It Burned!

45 4 2
                                    

Veter yang dingin. Ini masih pukul tujuh malam tetapi Veter bagai wilayah yang tidak memiliki penghuni. Begitu temaram nyaris gelap. Jalanan sepi dan hanya ada kendaraan yang lalu-lalang yang dapat dihitung dengan jari tangan. Tobias, lelaki yang awalnya kukira pria manis lalu menjadi menyebalkan saat entah bagaimana caranya mampu membuatku menggigil tadi, menemaniku mencari penginapan.

Apa yang bisa diharapkan di Veter? Hotel mewah bulan sempurna (istilah tingkatan kemewahan hotel) seperti yang dimiliki wilayah maju; Pozhar? Maka mungkin saja pepohonan di Veter akan segera menjadi langka. Aku benci menyadari tempat di mana aku tumbuh justru makin lama makin gersang. Iri rasanya melihat bagaimana Veter masih menjaga kelestarian hutan.

“Anda tidak apa-apa, Nona?” Tobias membuyarkan lamunanku. Kendaraan motor dengan roda tiga—satu roda depan dan dua roda belakang—membawa kami menembus dinginnya Veter yang menusuk tulang.

Aku tergagap. Karena dingin dan melamun. “Aku la-lapar.”

“Baiklah. Aku akan membawa Anda ke kedai makanan khas Veter. Semoga Anda menyukainya, Non—“

“Panggil saja aku Aria,” potongku cepat.

Tobias menoleh sekilas—sedikit senyum mengembang dari mulutnya di balik helm berkaca beningnya itu. “Oke, Aria!”

Agak aneh mendengar Tobias berbicara dengan logat yang terlalu sopan; geli saat suara itu masuk ke dalam gendang telinga. Bukankah dia itu pria dengan tingkat kegalakan dan kesadisan yang melebihi ambang batas terhadapa perempuan? Memori tadi sore kembali mengisi lamunan.

Sepuluh menit, kendaraan Tobias berbelok ke sebuah kedai sederhana. Hanya sebuah gerobak ukuran besar dan ada dua bangku kecil yang menghadap ke gerobak tadi. Semuanya itu ditutupi dengan terpal berwarna biru. Sumber cahaya hanya berasal dari dua teplok dengan api sedang menyala. Sempat ragu saat Tobias mempersilakanku untuk duduk di bangku. Di sana hanya ada dua orang yang sedang menikmati sesuatu.

Di atas gerobak dibuat seperti meja. Di sana ada beberapa jenis makanan yang terbungkus daun. Ada beberapa jajanan kecil dan empat tungku menyala dengan empat teko di atasnya. Aku yakin isi air dalam teko itu mampu melepuhkan kulit jika tersiram. Tapi di sisi lain, hawa dingin di Veter berkurang saat tubuhku berdekatan dengan tungku itu.

“Ini adalah tempat makan malam khas Veter,” terang Tobias yang langsung menyambar seperti gorengan hanya saja berbentuk bundar (nyaris sempurna) dan sedikit cembung di salah satu sisinya.

“Itu apa?” tanyaku penasaran melihat Tobias begitu menikmati makanan itu.

Dengan tergesa-gesa, Tobias melahap sisa potongan gorengan tadi lalu mengunyah cepat dan menelannya. “Makanan yang baru saja kuhabiskan?”

Aku mengangguk.

“Oh, tadi itu namanya pia-pia,” jawab Tobias sambil mengambil makanan itu lagi.

“Pia-pia?” ulangku mendengar namanya lucu. Seperti nama salah satu perwiraku di Pozhar.

“Yap! Ayo, cepat makan. Kau pasti lapar, kan?” Tobias mengambil makanan lain yang terbungkus daun. “Ini sangat enak! Percayalah!”

Dia tidak sedang ingin meracuniku, kan? Aku masih menyisakan sifat defensifku padanya. Bisa saja jika Zaka menyuruhnya untuk diam-diam membunuhku dengan apa pun; salah satunya mungkin saja makanan ini. Tapi itu bodoh! Kalau aku mati, Pozhar akan gempar mencariku.

“Ayo, ambillah. Tidak ada apa-apa di dalam sana. Aman!” Tobias kembali memperlihatkan senyumnya yang pelit. Bagiku, senyumnya terkesan aneh. Atau memang begitu caranya tersenyum. Terlalu ... menggantung.

Aku mengambil makanan itu dan membukanya perlahan. Besarnya hanya sekepalan tangan Tobias. Aku berharap akan menemukan nasi dan lauk yang cukup membuat liurku menetes. Namun kenyataannya, aku malah menemukan seonggok-entah-apa-itu. Bentuknya jeli. Kubawa telunjukku untuk menyentuhnya dan setelah itu kuusap. Terasa lengket di sana. Di sekitarnya ada sayuran hijau yang masih hangat dan ada plastik dengan cairan coklat di dalamnya. aku mengernyit—sedikit jijik.

Between Veter and PozharTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang