03: Nasihat Ibu

20.2K 1.6K 48
                                    

Saat azan subuh begini, Kahfi sudah segar karena sehabis mandi, masih mempunyai wudhu juga tentunya. Sarung, baju koko, serta peci hitam sudah ia kenakan. Lalu ia berpamitan kepada ibunya yang juga subuh begini pasti sudah bangun untuk menjalankan kewajibannnya untuk salat subuh, lalu menyiapkan sarapan untuk ia dan juga adik-adiknya. Dan Kahfi mensyukuri hal itu, nikmat Allah yang begitu luar biasa. Yang kadang lalai kita syukuri, terlalu ribut dengan kepentingannya, sibuk mengeluh tentang hidupnya.

152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu[98], dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

[98] Maksudnya: aku limpahkan rahmat dan ampunan-Ku kepadamu.

Kahfi berangkat menuju pondok pesantren yang tak jauh dari rumahnya, tempatnya membantu mengajar adik-adik juga setiap sore. Ia rutin salat berjamaah subuh di sana, meskipun di kampung rumahnya pun ada musala. Namun Kahfi memilih salat subuh di sana karena setelah salat, akan ada siraman rohani rutin dari Kyai di sana dan juga mengaji diniyah.

"Assalamualaimum Kyai." Sapa Kahfi yang mendapati Kyai Handoko di depan musala ponpes. Sepertinya beliau juga baru datang. Kyai menyapa Kahfi balik, hafal betul muridnya yang satu ini, tak pernah absen dalam kegiatan jamaah subuh ini. Kahfi menjadi harapan Kyai Handoko mewakili pemuda, dimana lebih aktif dalam urusan agama islam. Pemuda harapan, penerus yang akan ikut mendakwahkan islam. Beliau merangkul Kahfi menuju ke dalam musala, melaksanakan kewajiban dan menuntut ilmu.

Di masa muda, Kahfi ingin memperoleh ilmu agama sebanyak-banyaknya. Karena ilmu akan bermanfaat untuk hidupnya kelak. Terutama ilmu agama islam, bekal untuknya, yang nantinya akan ia gunakan sebaik-baiknya untuk istri dan anak-anaknya kelak agar berbuah jannah.

Selepas dari pesantren, Kahfi pulang ke rumah sekitar pukul 05.30 WIB. Lalu ia menggantikan ibu mengawasi adik-adik kembarnya yang keduanya laki-laki yang baru berumur 3 tahun, sementara ibu akan menyiapkan sarapan. Dua adik Kahfi lainnya berjenis kelamin perempuan, Khadijah kelas dua MTS (Madrasah Tsanawiyah)-sedangkan Kahla sedang duduk di kelas satu MTS. Sejak kecil memang adik-adiknya dilatih untuk bangun pagi, agar terbiasa juga melakukan salat subuh lalu menyiapkan keperluan mereka untuk sekolah.

Sarapan sudah siap, semua memulai sarapan. Kecuali Kahfi yang membiarkan ibunya sarapan dahulu, sementara ia mengawasi adik kembarnya dan gantian menyuapi sarapan. Biasanya ia juga bergantian mencuci baju adik-adik kembarnya dengan ibunya, sungguh Kahfi tak tega membiarkan ibunya mengorbankan fisiknya. Ia sudah berhutang banyak dengan sang ibu, melahirkan dan merawatnya hingga ia sebesar ini.

Kedua adik perempuannya akan berangkat sekolah sendiri, dengan jalan kaki tentunya. Karena letak sekolah yang tak begitu jauh dari rumah, mungkin bisa ditempuh dalam waktu 15 menit. Hari ini giliran Kahfi yang membersihkan segala penjuru rumah. Mulai dari mencuci bajunya sendiri, baju adik kembarnya, untuk baju kedua adik perempuannya, mereka sudah di latih untuk mencuci sendiri, sedangkan ibunya bersikeras tidak mau Kahfi mencucikannya. Dan Kahfi hanya bisa pasrah saja, padahal mencuci bukanlah pekerjaan yang berat. Setelah mencuci, Kahfi menyapu rumahnya, membuang sampah ke tempat pembuangan, lalu membersihkan motornya sendiri.

Saat waktu dhuhur akan tiba, Kahfi sudah rapi mengenakan sarung, baju koko dan pecinya. Bersiap menuju musala yang ada di kampungnya. Ia kumandangkan azan dengan merdu yang membuat siapa saja akan kagum terhadapnya. Lalu ia juga yang ditunjuk warga untuk menjadi imamnya. Dulu, musala ini sepi sekali, kecuali saat maghrib. Kendalanya adalah tidak ada yang azan dan menjadi imam. Untuk makmum sendiri pasti ada meskipun dalam jumlah sedikit. Dari keprihatinan Kahfi terhadap hal itu, ia berinisiatif untuk azan di sana, lalu warga mulai berdatangan dan menyuruhnya menjadi imam juga. Semuanya tahu, Kahfi mempunyai kemampuan dalam bacaan AlQuran yang bagus ditambah suaranya yang merdu, warga beranggapan Kahfi mampu menjadi imam dalam salat berjamaah mereka. Dan kini sudah terbukti. Hal ini sudah berjalan bertahun-tahun.

