Raja siang mulai muncul. Awan hitam sudah berganti putih. Semua orang bangun dari tidur untuk beraktifitas.
Berbeda dengan Prilly, ia tidak tidur semalaman. Ia hanya merenungi nasibnya. Jujur, ia belum sepenuhnya ikhlas. Namun, mau bagaimana lagi? Ini sudah takdirnya. Mau tidak mau, ia harus menjalaninya.
"Pagi, Sayang" sapa Ibu pada Prilly.
Prilly hanya diam tak menjawab. Ia masih betah dengan lamunannya.
Ibu Ully mengelus kepala anaknya yang terbalut sebuah kain kerudung.
"Nak, kamu coba ikhlaskan. Tak ada yang tak mungkin. Dokter bilang, kelumpuhanmu hanya sementara, Sayang. Masih ada harapan untuk kamu agar bisa sembuh."
"Tidak ada yang tidak mungkin 'kan, Bu? Mungkin saja Prilly akan mengalami kelumpuhan permanent"
"Kenapa putri Ibu yang selalu optimis ini berubah jadi seorang yang pesimis? Kamu percaya sama Allah. Serahkan semua pada-NYA."
Prilly hanya diam. Memikirkan ucapan ibunya. Ia merasa, ibunya benar. Tidak mungkin Allah memberi cobaan yang melampaui batas kemampuan umatnya.
Prilly menatap ibunya, lalu memeluknya sambil berkata
"Terima kasih, Bu"
***
Rumah Ali
Resi sudah pulang sejak tadi dari rumah sakit. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan Prilly. Ditambah Ali, putranya itu belum pulang dari kemarin.
"Kamu kemana, Nak? Mama butuh kamu."
Ya, saat ini ia sangat membutuhkan Ali.
Sebebas apapun Ali, ia tahu, Ali sangat menyayanginya. Terlihat dari perhatiannya.Ia menelungkupkan kepalanya diatas telapak tangannya. Ia menangis. Terbesit bayangan saat ia dicopet, saat Prilly terjatuh, saat Prilly tertabrak mobil, dan saat ia mendengar berita kelumpuhan Prilly. Ia merasa, ini salahnya.
"Ma..."
Panggilan itu! Panggilan yang ia harapkan dari tadi. Ia mengangkat kepalanya, lalu melihat siapa yang memanggilnya dan benar! Itu Ali.
Ia langsung berdiri dan memeluk erat tubuh anaknya. Ia menangis dipelukan anaknya.
"Mama, mama kenapa?" Tanyanya sedikit khawatir.
"Kamu kemana, Li? Mama dari tadi butuh kamu"
Ali sedikit heran dengan mamanya. Tidak biasanya mamanya seperti ini. Biasanya, jika ia tidak pulang kerumah, mamanya tidak sampai seperti ini. Paling hanya memarahinya.
"Kita duduk dulu, Ma. Habis itu Mama cerita sama Ali ada apa sebenarnya."
Mereka pun duduk dengan dituntun Ali.
"Sekarang Mama cerita sama Ali"
"Prilly, Li... Prilly."
"Prilly siapa, Ma? Terus dia kenapa?"
"Prilly anak teman Mama. Dia kecelakaan dan itu gara-gara Mama."
"Maksudnya gara-gara Mama?"
"Prilly kecelakaan sewaktu bantuin mama ngerebut tas mama dari pencopet."
"Mama tadi dicopet? Ma, ngapain pake direbut sih, Ma. Ntar mama kenapa-napa."
"Li, kamu mau bantu mama balas budi ke Keluarga Prilly, Nak?"
"Balas budi gimana, Ma? Demi Mama, Ali pasti mau."
"Menikahlah dengan dia, Nak. Dia lumpuh. Dia pasti sedang terpuruk. Bantu dia bangkit. Buat dia bahagia."