.
.Prilly membuka gorden kamarnya, lalu menatap suaminya yang masih meringkuk dibalik selimut. Ia menatap sendu Ali, berbagai pikiran menghampirinya. Apakah ia harus mengikuti pemikirannya atau kah kata hatinya?
Ah, apakah cinta serumit itu? Pikir Prilly. Ia rasa cinta dan hubungan tak semua rumit, buktinya adalah ibu dan ayahnya yang selalu bersama baik suka maupun duka. Cinta mereka seakan abadi. Namun mengapa kisah cinta mereka tak bisa ia lanjutkan bersama suaminya?
Di tengah lamunannya, terdengar suara dari handphone Ali -suaminya-. Ia menggerakkan kursi rodanya perlahan. Saat hampir mendekati Ali, ternyata Ali telah bangun dari tidurnya terlebih dahulu. Prilly bisa melihat bahwa Ali sepertinya terganggu dengan suara itu. Namun saat ia mengetahui siapa yang meneleponnya, senyum terpatri diwajah suaminya. Prilly mengernyitkan matanya, hatinya berdegub kencang. Apa itu wanita yang sama yang waktu itu mengirim pesan kepada suaminya. Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Siapa dia sebenarnya? Prilly berpikir, ia harus mencari tahu semuanya agar terlihat jelas. Apapun kenyataannya, ia berjanji akan menerima segalanya.
Prilly mendengar pembicaraan Ali dengan serius. Ia terkejut saat mendengar Ali memanggil perempuan itu dengan sebutan 'sayang'. Dan, ia mendengar bahwa mereka berdua -Ali dan wanita itu- akan bertemu disuatu tempat. Prilly segera menghapal nama tempatnya. Tapi Prilly tak tahu dimana alamat dan tempat apa itu.
Saat dirasa Ali akan mengakhiri pembicaraannya ditelepon, Prilly segera pergi dari sana. Ia pura-pura sedang sibuk melakukan sesuatu. Ia tak ingin Ali curiga dengannya.
Prilly melihat Ali turun dari kamarnya. Sepertinya ia hendak mengambil sesuatu. Prilly memutar kursi rodanya dan menjalankannya untuk mengikuti arah jalan Ali. Ternyata Ali menuju dapur. Prilly melihat Ali sedang membuat kopi. Prilly bisa menyimpulkan itu saat ia melihat toples berisi bubuk kopi dan gula serta air panas.
Prilly mendekat dan berkata, "Mas mau bikin kopi? Sini biar Prilly aja yang bikinin." Prilly meraih toples berisi gula yang berada di tangan Ali.
Ali hanya diam saja. Tanpa berkata apapun, ia meninggalkan Prilly yang sedang meracik kopi begitu saja. Prilly yang melihat hanya bisa menghela napas saja. Tetapi ia tetap dengan ikhlas membuatkan kopi untuk suaminya itu.
--WHY?--
Prilly memasuki kamar dirinya dan Ali. Dilihatnya, Ali sedang bersiap-siap dan merapikan rambutnya di depan cermin.
"Ini kopinya, Mas." Prilly meletakkan kopi itu di atas nakas. Ia menatap Ali dan Ali balas menatapkanya lewat cermin. Bukan tatapan meneduhkan, melaikan tatapan tajam.
"Lo ngapain masih di situ? Lupa pintu keluar? Atau lupa ucapan gue dulu, kalo gue masih siap-siap di kamar, elo gak boleh masuk? Masih mending ini gue bolehin lo masuk buat nganterin kopi," kata Ali.
Prilly yang tersadar segera memutar kursi rodanya hendak keluar kamar. Namun, baru saja ia ingin menggerakkan kursi rodanya, handphone milik Ali yang saat itu berada di nakas bergetar menandakan adanya panggilan. Tak bersuara, sepertinya memant disetting untuk bergetar saja.
Prilly melihat kearah Ali. Ternyata Ali tak menyadari tentang getaran di handphone miliknya. Dengan keberanian yang cukup, Prilly mengintip siapakah yang menelepon suaminya sepagi ini.
Sebenarnya, hati Prilly takut saat ini. Ia gelisah, apakah wanita yang sama dengan yang tadi pagi? Atau orang lain?
Saat ia berhasil melihat siapa yang menelepon, ia dapat bernapas lega. Ternyata itu dari mertuanya, Mama Ali.
Dengan keberanian lagi, Prilly memberitahu Ali tentang telepon dari Mamanya, "Mas, ada telepon dari Mama."
Prilly dapat melihat bahwa Ali langsung menghentikan aksi merapikan rambutnya. Ali membalikkan badannya dan menatap Prilly tajam.
Ia mendekatkan dirinya dengan Prilly. "Lancang lo ya, ngeliat isi handphone gue? Emang siapa yang ngijinin lo? Hantu? Oh, atau Malaikat?"
"Tapi, hp Mas bergetar saat Prilly melihatnya."
"Gue gak peduli. Mau sengaja atau engga, tetap aja lo lancang. Gue tahu, lo tuh punya banyak topeng buat mengelabuhi orang lain. Tapi sorry, gue bukan mereka yang dengan mudah percaya dengan kepalsuan lo."
"Maks---"
"Keluar dari kamar gue sekarang!" Ali berkata sambil menunjuk pintu kamar.
Prilly segera menggerakkan kursi rodanya untuk keluar dari kamar. Ia tak mengerti, kenapa suaminya ini seakan-akan mengasingkan dirinya? Bukannya wajar? Prilly ini istrinya. Prilly juga berhak atas dirinya, begitupun sebaliknya.
Saat Prilly telah keluar, Ali bermonolog, Huh! Untung cuma Mama. Gimana kalo Yola atau temen-temen gue yang nelpon tadi? Bisa abis kemakan malu gue!
Sesaat Ali tersadar bahwa ia baru saja mengabaikan telepon dari Mamanya. Cepat-cepat ia menghubungi Mamanya kembali agar mamanya tak curiga tentang dirinya yang selalu mengasingkan Prilly.
"Halo, Ma."
---
Ali duduk di depan kemudi dengan wajah kesal. Bagaimana tidak, mamanya menelpon hanya untuk menyuruh Ali mengajak Prilly ke supermarket untuk membeli bahan-bahan untuk membuat brownis. Mamanya ingin diajarkan Prilly cara membuatnya. Jadi, ia meminta Prilly untuk sekalian membeli bahan-bahannya. Acara yang ia susun dengan Yola dan teman-temannya terpaksa batal begitu saja.
"Gue tunggu disini," kata Ali sambil menatap lurus ke depan dengan suara ketus.
"Tapi Mas, dengan kondisi Prilly yang seperti ini tentu akan sulit untuk sendirian. Apa Mas tidak bisa menolong Prilly untuk kali ini saja? Demi Mama."
"Ck. Lo bener-bener perusak suasana."
Walaupun berkata begitu, Ali tetap turun untyk membantu Prilly. Sebelumnya ia mengambil kursi roda Prilly yang berada di bagasi mobil. Lalu ia membantu Prilly turun dari mobil dan menaiki kursi rodanya.
"Ali?"
.
.
.
.
.
TBC