Detik ini masih kurasakan aroma sitrus dari hoodie yang kaukenakan. Aku merasa bahwa ragamu masih berputar di sekitarku, tersenyum dengan ciri khas seperti seringai. Matamu yang menatap tajam namun ada kelembutan di balik iris hitam legam itu.
Sudah cukup lama kita saling berbincang dan hari ini adalah keberanian. Aku menemuimu dan apa yang menjadi keinginanku terkabul. Kau datang--sesuai dengan dugaanku--meski mulanya kau menipuku. Geli rasanya mengingat bagaimana kau mengelabuiku dengan mendatangkan lelaki asing untuk menemuiku. Dari situ aku sadar bahwa skeptis yang ada padaku perlu kupertahankan. Bahkan saat berhadapan muka denganmu.
Senja sudah menggelap. Veter begitu sepi. Tempat yang jauh dari hiruk pikuk padatnya kendaraan. Jujur saja, aku ingin mendiami wilayah ini. Aku menyukai sepi seperti Veter ini. Sepi berarti ketenangaan. Aku tidak heran jika kau sangat betah bahkan tidak berniat meninggalkan tempat ini. Aku pun tergoda.
"Nona," sebuah suara membuat tubuhku reflek berdiri dan memasang kuda-kuda, siap mengeluarkan elemen api dari telunjukku. Yang kutemukan nyatanya lelaki asing yang berpura-pura menjadi dirimu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku dingin namun tetap waspada.
Lelaki itu mengulum senyumnya. "Pa-- maksudku Zaka yang memintaku ke mari."
Kau mengkhawatirkanku?! Demi guntur!
Aku tetap tidak bergeming dari posisiku yang berdiri. "Kenapa tidak dia yang datang?" kujaga suaraku dalam keadaan normal seolah-olah tidak peduli meski kau mengirim lelaki asing ini kemari.
Lelaki itu mendesah seperti orang yang menahan rasa jengkel. "Apa kau pikun?!" Lelaki itu menatapku geram. "Bukankah dia sudah bilang padamu kalau dia sedang menangani urusan negara?"
Aku tidak lupa itu. Hanya saja, apa tugasnya? Oke, aku menjadi orang yang ingin tahu orang lain. Tapi aku tersiksa ketika kau yang bisa menemaniku malah pergi. Aku tidak bisa dengan mudah melenggang meninggalkan Pozhar dan bertemu dengan kawan. Pekerjaanku menuntut kehadiran dan disiplin tinggi! Tiba-tiba saja aku geram memikirkan kegilaan yang baru saja kulakukan. Datang ke Veter secara mendadak hanya demi orang aneh sepertimu.
"Aku ingat. Sangat ingat," kataku.
"Lalu kenapa kau masih bertanya, Nona Knight Pozhar?" ucapnya mengejek.
Aku sempat melihat ada percikan api muncul dari kedua tanganku yang menggenggam. Hidungku mengeluarkan asap tipis dan suhu tubuhku meningkat panas. Oh, enyahlah! Menjadi putri Pozhar tidak akan pernah melepaskanku dari jerat sifat mudah emosi dan sulit mengendalikan amarah saat terpancing. Beruntung, ibuku mendidikki dengan sabar. Tentu saja, ibu bukan berasal dari Pozhar. Wanita mana yang sabar jika dia keturunan asli warga Pozhar? Ibu berasal dari sini, Veter. Tak heran jika jiwaku, untuk pertama kali menginjak Veter, seperti menemukan kembali kenyamanan yang tak pernah kudapatkan.
"Siapa kau?!" aku tak ingin berdebat. "Apa maumu?!"
Lelaki itu berdiri dan memancing sisi awasku. Api berkobar muncul dari tanganku dalam posisi siap menyerang. "Tunggu!" lelaki itu memeringai sambil menggerakkan tangan. "Aku hanya berniat menemanimu ... itu pun ...," Aku sudah bersiap akan menyerangnya. Penipu! pikirku. "Itu pun atas suruhan Zaka," katanya.
"Aku tidak ma--"
"Kau akan tersesat, Nona." Lelaki itu masih terlihat berhati-hati. Tentu, dia harus berhati-hati padaku. "Veter terlalu luas dan terlalu asing bagimu."
Dia benar. Hanya ada hutan dan sedikit pemukiman saat kereta tadi melintasi sebagian Veter. Saat otakku masih bergelut dengan ajakan lelaki itu, tanganku sudah dicekal olehnya. "Otakmu terlalu lambat mencerna, Nona. Dan asal kautahu, aku sibuk!"
"Hei!" bentakku. "Kau jangan macam-macam, pria asing!"
Matanya mengarah padaku tajam. Poninya sedikit bergerak saat memaksaku berjalan. Jelas pria ini sangat tidak tahu tata krama! "Bisakah kita segera menemukan tempat untukmu beristirahat, Nona?" keluhnya. Dia mendesah berat. "Zaka berengsek!" gerutunya pelan.
"Apa kau bilang?!"
