Alasanku Maybe

12.2K 259 17
                                    


Yang dimiring flashback yaa

***


Terlihat awan mendung yang mulai menyelimuti langit. Langit sebentar lagi akan menangis, menumpahkan kerinduannya akan terpaan tetesnya terhadap dedaunan. Kala itu juga, titik demi titik air mulai berjatuhan menerpa bumi. Semakin deras, semakin membuatku mengeratkan kedua tanganku untuk memeluk diriku sendiri.

Aku belum pernah merasakan suasana semendung ini, bahkan mendung yang pernah kulewati mungkin menyimpan cerita yang berbeda. Tentang mendung yang pernah menjadi alasanku tersenyum, kala itu kau datang membawa seutas kebahagiaan. Tentang mendung yang pernah menjadi kenangan, kala itu kau bersedia menghanyutkan waktu dalam kebersamaan panjang di bawah naungan hujan.

*

"Hujan, Shan! Masuk kelas dulu yuk.." Suara seseorang datang

"Nggak dulu ah, Vin. Aku ingin pulang, mungkin aku akan menerobos hujan sekarang juga." Balasku sambil menatap kepulan uap putih yang keluar dari mulutku. Kala itu, dingin benar-benar membuatku bersikeras untuk tetap bertahan.

"Untuk apa? Untuk apa kamu menyegerakan waktu pulang? Hujan seperti ini biasanya irit, Shan!" Kata Viny tak habis pikir.

Sekilas aku menengadah, menatap titik demi titik hujan tadi yang kian berubah menjadi deras. "Aku tidak mengajakmu untuk menemaniku, kok."

"Memang." Sahut Viny ketus. "Tapi seenggaknya kamu harus bisa menjaga diri. Hujan seperti ini nggak baik buat kesehatan."

"Ah, maksudmu apa? Jangan larang aku!" Bentakku, sebelum akhirnya memilih untuk bergegas meninggalkan Viny bersama sepeda yang berada di sampingnya, tepat di depan gerbang sekolah.

Aku kian mempercepat langkah kaki ketika menyadari kehadiran petir tunggal, disusul dengan sengangar petir yang tiba-tiba datang. Sempat suaraku melengking di udara, menembus deru hujan. Tetapi nyatanya suara hujan mengalahkan vokal suaraku.

Di menit berikutnya, petir kembali bertamu di sela-sela langkahku. Tanpa jeda, aku menjerit sekuat tenaga hingga yang kurasa setelahnya ialah sebuah genggaman tangan. Dengan hitungan detik, aku membuka kelopak mataku untuk berlalu dari masa takutku. Pandanganku menyapu samar ke arah seseorang yang mencoba tersenyum, meski senyumnya terbiaskan air hujan.

"Ayo, kita hujan-hujanan bersama!" Ajaknya, tidak lain ialah Viny.

Kami berlari menerjang hujan, bermain bersama iringan percikan hujan. Tawa kami mengudara, seolah berusaha menandingi suara hujan. Kami tersenyum bersama, seolah tanpa beban.

Tapi selang beberapa detik, aku yang terlebih dulu melenyapkan kehadiran senyum bahagia di antara kami. Dengan gerakan cepat, aku mengendurkan peganganku pada pundak Viny yang saat itu sedang mengayuh sepeda. Kami sama-sama menyukai hujan, meski pada akhirnya aku sendiri yang memutuskan untuk mencintai setiap titik yang terlahir dari awan.

Sore itu, kami melewati masa bersepeda berdua melewati jalan yang biasanya. Dia yang mengayuh sepeda sambil merasakan angin lembut di September dan aku yang berkutat dengan pikiranku sendiri. Keraguan mulai mengisi kosong dalam pikiranku, mungkinkah kebersamaan ini hanya sebatas kejadian yang melintasi bagian waktu dalam hidupku? Bahkan, aku tidak ingin kebersamaan ini terdetik dalam laju ritme nafasku. Aku tidak ingin...

Tapi kesan itu tidak berlahan lama karena tiba-tiba hujan deras itu menjelma menjadi butiran air yang membias cahaya mentari di balik awan-awan hitam nan gelap itu, lalu terpatri pelangi. Aku sempat menguatkan peganganku saat Viny semakin mempercepat laju sepedanya

OneShot BerkumpulWhere stories live. Discover now