Ketika Carolina duduk di bangku TK, dia pernah mendapat sebuah PR untuk menggambar sesuatu yang membuatnya bahagia. Saat teman-teman seumurannya menggambar benda-benda seperti sepeda dan boneka beruang, dia memiliki objek yang begitu berbeda. Carolina mencampuradukkan gradasi krayon di selembar kertas putih dengan tekun, alhasil mahakaryanya membuat banyak orang tersenyum untuk memberi apresiasi, termasuk para gurunya.
Gambar Carolina dan kedua orang tuanya telah lama terselip oleh magnet di dinding kulkasnya. Terpapar sinar mentari, tersiram tumpahan sirup, terlipat di bagian pinggirnya, tetapi Carolina tetap berhasil mempertahankan potret dambaannya itu selama beberapa tahun dengan berkali-kali mencoba memperbaikinya dengan selotip.
Carolina kecil merasa selalu bangga akan karya seninya itu, mengharap benda itu dapat menyokong pengabulan doanya tiap malam, bahwa saat itu hidupnya tak bisa lebih sempurna lagi bersama kedua orang tuanya.Namun, objek kebahagiaannya tidak ikut tersenyum untuknya.
Jika gambar itu hidup, kertas itu akan tersobek tepat di tengah-tengahnya, membuat Carolina tak lagi dapat menyatukan senyum dari kedua sudut bibirnya.
Beranikah ibu Carolina berkata bahwa ayahnya pergi demi wanita lain? Hatinya sendiri bahkan terlalu remuk untuk merasakannya. Yang Carolina tahu, dia tak lagi melihat sosok ayahnya semenjak usia sepuluh tahun, dan meskipun dia masih memiliki seorang ibu, Carolina merasa bahwa ibunya pun telah menghilang.
Nyonya Sullivan selalu pergi ke Tuhan-tahu-di-mana dan Tuhan-tahu-dia-melakukan-apa, Carolina pun tak memiliki pilihan untuk mengatur keperluannya sendiri sejak dini. Bahkan, kini pekerjaan ibunya beralih jadi miliknya. Sewaktu pagi dia akan berangkat sekolah dengan bekal sepotong roti kering untuk makan siang, di rumah dia harus membersihkan kekacauan yang dibuat Nyonya Sullivan tiap malam--mabuk-mabukan. Selain harus membereskan bau alkohol sampai dia harus membuang seluruh karpet yang ada di apartemennya, dia harus bersedia menjadi peredam amarah Sang Ibu yang terkadang melontarkan serangan verbal dan fisik padanya. Apa yang bisa diperbuat Carolina muda tidak banyak--hanya menangis di kamarnya yang sudah berbau ganja. Suatu hari dia pernah membuang seluruh simpanan narkoba itu, tetapi luka-luka memar pada tangan dan kakinya menjadi konsekuensi yang diterimanya.
Sesuatu membuat mama Carolina hancur. Sesuatu membuat Beliau yang selama ini merupakan figur wanita nomor satunya menjadi pengancam yang abusif. Carolina merindukan ibunya yang dulu, setidaknya ketika ibunya masih menganggap Carolina sebagai darah dagingnya. Akan tetapi, kini dengan membiarkan dirinya terekspos di depan mata mamanya saja akan membuat Carolina menjadi target kebencian tanpa ampun.
"Andai saja aku tak harus melahirkanmu. Aku benar-benar muak melihat wajahmu, aku tak ingin melihat refleksi pria brengsek itu tiap kali kau menatapku. Sungguh, aku membencimu Carolina."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Cup of Cocoa
Paranormal15+ [Novella] Warning: dark content. Azrael tahu bahwa Carolina pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Melihat Carolina berdiri di pucuk gedung yang tertinggi, Azrael menentang identitasnya sendiri sebagai sang penghulu kematian.