"Kubilang orang yang kausuka itu berengsek!" katanya enteng.
"Kau tidak bisa--"
Dia menyentakkan lagi tanganku. "Nona, aku lelah hari ini. Aku juga tidak menyangka Zaka menyuruhku berpura-pura pada seorang Knight Pozhar," katanya dengan napas terengah. Dia marah. "Aku berusaha baik padamu tapi kau ...."
Dia benar lagi. Aku begitu defensif dan cenderung ingin menyerang. Tapi aku juga tidak salah, 'kan? Waspada itu penting!
Aku menghentakkan tangannya yang meremas pergelangan tanganku seraya berkata, "Aku bisa jalan sendiri."
"Memang," balasnya datar. "Kau bukan bayi."
Sialan! Dia begitu berbeda di awal pertemuan saat dia berpura-pura menjadi kau. Dia terlihat manis dan lucu ... Tunggu! Pikiran bodoh apa ini? Dia itu kasar, Aria!
"Siapa kau?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Tidak penting." Dia kini berjalan dua kaki di depanku.
"Maka aku tidak akan mengikutimu," aku mencoba menggertak. "Dan Zaka ...."
Langkah pria itu berhenti dan berbalik memandangku dengan raut tersenyum mengejek. "Zaka akan marah padaku? Begitu pikirmu?" diiring tawa besar, dia melanjutkan, "dia tidak peduli padamu."
Ada rasa sakit yang bergejolak saat dua kata paling kubenci dan menyakitkan terucap. Tidak peduli! Lalu kenapa dia mengirimkan pria menyebalkan ini untuk memanduku?! Bukankah itu artinya peduli? Aku melihat lelaki itu--tubuhnya yang bidang dan tinggi, mungkin 185an serta rambutnya yang memanjang menutupi sebatas pangkal leher--sekali lagi. "Maka tinggalkan aku."
"Dan aku harus memaksamu kalau begitu," katanya. Kulihat dua tangannya melingkar di depan dadanya. Hanya dengan gerakan itu, aku menduga akan terjadi hal yang tidak baik.
Aku memajukan kaki kananku dengan posisi siap menyerang. Semburat api kecil sudah memercik dari ujung telunjuk dan jari tengah kananku yang teracung ke arah pria itu. Aku baru menyadari jika stasiun ini sudah sepi padahal belum lama senja berganti terang bulan.
Beberapa saat kemudian, aku merasakan angin yang semula sepoi-sepoi bergerak memutar dan semakin cepat. Aku sedikit menggigil saat angin yang tiba-tiba berubah itu menerpa tubuhku. Aku memejamkan mata sesaat dengan meningkatkan pendengaran jika aku diserang, lalu membuka kembali kelopak mataku dan asap kentara keluar dari lubang hidungku. Terasa hangat.
Ada keanehan berikutnya terjadi. Kurasakan angin yang menerpaku perlahan mengembun. Hoodieku mulai basah karena embun dingin itu dan aku harus mengeluarkan energi lagi untuk memunculkan hawa panas demi mengurangi rasa dingin yang kian menusuk. Sial! Tubuhku serasa lemas. Aku belum mengudap apapun setelah kepergianku dari Pozhar. Mengeluarkan energi tambahan sama saja membuatku akan mati karena kehabisan tenaga.
"Aku tahu kau lapar, Nona." Dia sama sekali tidak bergeming dan saat ini aku mulai berharap kau datang membawa setumpuk makanan dan membantuku melawan lelaki asing ini. "Dan itu berarti kekalahanmu di depan mata. Aku sudah bersikap baik. Aku tidak berniat apapun padamu. Hanya ingin melaksanakan apa yang diucapkan Zaka. Tapi kau terlalu keras kepala," katanya.
Saat ini, aku harus menurunkan egoku. Aku mengubah sikapku yag defensif lalu berjalan mendekati pria itu. "Maaf karena sudah bersikap kasar padamu. Hari ini melelahkan. Sama seperti kau yang juga terlihat lelah." Kuangkat tanganku hendak menjabat tangannya. Aku menyadari seharusnya aku bersikap baik meski dalam kondisi waspada. Aku seorang Knight, dan tugasku adalah menjadi pribadi yang rendah hati. "Namaku Aria Zehovic."
Mata lelaki itu tak pernah lepas menatapku. Masih ada keraguan di sana--mungkin saja bersiap jika aku mengeluarkan apiku. Kewaspadaan yang bagus.
Pelan, dia meraih tanganku dan menjabatnya. "Namaku Tobias Suksmalana." Pertama kali kulihat--meski hanya berlangsung beberapa saat--dia terenyum kecil. Ketegangan di antara kami sepertinya mereda. "Kau bisa memanggilku Tobias."
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Veter and Pozhar
FantasyTujuan adalah hal yang penting. Tapi jangan lupa untuk menikmati indahnya perjalanan. [Cerita ini terinspirasi dari film animasi kartun Avatar the legend of Aang dan Avatar the legend of Kora.]