Raisya Indriana Salsabila, begitulah nama lengkapnya, yng sering dipanggil 'Ica' oleh keluarganya. Wanita berumur 21 tahun itu kini sedang mengenyam pendidikan S- 1 di salah satu Universitas Jakarta. Mempunyai dua adik laki-laki yang umurnya tidak berbeda jauh darinya. Dengan adik pertama beda dua tahun, sedangkan dengan adik kedua beda empat tahun. Ayahnya adalah dosen agama di salah satu Universitas yang ada di Jakarta, sedangkan ibunya adalah seorang guru ngaji di TPA dekat rumah.
"Esok akan ada tamu istimewa bagi Ayah dan tentunya untuk Raisya. Apakah besok kamu ada waktu luang?" tanya Reyhan –ayah Raisya–
Raisya mengerutkan keningnya, 'tamu istimewa katanya?'
"In syaa Allah besok aku pulang jam 4 sore, Yah. Memangnya ada apa? Dan siapa tamu istimewa yang Ayah maksud?"
Reyhan tersenyum memandang Raisya. Tatapannya mendalam, yang kemudian berubah menjadi tatapan lirih disertai kilauan bening di bola matanya.
"Ayah, kenapa diam saja? Ada apa?"
"Usia kamu sudah berapa, Ca, sekarang?"
Raisya tampak bingung walau akhirnya menjawab juga, "21 tahun, Ayah."
Reyhan tersenyum kemudian mulai membelai halus kepala putrinya yang tertutup jilbab, "Besok akan ada pertemuan keluarga, in syaa Allah ada lelaki yang berniat meng-khitbah Ica. Sebenarnya lelaki itu sudah melamar Ica ke Ayah, tapi masih Ayah gantung karena Ayah ingin kamu juga tahu. Tapi menurut Ayah sih, kamu pasti terima, kok."
'Mengapa Ayah bisa seyakin itu?' Raisya bertanya dalam hati.
Reyhan menerima sinyal kebingungan yang terpampang jelas di wajah putrinya, "Yo gimana enggak, wong anaknya ini ganteng, shalih, mapan. Kalo Ayah sih yes, deh," ujar Reyhan sambil berkedip jahil.
Wajah Raisya memanas, bisa-bisanya ia tersipu karena ucapan ayahnya barusan. Bagaimana Reyhan bisa tahu isi hati Raisya, sih?
"Sudah, ya, Yah, Ica mau istirahat dulu nih ngantuk. Besok lagi, ya, Ayah."
Reyhan tertawa kecil, lucu rasanya melihat putri sulungnya malu-malu kucing. "Siap deh calon pengantin."
"Ayah, sebentar," cegah Raisya saat ayahnya ingin beranjak dari kursi ruang keluarga. "Apa Raisya mengenal lelaki itu?" lanjutnya.
"Kamu mengenalnya, sangat mengenalnya."
Di ruang keluarga itu tersisa Hummaira – ibunya Raisya –, dan kedua adik Raisya yang sejak tadi masih setia membungkam mulutnya.Tiba-tiba Hummaira membuka suara, "Kamu sudah besar ternyata, gak kerasa tiba-tiba sudah ada yang mengkhitbah, ya. Dulu kerjaannya masih minta diempok-empok, minta dibacain cerita Purbasari dan Purbararang. Ehh, bentar lagi kamu ninggalin rumah, ninggalin Ibu sama Ayah, ninggalin adik-adik kamu. Boleh gak kalau Ibu minta kamu tinggal di sini aja sama suami kamu nanti?"
Raisya tertegun mendengar ucapan Hummaira yang disertai isakan kecil. Raisya langsung memeluk Hummaira, berharap ketenangan akan segera tersalur ke dalam jiwa Hummaira yang semakin tenggelam dalam rasa sedih terbalut haru. Tapi entah bagaimana, bukannya Raisya memberi ketenangan kepada Hummaira, ia malah ikut menangis dan semakin erat memeluk Hummaira.
"Aku belum siap, Bu. Aku belum siap meninggalkan semuanya."
"Kak Ica, besok ada seorang lelaki baik yang ingin melamar Kakak. Lalu apalagi yang dikhawatirkan? Toh, walaupun nanti Kakak akan tinggal dengan suami, kalian berdua masih bisa ke sini. Kami pun bisa main ke rumah Kakak. Ibu harusnya senang, dong, akhirnya di keluarga ini ada yang pecah telur, he-he-he," ujar Kafka, adik pertama Raisya.
Raisya terdiam, sekejap ia mengingat lelaki yang selalu dikaguminya diam-diam. Lelaki yang ternyata adalah senior di kampusnya, lelaki yang mempunyai akhlak mulia sekaligus wajah yang rupawan. Bagaimana bisa Raisya menerima lamaran seseorang jika di dalam hatinya sudah ada lelaki lain yang mengisinya? Padahal selama ini Raisya selalu mengharapkan jika lelaki itu adalah imamnya kelak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cintaku Karena Allah ✔️
SpiritualCinta yang didasarkan karena Allah, pastinya akan terasa lebih indah. Apa kalian pernah merasakan jatuh cinta kepada seseorang Lillahi ta'ala? Kita ikhlas menerima apa adanya, tetap mencintainya walau tahu segala rupa kelemahan yang ada padanya, te...