Chapter 19 - Memory

13.5K 668 5
                                    

Sean memasuki mobil menuju jalan pulang. Viola masih dirumah sakit bersama Thysa yang menjaganya setelah menangani asisten Verlin.

Didalam mobil Sean masih memikirkan pembicaraannya dengan Viola. Gadis kecil yang dikiranya bermata biru ternyata menggunakan lensa kontak.

Viola mengatakan bahwa mata aslinya berwarna cokelat, namun entah kenapa Sean terus memikirkan warna asli mata Viola. Sampai tanpa sadar dia tertidur di mobil, mungkin karena terlalu lelah dengan kejadian hari ini.

Saat tertidur Sean bermimpi kenangannya tiga belas tahun yang lalu.

Di mimpi itu Sean berjalan menggunakan perangkat suara sambil bersenandung mengikuti irama musik yang sedang didengarnya.

Saat itu Sean yang baru berumur empat belas tahun baru saja pulang sekolah. Seharusnya Sean sudah dijemput oleh supir pribadinya, namun karena supir pribadinya sedang sakit, Sean harus menunggu supir Ayahnya.

Karena bosan menunggu disekolah akhirnya Sean berjalan menuju kafe yang tidak jauh dari sekolah.

Saat itu Sean melewati jalan sempit antara dua bangunan yang sepi agar lebih cepat sampai.

Tiba-tiba dari belakang ada seseorang yang menarik lengan Sean secara paksa. Sean langsung berbalik untuk melihat siapa yang menariknya. Perangkat suara yang dipakainya sudah terlepas dari telinga.

"Siapa kamu?" Sean langsung menghempaskan tangan pria yang menariknya. Pria itu terlihat berumur tiga puluh lima tahun.

"Jadi ini Tuan Muda Kingston." Pria itu tertawa mengejek.

Sean mengerutkan alisnya. Lalu mengulangi pertanyaan yang sama. "Siapa kamu?"

"Apa gunanya aku memberitau anak kecil sepertimu." Pria itu menjawab dengan sarkas

Sean mengepalkan kedua tangannya. "Jika tidak ada urusan aku akan pergi."

Pria itu menghalangi jalan Sean. "Hei Nak, aku sudah dibayar untuk menghabisimu, mana mungkin aku membiarkanmu pergi."

"Siapa yang membayarmu?"

Pria itu menyeringai tipis. "Anak kecil tidak perlu tau."

Lalu pria itu mengeluarkan pisau lipat dari saku celananya. Sean yang masih berumur empat belas tahun sedikit gemetar melihat benda tajam.

"Berhenti. Aku akan membayarmu dua kali lipat."

Pria itu berdecak kesal. "Kamu anak kecil begitu sombong. Jika sudah dibayar aku akan setia melaksanakan tugasku."

Pria itu menahan kedua lengan Sean lalu menjatuhkannya. Badan pria itu jauh lebih besar dari badannya yang kecil. Tubuh anak empat belas tahun itu tak berdaya dibawah kurungan pria dewasa.

"Lepaskan aku! Ayahku tidak akan mengampunimu jika aku terluka."

"Benarkah?" Merasa tertantang, pria itu dengan berani menggoreskan pisau ke lengan kanan Sean.

"Argh!" Sean berteriak kencang merasakan sakit, bagaimanapun juga dia baru berumur empat belas tahun.

"Apakah mayat bisa berbicara?" Pria itu tertawa senang sambil menyayat lengan kiri Sean seperti mengajaknya bermain.

"Hentikan, sakit!" Semakin Sean kesakitan, semakin pria itu menyayat lebih dalam.

Pria itu tertawa senang menyakiti anak dibawah umur. Setelah puas bermain, target pria itu mulai menuju leher Sean.

Sebelum pisau sampai ke leher Sean, sebuah suara nyanyian anak-anak terdengar di jalan sempit yang hening.

Seketika tangan pria yang memegang pisau berhenti diudara. Suara nyanyian anak-anak itu terdengar tidak jauh dari belakang mereka.

Look For Black EyesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang