“Kau akan pergi? Hari ini? Sekarang?”
Aku mengangguk. Memandangnya dengan keteguhan hati. Semalaman aku berusaha meyakinkan diri bahwa aku akan baik-baik saja jika ada yang bertanya soal ini. Dari mulut siapa pun. Dan kali ini, pertanyaan itu keluar dari mulut Tobias.
“Tapi kau baru tiba semalam, Nona. Ah, maksudku Aria. Kau tidak merasa lelah?” tanyanya lagi; membantuku membawa ransel yang sebenarnya tidak berat tapi dia selalu memaksa.
Aku menggeleng; berusaha tetap bersemangat. Aku harus ceria. Inilah kebebasan.
“Kau belum bertemu Zaka dengan waktu normal. Kau sudah di sini!”
“Tidak masalah. Kemarin sudah cukup bagiku,” kataku pelan. “Ada taksi yang bisa membawaku ke stasiun. Kau tidak perlu mengantarku. Zaka tidak perlu tahu kalau kau tidak mengantarku. Percayalah. Aku akan baik-baik saja.”
“Bukan begitu. Ini tanggung jawab. Aku tidak ingin mengecewakan Zaka.”
Aku tahu percuma berdebat dengan lelaki bebal ini. Kemarin, dia nyaris membuatku mati dengan entah-kekuatan-apa. Aku menurutinya dengan naik motor ukuran raksasa itu lagi.
Sebelum naik, aku memegang tangannya. “Terimakasih sudah berbuat baik padaku.”
“Kau tidak apa-apa? Kepalamu tidak terbentur sesuatu kan pagi ini?” Tobias memandangku cemas.
Aku menggeleng. “Menurutmu seorang pemimpin harus realistis?”
“Itu pertanyaan atau pernyataan?”
“Keduanya.”
“Ya, aku setuju. Namun jangan pernah saat seorang pemimpin menjunjung tinggi rasional dan kenyataan lantas melupakan hati nurani,” jelasnya. “Pemimpin juga harus memiliki hati. Mencintai rakyatnya dan berkorban demi mereka.”
“Mengorbankan hati juga kalau perlu?”
“Tidak! Jangan sampai hati seorang pemimpin dikorbankan,” bantahnya. “Sebenarnya ada apa ini? Kau jadi sedikit lebih menakutkan dibanding kemarin. Sungguh! Senyummu kali ini seolah mengatakan ‘aku akan mati’ begitu.”
“Begitu?”
Tobias mengangguk. Mungkin aku akan ‘mati’ segera,” kataku lalu naik ke jok motor. “Ayo, kereta arah Pozhar akan segera tiba.”
“Kau tidak ingin bertemu Zaka lagi? Sungguh?”
Aku menggeleng. “Kemarin sudah cukup.”
Tobias sudah mulai mengangkat kakinya namun urung dilakukannya. Dia menatapku lagi. Mata hitamnya menatapku; seperti menusukkan sejumlah peniti kecil yang menyakitkan mata. “Kau akan datang lagi?”
Aku menunduk. Tidak segera meresponnya. Aku tidak ingin datang lagi. Veter menjadi tempat yang akan kuhindari selama mungkin. Juga Zaka.
“Aku tentu akan datang ke Veter lagi,” jawabku pelan. “Saat Raja Pozhar mengirimkanku kemari. Urusan militer tentu saja.”
“Untuk urusan negara? Bukan untuk mendatangi Zaka?” Tobias masih saja menanyaiku. Dia memang lelaki cerewet.
“Auramu hari ini seolah kau tidak ingin kemari lagi. Apa kau menyesal datang kemari?”
Aku menggeleng cepat. “Veter terlalu indah untuk disesali, Tobias!”
“Lalu mengapa kau seperti ini? Kau seperti melarikan diri. Hadapi Zaka dan bukan malah seperti ini?”
“Ini bu-bukan soal Zaka,” dustaku.
“Bohong!”
Aku menelan ludah yang terasa kelu. Aku bukan pengecut. Aku tidak melarikan diri. Aku tidak ingin menghadapi Zaka karena aku dan kau tak ada urusan. Aku hanya menyukaimu sepihak—itu cukup; menyakitkan.
“Kau belum mengungkapkan perasaanmu padanya,” Tobias berkata sambil memegang lenganku yang kubalas dengan tepisan.
“Ini tidak penting. Hatiku baik-baik saja. Dia akan membaik seiring dengan berjalannya waktu,” bantahku. “Lagipula, Zaka pernah bilang bahwa segala jenis penyakit ada obatnya. Aku percaya itu.”
“Dia benar,” kata Tobias menyetujui. “Dia bijaksana dalam menyikapi masalah bahkan soal hati,” ujarnya lagi.
Aku mendengus. Kuakui Zaka luar biasa. Entah apa isi otak dan benaknya sehingga mudah sekali mengeluarkan kata-kata bijak seperti itu.
“Baiklah kalau begitu. Semoga nasib mempertemukan kita lagi,” katanya dan motor melaju menuju stasiun.
Aku berharap tidak lagi bertemumu juga Tobias. Biarkan apa yang kudapat kali ini menjadi pelajaran untukku agar tidak sembarangan meletakkan hati. Zaka ... dia berhasil membuatku trauma pada rasa suka dan cinta. Entah kapan luka ini bisa sembuh. Zaka berengsek! Memakimu hingga membuat sekujur tubuhku panas—api bahkan memercik di napasku—tidak mampu mengusir rasa cinta ini.
“Aria ...,” panggil Tobias.
“Apa?” sahutku tidak bersahabat. Hawa panas api yang kumiliki memicu amarahku bahkan pada orang yang tidak bersalah. Kuubah nada suaraku sekali lagi. “Apa, Tobias?” Oke, sudah lebih baik.
“Kau sudah menggapai tujuanmu di sini, kan?” Tobias berujar yang malahan membuatku bingung. “Bertemu Zaka adalah tujuanmu datang ke Veter, dan kau sudah bertemu dengannya kemarin meski hanya sebentar.”
Aku mengangguk. Itu tujuanku—dan sudah terwujud. Apalagi yang kuharapkan? Bonus bahwa Zaka juga menyukaiku? Hidup ini bukan sebuah drama yang tertulis pada buku; selalu berakhir indah.
“Tapi sadarkah kau ...,” lanjut Tobias lagi, “bahwa kau lupa menikmati perjalananmu?”
“Maksudmu?”
“Pemandangan begitu indah, Aria. Kau mungkin tertarik pada salah satunya.” Tobias tak lagi berkata-kata sepanjang perjalanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Veter and Pozhar
FantasyTujuan adalah hal yang penting. Tapi jangan lupa untuk menikmati indahnya perjalanan. [Cerita ini terinspirasi dari film animasi kartun Avatar the legend of Aang dan Avatar the legend of Kora.]