"Bu-bukankah kau ada tugas negara?" kataku terbata sembari mengacungkan ponsel.
Itu yang diberitakan olehmu. Bukankah kau sedang mengurusi negaramu?
Kau terkekeh kecil sambil mengacak lembut rambutku. Pipiku memanas tapi ada perasaan aneh yang datang dari sisi logikaku. Aku ... entahlah. Ada yang menuntunku untuk bertindak nekat.
Kutatap layar ponsel. "Zaka," panggilku tanpa melihatnya.
"Ya, Pokke?"
"Panggil namaku saja," pintaku sambil terus menatap ponsel. Tanganku bergerak-gerak pada menu yang tertera dan menuju aplikasi internet.
Aku harus melakukan sesuatu untuk mematikan rasa skeptisku ini. Rasa juga kata favoritku ini membunuh.
"Ada apa, Aria?" Suaramu lembut dan dalam. Penuh perhatian dan juga tersimpan sejuta rayuan. Persis seperti tingkahmu dalam jejaring sosial yang kita ikuti.
"Mengapa kau selalu melihat ke bahumu saat menjawab pertanyaanku tadi?"
Sekian detik aku melihat pupilmu melebar, cuping hidungmu mengembang sedikit.
Aku pengamat yang baik. Aku tahu saat seseorang sedang menyembunyikan kebenaran dan aku menemukannya dalam dirimu sekarang.
Kau melihatku cepat. "Kau tidak tahu aku."
"Kau benar," balasku sarkastik. "Aku sama sekali tidak mengetahuimu."
"Bu-bukan begitu maksudku," ucapanmu mulai terdengar gagap. Lagi-lagi kau melihat bahumu. "Aku suka menjadi misterius."
"Sekali lagi kau benar. Kau menyukai hal misterius hingga Fayina menyukaimu." Aku tersenyum pedih karena aku bernasib sama seperti Fayina. Aku menyukaimu. Hanya bedanya, kau tahu Fayina menyukaimu sedangkan kau mungkin tidak tahu jika aku menyukaimu.
"Fayina menyukai Zev," kilahmu. Kau berkali-kali mengatakan bahwa kau trauma menggoda perempuan tapi mengapa kau terus menggodaku di jejaring sosial sialan itu?
"Fayina menyukaimu kemudian kau menolaknya dan Fayina memilih Zev sebagai pelarian." Aku seharusnya mampu memancing emosimu tapi kau tetap saja terlihat biasa. Kau tegang tapi entah karena apa. Aku berspekulasi bahwa ada sesuatu yang kau sembunyikan terlepas dari sikap penuh misteriusmu dengan rahasia yang tidak aku pedulikan.
"Tepat," jawabmu mantap namun terlalu lama untuk merespon pernyataanku.
Layar ponselku mulai berkedip-kedip. Sebuah peta tercetak jelas dan di suatu sudut peta itu, nyala merah berkeli-kelip. Aku tersenyum senang dan merasa sangat puas.
"Ada yang lucu, Aria?"
"Tidak," jawabku singkat tanpa memandangmu.
"Kau baru saja memenangkan perlombaan? Senang sekali kau memandangi ponselmu."
"Aku ... hanya ...," aku mulai mencari akal untuk mengalihkan pembicaraan, "senang bertemu denganmu."
"Tentu. Tentu saja."
"Kau benar, Zaka. Veter luar biasa!" pujiku. Aku berdiri dan melangkah mendekatimu. Dan sesuatu melengkapi semua keanehan yang aku rasakan. Yah ... semua terbongkar. "Zaka ...."
"Ya?"
"Kau bisa menunjukkan dimana toilet?"
"Di sana!" Kau mengarahkan telunjukmu ke seberang jalan yang tidak jauh dari stasiun. Tatapanmu bingung namun aku harus segera pergi dan menuju ke suatu tempat. Tempat dimana sinar merah berkedip berkali-kali di ponselku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Veter and Pozhar
ФэнтезиTujuan adalah hal yang penting. Tapi jangan lupa untuk menikmati indahnya perjalanan. [Cerita ini terinspirasi dari film animasi kartun Avatar the legend of Aang dan Avatar the legend of Kora.]