Setalah salat, ia bergantian dengan ibunya untuk menjaga adik kembarnya. Entah kenapa, hari ini mereka begitu rewel. Ibunya memasak, dan dirinya kini sedang membacakan buku cerita tentang kisah para nabi kepada adiknya, bersyukur sekali Kahfi bisa mengendalikan mereka dan akhirnya kedua adik laki-lakinya itu bisa diam mendengarkan. Kebersamaan dengan adiknya, bercanda dan tertawa bersama adiknya, hal ini begitu Kahfi nikmati. Dari pintu, ibu memperhatikan ketiga anak lelakinya. Ia juga bersyukur, meskipun suaminya telah berpulang kepada sang pemilik bumi dan segala isinya ini, tapi Allah memberi pengganti untuk menemaninya agar tak putus asa dalam menjalani hidup, menemaninya meneruskan hidup ini agar tetap ada pada jalan yang benar. Ia bersyukur memiliki anak setangguh, sekuat, sepenyayang Kahfi. Kahfi merelakan untuk menunda pendidikannya demi keluarga, ia bekerja keras demi keluarga, namun ia tetap pada jalan Allah, melakukan kebaikan-kebaikan, menjadi anak yang salih. Dan sungguh, dirinya bangga akan itu.

Merasa ada yang memperhatikannya, Kahfi menoleh ke arah pintu. Dan ia mendapati sang ibu berdiri di sana, menatap matanya. Kahfi melemparkan senyum kepada malaikatnya, wanita luar biasa untuknya. Kedua adik kembarnya sudah tertidur, lalu ibu menghampiri Kahfi, duduk di samping jagoannya yang kini sudah tumbuh dewasa.
Ibu memeluk kahfi, erat sekali. Jujur Kahfi sedikit kaget dengan tindakan ibu. Jarang sekali ibunya seperti ini, apalagi kahfi merasakan tetesan air mata sang ibu membasahi kaus yang ia pakai. Isakan kecil terdengar di telinga Kahfi. Ia pasrah saja, balas memeluk ibunya. Betapa ia sangat mencintai wanita yang ada dalam pelukannya ini, betapa ia sangat membutuhkan wanita ini dalam hidupnya, betapa ia ingin selalu melindungi dan membahagiakan wanita ini. Dan masih banyak lagi hal yang ingin ia lakukan kepada wanita ini.

"Terima kasih Nak, terima kasih atas semuanya. Terima kasih sudah menjadi lelaki kebanggaan ibu dan adik-adik," ucap Ibu Kahfi setelah menguraikan pelukannya. "Terima kasih karena kamu sudah mengorbankan hidup kamu untuk adik-adik. Mengorbankan masa muda kamu untuk kami, mengorbankan jiwa dan ragamu untuk kami. Terima kasih, Nak."

Berkaca-kaca sudah mata Kahfi. Bukan, bukan ia pria cengeng. Tapi kalau sudah menyangkut keluarganya, terutama ibunya, Kahfi selalu terharu. Apalagi dengan ucapan ibunya, ucapan terima kasih dari ibu untuknya. Padahal yang Kahfi lakukan tidak seberapa dibanding apa yang sudah ibu korbankan untuknya. Kahfi menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Endak Bu, Kahfi masih anak yang belum bisa banggain ibu dan almarhum ayah. Kahfi belum bisa bikin kalian seneng."

"Ka, dengarkan ibu. Dengan semua yang kamu lakukan, kamu korbankan, itu sudah menjadi kebanggaan untuk ibu. Kamu istiqomah dengan kebaikan, kamu menjaga hubunganmu dengan Allah, kamu kendaliin nafsu kamu untuk nggak berbuat maksiat dan kamu menjaga hubungan kamu dengan manusia lain. Itu! Itu hal penting yang membuat ibu bangga sama kamu, Nak. Dan ibu juga yakin, di sana, di surganya Allah, ayah bangga juga akan bangga melihat kamu."

"Dan sekarang, sudah saatnya kamu mulai mencari kebahagiaanmu Ka. Mulailah berjuang untuk masa depan kamu. Kematian, rezeki, hidup dan jodoh kita memang sudah tentukan Allah dalam Lauhul Mahfudz. Tapi kembali lagi, dengan seberapa usaha kita, Ka. Gak mungkin kan jodoh kamu datang begitu saja tanpa ada pergerakan dari kamunya? Pasti di awali dengan kamu yang terus memperbaiki diri, lalu menemukan bidadari kamu." Kata sang ibu diakhiri dengan senyuman teduhnya, membuat hati Kahfi tentram selalu.

"Insya Allah bu, doakan Kahfi selalu. Terima kasih." Hanya itu yang Kahfi ucapkan, lalu ia memeluk sang ibu kembali.

"Oh iya," Ibu melepaskan pelukannya dan tersenyum menggoda. "kemarin ibu ketemu Namira sama ibunya di pasar. Masya Allah Nak, ramah sekali Namira menyapa ibu. Kagum sekali ibu sama dia, keluarganya sangat berada, tapi gak malas-malasan, dia ikut langsung ke pasar dan milih bahannya langsung lho Ka. Betapa suaminya nanti beruntung ya Ka." Ucap ibu sambil masih tersenyum menggoda ke arah Kahfi, dan lama-lama Kahfi paham akan hal itu. Ya, ibu sepertinya memahami gelagatnya selama ini.

"Aamiin ya Bu. Semoga," lelaki beruntung itu aku. lanjut Kahfi dalam hati.

"Ibu tahu kok, kamu nahan diri kamu untuk tidak memandang akhwat yang kamu suka Ka. Pertahanin Nak, jangan sampai kamu melanggar apa yang sudah ada dalam islam. Ibu yakin, Kahfi bisa. Hingga saatnya nanti kamu ada dalam ikatan yang halal, dan akhwat itu, siapa pun nanti juga akan bangga terhadap suami yang bisa menjaga pandangannya."

Ibu memang segalanya
....

Assalamualaikum, semoga masih ada yang baca yaa hihi.

Berharap ada yang ngasih kritik dan saran😄

Jazakumullah.

Cinta dan Strata (REPOST)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang