4

2.2K 171 64
                                    

"Second honeymoon?" Melody, istri Lidyo menatap Ve dengan wajah semringah. "Biar ngerasain jadi pengantin baru lagi, ya?"

Ve tersenyum malu. "Iya, Kak. Kali aja bisa berhasil"

Melody menghentikan kegiatannya melipat kotak kertas untuk menaruh kue-kue basah, kemudian meremas pelan lengan Ve. "Sabar, ya, Ve. Kalau udah waktunya, pasti dikasih kok"

Ve menghela napas pelan, namun tidak berkata apa-apa. Dia sebenarnya tidak pernah suka mendapat simpati dari siapa pun mengenai kondisinya dan Nabil yang belum juga dikaruniai momongan. Tetapi, dia juga butuh doa dari semua orang yang mau mendoakan agar anak yang sangat diharapkannya segera hadir.

Siang ini, setelah mengecek butik sebentar, Ve main ke rumah Melody. Besok malam akan diadakan pengajian empat bulanan kehamilan Melody. Sementara kue-kue basah yang akan menjadi hidangan para tamu baru tiba besok, hari ini Ve membantu Melody melipat kotak-kotak kertasnya.

Saat kali pertama mendengar berita kalau Melody hamil, perasaan Ve campur aduk. Melody dan Lidyo baru menikah tahun kemarin, selisih hampir tiga tahun dengan pernikahannya dan Nabil. Ve senang akan mendapat keponakan, tetapi di sisi lain dia juga sedih. Dia yang menikah duluan, tetap saja Melody yang lebih dulu dikaruniai anak.

Pulang dari rumah Melody dan Lidyo, Ve memutuskan untuk mampir ke Cafetaria. Jeje berkata akan menyusulnya nanti.

Begitu sahabatnya itu datang, Ve menceritakan tentang rencana pengajian besok. "Lidyo gesit ya" puji Jeje. "Kirain dia tipe cowok yang suka main dulu sebelum bikin anak beneran"

"Udah ngerasa tua, paling" Ve berkata berusaha tak acuh. "Umur Kak Melody tahun ini udah 32. Wajar aja sih ngebut".

Jeje berdeham, seakan menyadari suasana hati Ve. "Jadi, lo sama Nabil mau honeymoon ke mana?" Dia memutuskan mengubah topik.

"Bali" Ve menjawab tanpa ragu. "Tempat liburan pertama gue sama dia"

"Semoga Nabil gak bikin kacau lagi, ya" harap Jeje, tulus.

Ve belum sempat menanggapi. Seorang laki-laki menghampiri meja mereka. Dia tidak mengenal lelaki itu. Tetapi, saat melihat raut wajah Jeje, dia merasa kalau Jeje mengenalnya.

"Hai, anak jalanan" sapa Jeje pada lelaki itu. Lelaki itu tertawa, memperlihatkan gingsul di sebelah kanan atas giginya. "Hai, gadis liar"

Ve menatap Jeje penuh tanya, sementara Jeje menertawakan panggilan yang dibuat lelaki itu untuknya. Saat menangkap tatapan Ve, Jeje teringat kalau kedua orang itu belum saling kenal.

"Ini Keenan, Ve. Pemilik kafe ini, sekaligus fotografer alam" Jeje berpaling pada Keenan. "Ini Veranda. Sahabat gue, desainer sepatu. Kalau lo jalan ke mall, terus lihat-lihat di outlet sepatu ada yang mereknya IVE'S, itu punya dia"

Keenan memfokuskan perhatian pada Ve. "Dhiko bener-bener a lucky bastard, ya" gumamnya. "Gimana bisa hidupnya selalu dikelilingi cewek cantik?"

"Karena lo terlalu sibuk pedekate sama cheetah" ledek Jeje.

Keenan meringis. Lalu, dia mengulurkan tangan pada Ve. "Keenan" ucapnya.

"Veranda" balas Ve.

Tepat saat itu, Keenan menangkap benda yang melingkar di jari manis kanan Ve. "Tolong bilang itu cuma cincin mainan, bukan cincin nikah" pintanya.

Jeje tertawa keras, sementara Ve mengernyit. "You're so unlucky, boy. Dia udah pakai label milik pribadi di jidat dan daerah lain di badannya. Untouchable"

"Sayang banget" keluh Keenan, seraya melepaskan tangannya. "Dia alasan gue mau nyapa elo" candanya.

Jeje menoyor kepala Keenan. Ve awalnya hanya mendengarkan kedua orang itu berbagi cerita. Keenan ternyata sering mengejar foto untuk mengisi majalah National Geographic Indonesia. Dia tergila-gila pada alam, khususnya alam liar, hewan-hewan eksotis, dan semacamnya.

Perfect LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang