Yeri berusaha berontak, walau ia tahu semua bentuk perlawanannya akan sia-sia. Namun gadis itu sudah memantapkan niatnya. Bahwa ia, tidak akan jatuh ke dalam pesona seorang Kim Mingyu lagi.
"Kau bisa diam tidak?" Ujar Mingyu dengan nada yang dingin.
"Kalau begitu turunkan saja aku." Kesal Yeri. Akhirnya setelah lima menit berada di gendongan Mingyu, Yeri berhasil mengatur emosinya untuk tidak menangis.
"Kau yakin?"
Mendengar pertanyaan Mingyu justru membuat Yeri merasa khawatir. Apa benar lelaki Kim itu rela meninggalkannya sendiri?
"Kau tidak menjawab, kalau begitu aku anggap kau tidak yakin akan pilihanmu." Kali ini Mingyu berkata dengan nada yang lebih santai.
"Akh, Kim Yerim!" Mingyu refleks berteriak ketika Yeri menggigit lengannya kuat. Yeri memejamkan matanya, entah mengapa gadis itu justru merasa takut. Apalagi ketika Mingyu sudah memanggil nama aslinya.
Jujur saja, Mingyu sudah merasa lelah. Untuk mendapatkan informasi dimana Yeri berada saja tidak mudah. Ditambah sekarang gadis itu mulai berulah dan berontak, sehingga ia harus berurusan dengan hal yang tidak kalah sulitnya. Membuat pening yang terasa di kepala Mingyu semakin menjadi-jadi.
Hingga akhirnya habis sudah tenaga dan kesabaran Mingyu. Dengan teganya, Mingyu menurunkan Yeri dari gendongannya dan menyandarkan tubuh gadis itu pada sebuah pohon besar.
"Kau minta kulepaskan kan? Kau puas, hah?" Ucap Mingyu seraya memijit kepalanya.
Demi apapun lelaki itu ingin mengutuk Yeri. Mengapa sih Yeri tidak membuat semuanya berjalan dengan mudah sehingga ia dapat segera tidur dengan nyenyak di kasurnya?
Yeri sendiri tidak dapat menjawab pertanyaan Mingyu. Dirinya sedang sibuk menahan air mata yang hendak jatuh dari matanya. Ternyata benar dugaannya, Mingyu akan dengan mudah melepaskannya. Lalu mengapa Mingyu harus rela bersusah payah menyelamatkan dirinya jika akhirnya ia akan dibuang? Seandainya Mingyu tidak datang, mungkin Yeri sudah dapat menjadi istri seorang Lee Taeyong. Setidaknya hal itu tidak lebih buruk daripada harus terjebak di antara hutan belantara seperti ini.
"Hm. Kau boleh pergi." Sumpah. Itu adalah kalimat ter-tidak-ikhlas yang pernah Yeri ucapkan. Ia menggigit bibirnya, berharap Mingyu tidak akan meninggalkannya. Tapi pada kenyataannya, Mingyu justru melenggang pergi tanpa berbicara sepatah kata pun.
"Yak!" Teriak Yeri frustasi.
Sial. Dirinya salah. Salah besar. Awalnya ia memang tidak berharap bahwa Mingyu akan datang menyelamatkannya. Namun ternyata Mingyu datang, dan itu berhasil membuatnya sedikit berharap. Walau Yeri juga harus sadar, bahwa segala yang Mingyu lakukan tidaklah tulus. Ada perasaan suka dan tidak suka. Di satu sisi dirinya ingin terbebas dari Mingyu, namun ia tidak dapat mengelak bahwa di sisi lainnya ia masih menginginkan lelaki itu.
"Hiks-jika kau meninggalkanku seperti ini, hiks-untuk apa kau meneyelamatkanku." Isaknya. Yeri memukul-mukul dadanya, mencoba menghilangkan sesak yang ada. Dirinya tidak peduli bahwa Mingyu atau orang lain mungkin mendengar isakannya. Yang ia inginkan hanyalah menangis sepuas mungkin.
Setelah menangis meraung-raung selama sepuluh menit, gadis itu mulai dapat menstabilkan emosinya. Dirinya menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya secara perlahan. Mencoba membuatnya berhenti sesenggungkan.
"Gosh!" Yeri berteriak kaget saat mendengar suara lolongan serigala yang tak jauh dari tempatnya berada. Yang benar saja, apakah dirinya akan tewas dimakan serigala? Semenyedihkan ini kah akhir hidupnya?
Tak lama gadis itu dapat merasakan sesuatu yang bergerak mendekatinya dari balik pohon yang berada tak jauh dari tempatnya sekarang. Hal itu membuatnya semakin panik. Yeri menatap sekitarnya dengan gelisah. Setidaknya ia memiliki dua pilihan. Pilihan pertama adalah kembali ke dalam gudang milik Taeyong, dan pilihan kedua adalah mengikuti jalan setapak yang tadi Mingyu lalui.
Demi apapun Yeri tidak pernah merasa sebingung ini. Ia tidak habis pikir degan Taeyong yang nekat membuat gudang di tengah hutan. Yang bahkan keberadaannya jauh dari kata mudah untuk diketahui dan diakses. Yeri sudah memejamkan matanya kuat-kuat. Ia juga menggigit bibirnya dan mengepalkan tangannya. Sedangkan mulutnya tidak berhenti menggumamkan serangkaian doa. Pasrah. Dirinya sudah pasrah.
Yeri tecekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak untuk beberapa saat. Dirinya masih tidak dapat percaya bahwa kini Mingyu sudah berada di dekatnya dan memeluknya. Sekali lagi, lelaki itu memeluknya. Mingyu bahkan mengelus punggung Yeri pelan dan menciumi pucuk kepalanya.
"Ssttt... Aku disini. Jangan takut." Gumam Mingyu tepat di telinga Yeri. Sial, Yeri merasa dirinya kembali goyah. Apalagi saat Mingyu kembali membawa Yeri ke dalam gendongannya. Kali ini Yeri bahkan sudah tidak memiliki niat untuk berontak.
Tak lama, mereka sampai di pinggiran jalan raya yang sepi. Yeri dapat melihat beberapa mobil -yang ia yakini milik Mingyu, terpakir disana. Mingyu membawanya masuk ke dalam mobil sedan berwarna merah. Namun anehnya, lelaki itu justru menyuruh supirnya untuk keluar sejenak, menyisakan Mingyu dan Yeri yang kini saling terdiam. Canggung.
"Mengapa kembali? Belum puas memanfaatkanku?" Tanya Yeri to-the-point. Sesungguhnya hatinya sakit berkata demikian. Tapi toh ia harus menerima kenyataan yang ada. Mau bagaimana lagi, hidupnya sudah berada di tangan lelaki yang kini tengah menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kau menginginkan perusahaanku kan? Ambil saja, aku bahkan sudah tidak berniat mengurusnya."
"Kau ingin balas dendam? Atas apa? Kematian kakekmu? Kematian Wendy? Kau bahkan sudah membunuh orangtuaku, Min. Kau tahu bahwa aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka."
Setetes air mata kembali jatuh dan Yeri segera menghapusnya. Cukup sudah, dirinya bertekat untuk tidak menangis. Apalagi menangis di hadapan Mingyu.
"Mengapa tidak menjawab, hm? Aku lelah. Mengapa kau harus menyelamatkanku? Mengapa tak kau biarkan aku mati saja sejak awal? Me-"
Ucapannya terpotong saat Mingyu menciumnya. Tepat di bibir. Tidak kasar, ciuman ini sungguh lembut dan memabukkan. Membuat Yeri terlena untuk membalasnya.
"Maafkan aku."
Dan perkataan Mingyu tersebut berhasil membuat Yeri merasakan debaran jantungnya meningkat dua kali lebih cepat.
Mingyu kembali memeluknya, kali ini jauh lebih erat. Yeri membenamkan kepalanya pada dada bidang lelaki itu. Hangat dan nyaman. Ingin rasanya Yeri memohon pada Tuhan agar moment ini dapat berlangsung selamanya.
"Maaf. Aku tahu aku salah."
"Kau tahu bahwa kata maaf saja tidak cukup, kan?"
"Ya, setidaknya hanya itu yang dapat aku ucapkan sekarang."
"Aku lelah seperti ini. Bisakah kau lepaskan aku saja, Kim Mingyu?"
---
OMG IM SORYY BECAUSE THIS CHAPTER IS SO LAME HUHU. Tadinya aku mau namatin disini aja, tapi karena pada minta lanjut jadi deh aku lanjut (walau masih gak tau ke depannya mau gimana .-.)
Makasih ya yang udah ngasih saran, padahal belum 24 jam tapi udah aku apus karena mood nulis lagi ada(?) yaudah aku ketik aja deh chapter ini. Nah ini kenapa Yerinya jadi labil dan tidak berpendirian gini ya, aku sendiri jadi bingung Yeri maunya apa HAHA.
Makasih ya yang udah vomment, maaf belum sempet aku balesin satu-satu (karena mayoritas isinya nyuruh lanjutin) dan ini aku jawab dengan update chapter ini hehe! Sekali lagi aku minta maaf kalau chapter ini kurang memuaskan, semoga aja chapter selanjutnya lebih baik. (Tbh aku ngerasa chapter ini tuh gak greget/?)
Okay sekian cuap-cuapnya, sampai jumpa di chapter selanjutnya!
-ai♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped ✿ Mingyu
Fiksi Penggemar"Just let me die." Ucap Yeri pasrah. Keringat dingin telah membasahi pelipisnya, dan darah segar mulai mengucur dari bibirnya. Tubuh gadis itu bergetar hebat, ia bahkan sudah tidak bisa berdiri jika Mingyu tidak menahan tubuhnya. Mingyu memberikan...