Part 2

649 64 15
                                    


Langit menumpahkan pancuran air dari balik gumul-gumul awan kelabu, akibatnya jalanan Brooklyn terlihat lebih sepi dari biasanya. Bau aspal basah dan suhu dingin menjurus di mana-mana. Bersamaan dengan suara petir, Azrael melesat ke atmosfer bumi setelah dia mengembalikan roh seorang lelaki muda yang mengalami kecelakaan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Azrael kembali untuk melaksanaan target berikutnya, meski masih ada sisa waktu beberapa jam sebelum dia harus mengayunkan sabitnya lagi.

Langit siang hari itu tampak terlalu gelap, dengan bentangan mendung bagai isakan duka jiwa-jiwa yang tidak tenang. Ini mengingatkan Azrael tentang kesedihan manusia yang ditinggal mati, selalu ada hari-hari di mana dunia akhirnya menunjukkan tangis yang serupa. Tetapi Azrael tahu itu hanya metafora, jika langit itu adil, maka dia mestinya terus mengucurkan derai hujan sepanjang masa, karena bahkan untuk setiap milisekon, para malaikat maut tidak pernah lengah dari pekerjaannya. Azrael sebenarnya sangat menyukai hujan, meski ketika sosok malaikat itu menembus deru angin di ketinggian, tidak ada setetes rinai pun yang berhasil membasahi sayap gelapnya. Tetap saja, gelapnya langit kala itu mengingatkannya pada kematian itu sendiri.

Azrael menyusuri jalanan di depan sebuah sekolah asrama dengan gedung-gedung bertingkat. Para siswa sekolah menikmati waktu bebas mereka di kamar-kamar yang hangat. Jalan raya hanya melintaskan mobil-mobil taksi yang sesekali menurunkan penumpang berpayung hitam. Ada beberapa pengendara sepeda yang melesat tergesa di bawah kanopi toko di trotoar, menyesali ketidakmujuran mereka selagi tubuh mereka basah kuyup. Azrael merasa tidak pernah bosan menyaksikan tingkah laku manusia setiap harinya. Tetapi pekerjaannya menuntutnya untuk lebih berfokus pada hal-hal tertentu saja dari para manusia itu, khususnya tentang kematian mereka.

Azrael hendak memintas jalan di depan dua gedung yang menunjukkan gang sempit, dia hampir tidak menyadari bahwa celah itu ada sama sekali. Tetapi dia menghentikan lajunya dan terpaku menatap sesosok gadis remaja yang menyembul keluar tiba-tiba dari celah gelap itu. Kedua iris biru Azrael melebar seketika. Segenap kekuatannya seakan musnah saat tubuhnya mulai menggigil, padahal dia tidak pernah tidak tahan dengan dingin sebeku apapun.

Carolina.

Sudah tiga tahun semenjak Azrael mencabut nyawa mendiang ibu gadis manusia itu. Dibandingkan dengan terakhir kali dia melihatnya, Carolina tampak lebih tinggi, dengan bentuk wajah yang tirus dan fitur rambut cokelat gelap yang elegan. Ada sesuatu yang tidak berubah dari ekspresi wajahnya. Di bawah kedua netra cokelat lembut itu tergurat kerut-kerut kehitaman isyarat insomnia yang parah, matanya menonjol dan suram. Bibirnya yang dahulu masih diwarnai semu merah kini membiru dan tampak retak. Pandangannya hampa, tetes-tetes hujan meluncur dan membasahi seluruh tubuhnya, membuat seragam sweater dengan terusan rok itu memberatkan langkahnya.

Gadis itu masih berduka. Azrael mengetahuinya.

Kulitnya tampak sepucat awan yang diterpa guntur. Rambut cokelatnya lepek dan menjuntai kusut, memperlihatkan bentuk bulat tengkoraknya. Tremor sedikit mengguncang bahu gadis itu selagi tubuhnya berusaha tegar menapakkan langkah di samping trotoar. Ketika dia berjalan, Azrael terbang rendah dan memperhatikan perawakannya dari jarak dekat. Gadis itu terlihat seperti tulang-belulang berbalut kulit, luar biasa kurusnya. Dia menderita anorexia, Azrael cukup berpengalaman untuk mengetahui berbagai jenis penyakit yang ada. Dengan tubuhnya yang ringkih, dia terus berjalan sambil menggertakkan giginya. Kedua tangannya melingkari tubuh, tak memperbaik keadaannya.

Mestinya Azrael bertanya-tanya apa gerangan yang sedang gadis itu lakukan berjalan di bawah hujan dan membiarkan dirinya sendiri menahan cengkraman dingin yang meretas tubuh jangkungnya. Tetapi Azrael merasakan sesuatu lain yang membuat tenggorokannya tercekat. Dia adalah sang grim reaper, dan dia mampu memprediksi celaka mendatang dengan indra mautnya. Di balik semua kekhawatirannya terhadap Carolina, ada pengetahuan baru yang telah menendang-nendang hatinya saat itu. Dia tahu bahwa ...

A Cup of CocoaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang