri"

Dan Indri pergi meninggalkan gue sambil melambaikan tangannya.

Sebenernya gue peka siapa cowok yang dia maksud. Cowok itu adalah gue. Beberapa tahun yang lalu sebelum gue jadian sama Fia...

"Man, gue sayang banget sama lo. Lo bikin gue nyaman banget" ujar Indri

"Gue juga suka sama lu"

"Suka?"

"Iya"

"Nggak sayang?"

"Maaf ya, gue cuma anggep lu sebagai sahabat gue yang terbaik. Tapi, kalau boleh jujur, gue sayangnya sama sahabat lu, Fia"

"Karna Fia cantik?"

"Bukan. Lu juga cantik, koo"

Setelah itu, Indri meninggalkan gue gitu aja. Gue coba kejar dia, tapi dia berlari dengan cepat.

Dan setelah gue jadian sama Fia, Indri gapernah anggap gue sahabat dia. Indri lebih anggap gue sebagai teman.

Gue jadi kefikiran Nisa. Mungkin itu juga yang dirasain sama dia ketika gue jauhin dia, padahal kita udah janji buat jadi sahabatan.

Cinta Diujung HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang