2

40 3 0
                                    



Mengikhlaskan adalah suatu hal yang mudah dilakukan jika yang diikhlaskan adalah sesuatu yang biasa. Namun, apakah mudah untuk mengikhlaskan perasaan yang telah lama di damba?.

-DFU-

Adisya Kayfara. Gadis berusia 16 tahun. Imut, cantik, lucu, dan menggemaskan. Tinggi yang hanya 158 cm membuatnya setara dengan gadis remaja yang berusia 13 sampai 15 tahun. Sering dianggap bocah. Belum pernah berpacaran dari lahir. Gapunya mantan. Sering ditanya "mantan ada berapa?" sama sepupu-nya. Bakal jadi orang pertama yang teriak kalo ngeliat tikus. Nemuin cinta pertama pas kelas 10.

--

Bandara Internasional Minangkabau, 20:34 WIB.

Seorang gadis tengah berdiri menunggu antrian padat pada saat ingin memberikan boarding pass kepada petugas agar bisa segera masuk ke pesawat. Ia seperti memikirkan suatu hal yang akan terjadi didaerah yang ia tuju, memang tidak jauh. Hanya saja ia masih belum bisa mengikhlaskan rasa itu. Rasa yang membuatnya berat meninggalkan kota ini padahal perasaan itu tidak dihargai oleh seseorang.

"selamat datang," sapa seorang pramugari cantik saat ia memasuki pesawat yang akan membawanya pindah ke Jakarta. Semua barang-barang yang besar dan berat telah di kirim lebih dahulu ke Jakarta. Jadi, ia sekarang hanya membawa beberapa barang-barang yang tersisa –yang belum dikirim ke Jakarta, rumah Oma-nya. Hanya berupa sebuah koper besar yang telah berada di bagasi pesawat dan sling bag yang memang sering ia pakai.

Gadis itu Adisya Kayfara. Ia telah duduk manis di bangku pesawat. Pesawat telah take off sekitar 30 menit yang lalu. Ia menguap, merasakan kantuk menghampirinya.

"Mah, entar kalo udah sampe atau mau siap-siap landing bangunin ya mah" ucapnya ke wanita paruh baya –Mamanya.

Mamanya nan anggun duduk disebelahnya menjawab. "yaudah tidur aja, entar Mama bangunin"

-TOD-

Sekolah baru, suasana baru, teman baru, perasaan masih sama*eh?

XII MIA 3

Begitulah tulisan diatas salah satu dari banyaknya pintu disepanjang koridor sekolah. Disya menatap pintu itu sekali lagi sebelum memasukinya,

"kelas yang sama tapi berbeda makhluk penghuni" batin Disya. Sambil menghembuskan nafasnya dengan perlahan.

--

"Anak-anak, saya mau mengumumkan bahwa hari ini adalah hari bebas karna guru-guru mengadakan rapat. Ki-

Ucapan seorang guru –yang dikenal Buk Saskia, namun dipanggil Buk Sas atau Buk Saski- di kelas itu terpotong karna sorakan gembira seisi kelas, heboh tak bisa terelakkan namun, bukan Bu Saski namanya jika tak bisa menenangkan murid-muridnya.

TAAK! TAAK! DUK!

Seisi kelas langsung diam. Bunyi itu ditimbulkan akibat pukulan Bu Saski ke meja yang ada di sampingnya.

"ehem! Jadi! Walaupun guru-guru rapat! bukan berarti kalian bisa cabut dan pulang seenak jidat!. Siapa yang ketahuan berarti bersedia membersihkan dan menyusun buku di Perpustakaan.

"saya akan memperkenalkan murid baru, Disya sini." Bu Saski memanggil Disya yang semenjak tadi memperhatikan gerak- gerik guru itu lalu memasuki kelas. Setelah mendapat perintah untuk memperkenalkan dirinya maka-

"Perkenalkan nama saya Adisya Kayfara. Kalian bisa memanggil saya Disya. Umur 16 tahun, pindahan dari Padang, pindah kesini karena ada urusan keluarga, Sekian."

Semua mata yang ada di kelas itu tertuju padanya. Ada tatapan bahagia, malas, mengagumi, sebal, dan macam-macam.

"Disya, kamu boleh duduk dibelakang, yang bangkunya kosong itu disebelah gadis berkacamata.

"baiklah saya harap kalian bisa mengendalikan diri kalian dan berteman dengan baik dengan Disya. Saya harus menghadiri rapat dulu. Jangan cabut atau terlampau meribut!" Bu Saski keluar kelas dengan santainya dan BLAM!. Pintu ditutup dengan keras secara

"maaf ibu ga sengaja" teriak Bu Saski. Jiwa muda ibu berkepala 4 itu masih ada.

--


Waktu istirahat telah tiba. Disya bersama Ica –teman barunya, sedang berjalan menuju kantin sembari berbincang-bincang. Topik yang mendominasi  perbincangan mereka adalah cogan-cogan yang ada di sekolah ini. Disya tersenyum saat Ica dengan semangatnya menceritakan beberapa nama orang yang dianggapnya sebagai cogan. Entah telah berapa nama siswa laki-laki yang disebut Ica dengan semangat, Disya hanya menganggukkan kepalanya sesekali tertawa. Walaupun sebenarnya ia masih memikirkan perasaannya terhadap Ibnu. cinta pertamanya. Namun ia seakan lupa saat kembali mendengar ucapan Ica tentang cogan-cogan itu.Ia seperti menemukan teman yang cocok disini. Mungkin. 


Saat setibanya di kantin. Spontan Disya mengucapkan "ganteng. Banget" pada saat ia tak sengaja menatap sosok tinggi, putih, mancung dan sempurna sedang berjalan kearah bangku kantin sambil membawa mangkuk berisi bakso yang memang nikmat disantap pada saat cuaca mendung pagi ini. Seakan ia lupa bahwa ia memiliki perasaan pada Ibnu. Perasaan lama seakan menguap saat itu juga. Ia tak menyadari itu sekarang. Ia masih asik berjalan sambil sesekali melirik cowok yang sedang menyantap baksonya dengan elegannya. Seakan Disya melihat itu semua dengan mode slo-mo pada sinetron yang ditonton adiknya kemarin.

Ica yang mendengar ucapan teman barunya hanya tertawa dan berkata "itu yang namanya Alvan, cowok yang paling dingin dari semua cogan yang gue sebutin tadi". Disya menoleh kearah Ica. Ia tersenyum malu ketika tau ternyata Ica menyadari ia terpesona kepada cowok yang bernama Alvan.

"Alvan ya," Disya tersenyum mengingat namanyasambil terus mengikuti Ica berjalan memasuki kerubunan manusia di kantin yangsesak ini.    

--

pendek? emang pendek. 

Fah.

Dare for USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang