"Makasih, Pak" ucap Nabil, saat Pak Ucup membukakan pintu garasi untuknya. Begitu sudah masuk rumah, Nabil merenggangkan tangannya. Sekujur tubuhnya pegal. Seharusnya dia meminta Pak Joko, sopir keluarga yang mengantarnya hari ini. Dia lupa dengan meeting pukul enam sore ini, sehingga memilih membawa mobil sendiri pagi tadi.
Nabil melepas sepatu dan kaus kakinya, kemudian meletakkan benda itu di dekat pintu dapur. Ve akan mengomel kalau Nabil meletakkan sepatunya asal-asalan, tetapi dia tidak peduli. Yang ada di kepalanya sekarang hanyalah mandi air hangat, mencium Ve, dan tidur. Pemandangan yang menyambutnya begitu dia masuk kamar membuat Nabil seketika merasa bersalah.
Ve tidur dengan kepala di bagian kaki dan kakinya di atas bantal. Tangan kiri istrinya itu memegang sebuah pensil, sementara kepalanya menindih buku sketsa yang terbuka. Ve sudah berbohong dengan bilang akan langsung tidur selesai makan. Ve menunggu Nabil pulang. Untuk itulah dia memilih menonton TV sambil mengerjakan sketsa di buku.
Nabil mengambil pensil dari tangan Ve, dengan perlahan menarik buku sketsanya, kemudian meletakkan kedua benda itu di atas sofa. Ve mencoba membuka mata saat Nabil menggendongnya, namun karena terlalu mengantuk, dia hanya mengerjap sekali, sebelum kembali pulas.
Nabil membaringkan tubuh Ve dengan hati-hati. Ve langsung tidur menyamping dan memeluk guling begitu tubuhnya kembali berada di kasur. Nabil menarik selimut menutupi tubuh Ve, kemudian mematikan TV dan meredupkan lampu.
Nabil menyadari waktunya untuk Ve belakangan ini sangat terbatas. Mereka hanya sempat bertukar sapa di pagi hari dan mengobrol sebentar. Saat Nabil harus mengejar meeting pagi, sarapan pun dilakukannya sambil bersiap. Makan siang bersama juga nyaris mustahil.
Dulu, Ve rajin membawakan makan siang ke kantor Nabil. Sekarang, tidak pernah lagi. Keuangan mereka selama dua tahun terakhir ini memang meningkat, berkat jabatan Nabil dan keuntungan dari bisnis sepatu Ve. Tetapi, kualitas hubungan mereka seakan merosot.
***
Ve mematikan bunyi alarm dari jam weker digital yang berada di nakas, di samping sisi tempat tidurnya.
"A.." panggil Ve, menepuk pelan bahu Nabil. "Udah jam lima"
Nabil tidak bereaksi. Matanya masih tertutup. Ve bangkit duduk. Kali ini dia mengguncang bahu Nabil. "Nanti Aa telat"
Nabil bergumam tidak jelas, memutar tubuh memunggungi Ve dan melanjutkan tidurnya.
"A Nabil!" Panggil Ve lagi. Suaranya sedikit naik. Membangunkan Nabil di pagi hari selalu menjadi tantangan sulit. Ve tahu itu karena Nabil kelelahan. Akhirnya Nabil merenggangkan badan. Dia mengerjap beberapa saat, mencari sosok Ve. "Iya, Aa udah bangun" gumamnya, dengan suara mengantuk.
Ve menghela napas. Kalimat itu sudah sangat dihafalnya. Bukan berarti Nabil benar-benar sudah bangun. Itu hanya agar Ve berhenti membangunkannya sebentar hingga dia bisa tidur lagi. Ve memang memberi jeda untuk melihat apakah Nabil akan benar-benar bangun atau tidak. Seperti biasa, suaminya itu kembali pulas. Merasa tidak ada pilihan lain, Ve mengeluarkan senjata pamungkasnya. Dia mengulurkan tangan ke wajah Nabil dan memijit hidungnya hingga menutup. Nabil bangun dengan mata terbelalak dan napas tersendat.
Ve tersenyum puas, lalu menyingkirkan selimut dari Nabil.
"Aa benci kalau kamu ngelakuin itu" omel Nabil.
"Aku juga benci tiap kali harus berantem dulu buat bangunin Aa" balas Ve. "Mandi sana"
Nabil merenggangkan badannya sebelum bangkit duduk, sementara Ve bersiap tidur lagi dengan posisi membelakangi Nabil. Nabil menyingkirkan rambut Ve ke samping, lalu mengecup lehernya. "Pengin sarapan buatan kamu dong. Bosen sama masakannya Bibi"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Love
FanfictionKetika belum memiliki anak tidak menjadi masalah terbesar, rumah tangga Ve dan Nabil dihadapkan badai sebenarnya. Badai besar yang membuat keduanya memikirkan ulang makna dari pernikahan. Mengingatkan mereka pada janji suci yang terucap diawal.