Stopped!

35 5 0
                                    

Ponselku aktif. Tidak ada satu pun pesan di sana. Bahkan Zev (Zevilla Benitho) juga tidak muncul. Aku kesepian di sini. Aku tahu mereka memiliki kesibukan tapi tidakkah mereka memiliki waktu hanya untuk mengucapkan selamat malam? Aku mulai berkhayal pada imajinasi. Resiko menjalin hubungan lewat dunia yang tidak kelihatan adalah ini. Bahkan diacuhkan menjadi sesuatu yang biasa—seharusnya aku juga menanggapinya dengan biasa. Tapi aku malah mengikuti arus perasaan yang menyeret begitu kuat. Penyesalan selalu datang pada waktu yang tidak tepat. Selalu begitu. Aku menyesal ... jujur saja, aku menyesal mengenal Zaka dan Zev. Mengapa aku harus jatuh seperti ini? Memalukan saat Zaka bahkan tahu perasaanku tanpa perlu aku mengatakannya. Memalukan rasanya seorang wanita sepertiku harus menyukai orang yang tak kelihatan; tak dapat disentuh.

Kamar hotel yang kuhuni termasuk mewah. Tempat tidur berukuran besar dan bathup yang terbuat dari marmer. Air hangat mengalir dari keran. Membasahi sekujur tubuhku. Derasnya air yang mengalir turut serta membawa airmataku. Tangisan ini memalukan. Aku benci menjadi lemah apalagi karena lelaki. Baru kali ini aku mengalami hal yang bernama cinta dan aku harus gagal seperti ini. Mencintai orang yang salah atau aku yang terlalu bodoh membakar diriku sendiri dengan mengabaikan peringatan Zaka yang tersirat? Aku gagal menghalangi hatiku untuk berhenti mendekatinya. Berkali-kali aku diperingatkan oleh Zaka dengan isi pesannya yang bernada kasar—tanpa ampun—terhadapku seorang wanita. Dia tahu aku tidak suka direndahkan hanya karena aku wanita dan dia melakukannya dengan sangat baik. Dia memandangku kuat—tidak, sebenarnya dia memandangku orang yang sok kuat. Dia tahu hatiku mudah dihancurkan. Dia tahu bahwa aku rapuh. Hatiku mudah luluh karena rayuan dan mudah hancur karena cemburu dan makian kasar. Dia melakukannya. Aku tahu dia sengaja melakukan itu agar aku berhenti berharap padanya.

Andai aku bisa. Andai aku sanggup. Aku ingin seperti itu juga, Zaka. Seperti yang kau harapkan.

Kau tak pernah tahu bahwa aku berusaha keras untuk pergi bahkan tak ingin lagi kembali. Mengenalmu dan Zev adalah anugrah—di awal kita berteman. Tapi semakin hari, semua malah menjadi duri yang membuat luka. Belum lagi semakin lama kau tak lagi berperi. Begitu kasar dan tak peduli. Sama seperti hari ini.

Cukup lama waktu yang kuhabiskan untuk mandi. Berharap segala rasa sesak yang membebani hati ikut terbuang bersama busa sabun dan kotoran lelah seharian.

Ponselku masih senyap seolah tidak ada kehidupan. Miris sekali hidupku. Tidak sadarkah bahwa di sana juga ada pesan lainnya dari sang Veroyan—Irill; petinggi pemerintahan Pozhar. Oh, ayolah ... Zaka.

Masih saja berharap padanya? Berhenti Aria! Berhenti!

Ting.

Ponggi :

Apa kabar?

Kubuka pesan itu cepat dan di sana ada Ponggi.

                                                                                                Aku :

                                                                                                Baik :)

Ponggi :

Syukurlah.

                                                                                                Aku :

Aku harus tidur, Ponggi. Maaf. Aku sangat lelah hari ini.

Ponggi :

Itu salahmu! Waktumu habis untuk bersenang-senang tanpa sadar bahwa tubuhmu lelah. Dan di mana Pagogo? Dia seperti menghilang entah ke mana.

                                                                                                Aku :

                                                                                                Mungkin dia sibuk. Ponggi tidak ada pekerjaan?

Ponggi :

Tidak. Kalau kau ingin istirahat, segeralah. Jangan sampai sakit!

                                                                                                Aku :

                                                                                                Tentu. Selamat malam, Ponggi.

Kumatikan ponselku. Tidak ada gunanya. Aku akan kembali ke Pozhar besok pagi. Aku harus berhenti. Masih banyak urusan Pozhar yang belum kutangani dan tololnya, aku malah di sini. Meski Veter memesona dengan warna hijau—hutannya yang lebat—tapi hatiku sakit. Tak ada gunanya bertahan pada Zaka. Dan lebih baik kuakhiri saja apa yang sudah pernah kumulai. Rasa sakit yang menghujani dada ini akan berakhir jika aku tegas pada diriku sendiri. Mengakhiri apa yang kumulai adalah kemajuan.

Aku tahu kehilangan adalah hal yang juga sakit. Aku ingin berpikir rasional saja. Kehilangan Pagogo dan Ponggi memang menyakitkan. Dua orang yang berharga bagiku. Tapi ketika aku malah menjadi tidak fokus dan terus-terusan memikirkamu, ini menjadi tidak adil. Kau mungkin tidak memikirkanku, Zaka. Kamu mungkin memikirkan perempuan lain dan jelas, itu tidak adil untukku. Aku tidak ingin membuang waktuku. Hati ini harus mencintai yang lain. Mencintai orang yang juga mencintai hatiku. Sudah cukup rasa sakit ini. Kedatangan di Veter hanya akan menjadi klimaksku.

Tidak ada lagi Pagogo—dan aku akan merelakan Ponggi. Kita akan berjalan masing-masing pada dunia kita masing-masing. Langit-langit hotel ini menjadi saksi bulatku. Aku tidak ingin merasa sakit lagi. Cinta ini tidak akan berbalas—aku sangat tahu. Aku akan berhenti. Aku akan kembali ke Pozhar.

Terimakasih karena Zaka hanya muncul sesaat. Terimakasih karena hanya dengan sesaat itu setidaknya aku tidak terlalu terkesima. Terimakasih pada Tobias. Lelaki asing yang menyebalkan tapi darinya, aku merasa aman. Persetan jika dia disuruh olehmu.

Between Veter and PozharTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang