BADA...DATANG TAK DIUNDANG, PULANG TAK DIUSIR

142 4 1
                                    

Harry: "Itu...apakah itu berarti...apa artinya itu?"
Dumbledore: "Itu berarti orang yang punya kesempatan mengalahkan Lord Voldemort untuk selamanya dilahirkan pada akhir Juli, hampir enam belas tahun yang lalu. Anak ini akan dilahirkan kepada orangtua yang sudah menantang Voldemort tiga kali."
Harry Potter dan Orde Phoenix


       Setelah kejadian Naina mabuk Yakult, hubungan pertemanan Naina dan Bada semakin akrab. Bada semakin sering mampir ke rumah Naina baik untuk makan maupun untuk menulis. Katanya ruang kerja Naina lebih memudahkannya untuk mendapatkan inspirasi. Naina sering berpikir dalam hatinya apakah Bada itu memang temannya atau teman yang tahu bagaimana memanfaatkan kebaikan Naina. Setiap pagi pukul delapan kecuali hari Minggu Bada berkunjung dan pulang ke rumahnya tepat pukul empat sore. Apakah rumah Naina adalah kantor Bada?
        "Naina....NAINA...NAINA!!!!" Nah baru dipikirkan, itu orang udah datang. Mana cara Bada memanggil Naina seperti anak-anak kecil jaman dulu ngajak ngaji di musholla atau ngajak main masak-masakan. Volume suara Bada semakin besar karena tidak ada jawaban dari Naina.
Naina dengan ekspresi muka yang cemberut dan dengan kedua tangan yang disilangkan ke dadanya,membuka pintu.
        "Na! Aku datang lagi"kata Bada dengan senyum lebar dengan laptop di tangan kirinya dan charger menggantung di lehernya.
         "Nggak menerima tamu apalagi sumbangan. Sana." Tangan Naina bergerak mengusir.
          "Na, mana ada orang setampan aku minta sumbangan."
          Naina membuka pagar rumahnya karena laptop yang ditangan Bada tidak memungkinkan Bada untuk melakukannya.
        "Kau sadar tidak? Kalau kau itu seperti anak balita komplek yang keluar setiap sore dengan bedak cemongan di wajahnya untuk bermain. Belum lagi nada suaramu yang selalu menggunakan nada anak-anak perempuan yang mengajak untuk bermain masak-masakan. Aku sampai lupa kalau aku sudah berumur 30," kata Naina sambil mengomel tidak jelas.
        Bada dengan tingkah slenge'annya langsung ke ruang kerja Naina meletakkan laptop dan chargernya diatas meja seberang meja kerja Naina.
       "Na...kopi dong! Aku lagi bertabur ide di pikiranku yang mesti segera dituangkan dan kopi adalah doping yang pas untuk menambah semangatku. Ayo Na, cepet." Bada menghidupkan laptopnya dan dia sudah dalam posisi siap berkhayal dengan jari-jari di papan ketik laptopnya.
         Tinggal Naina yang setiap pagi kesal bin jengkel menghadapi tingkah seenaknya Bada. Satu sendok kopi dan satu sendok gula sudah Nai masukkan ke dalam gelas kaca besar yang sudah Bada stempel kepemilikannya dengan spidol permanen. Tidak boleh dipakai oleh siapapun. Gelas kaca besar ini milik Bada. Tetapi sejengkel apapun Naina dengan Bada, Naina masih menuruti kehendak Bada. Naina meletakkan gelas kopi yang sudah ditutup diatas meja Bada duduk. Bada sendiri seperti sibuk dalam dunianya. Kalau seperti itu Bada tidak bisa diganggu.
        Naina sendiri melanjutkan terjemahannya yang sudah mencapai setengah buku atau sekitar 300 halaman sudah diselesaikan Naina. Naina membuka-buka lagi kamus luring dan daring yang membantu Naina mencari pilihan kata yang tepat. Facebook pun tetap dalam kondisi aktif karena kadang Naina mengalami kebuntuan dalam memadankan kalimat. Oleh karena itu opini kedua, ketiga atau seterusnya bisa menjadi alternatif Naina untuk memecahkan masalah. Suasana di ruang kerja Naina cukup lengang dan tenang. Tidak ada bunyi suara mereka berdua. Yang terdengar hanyalah bunyi yang dikeluarkan dari jari-jari di papan ketik masing-masing laptop. Suasana itu bertahan sampai pukul satu siang. Mereka juga tidak menyadari waktu makan siang telah lewat karena mereka sedang asik dengan kerjaan mereka. Kesunyian ini benar-benar menenangkan.
        "Na...aku lapar." Terdengar suara Bada. Tapi Naina yang sedang sibuk dengan keasikan menerjemahnya tidak mendengarkan rengekan Bada.
       "Na..." suara Bada dua kali lipat lebih kencang.
        "Naina! Aku laper. Aku mau makan."
         Naina langsung menoleh melotot ke arah Bada karena terganggu.
        "Kau kan punya tangan dan kaki. Tinggal berjalan ke dapur. Ambil piring yang diisi nasi dan lauknya. Langsung makan. Sudah sana. Jangan ganggu aku. Aku lagi mager sekalian bawain untukku."
         Naina kembali memfokuskan dirinya kembali ke lembaran buku yang sedang diterjemahkan.
         Karena perut Bada sudah mirip terompet berbunyi terus, Bada memaksakan dirinya untuk berdiri. Bada mengambil dua piring lalu menyendokkan penuh nasi dan lauk ke dalam piring.
        "Na...Berhenti dulu kerjanya. Aku udah bawa nasinya. Kalau udah makan kau bisa terusin menerjemahnya."
       Naina tidak merespon.
       "Naina...kalo kau tidak berhenti dengan kerjaannya, nanti aku matiin paksa laptopnya. Biar ilang semua kerjaan yang  sudah dikerjakan."
          Mendengar ancaman Bada, Naina langsung menekan menu control + s semua hasil terjemahannya. Naina mengambil piring yang terletak dimeja kerjanya. Naina menghabiskan nasinya. Terdengar bunyi sendawa yang cukup besar dari Bada.
         "Kadang aku lupa ini rumah punya siapa", singgung Naina.
         Bada hanya terkekeh.
         "Na...karena kau sekarang temanku yang paling dekat, maka kau kuberikan kehormatan untuk menjadi pembaca pertama novelku. Aku berhasil menyelesaikan bab terakhir novelku. Sebelum aku menyerahkan draft novelku ke editor, aku ingin kau membacanya dulu dan aku ingin kau memberikan pendapatmu tentang novelku ini."
          "Aku harap setelah novelmu terbit, kau bisa membuat ruang kerja di rumahmu sendiri tanpa menggangguku."
          "Kalau aku sudah berhasil mendapatkan royalti dari novelku, kau akan kutraktir Yakult sampai mabuk. Ha...ha...ha." Bada tertawa kencang mengingat kejadian pada malam itu ketika Naina keluar masuk toilet gara-gara Yakult.
         "Berhentilah tertawa."
          Bada langsung mengambil flashdisk yang masih menempel pada lubang yang ada di laptopnya.
          "File novelku ada di flashdisk ini. Tolong cetak'in dong, Na? Iya aku tahu aku pake kertas dan tinta punyamu. Tapi aku malas kalo harus pulang cuma buat nyetak'in draft novel ini." Bada langsung meletakkan flashdisknya ke tangan Naina. Mau tak mau Naina langsung mengambil flashdisk dan menempelkannya ke laptop dan segera mencetak. 327 lembar jumlah halaman draft novel yang sudah dicetak. Lalu diberikan klip penahan lembaran kertas. Setelah menyelesaikan semua yang diminta Bada, Naina menyerahkan flashdisk ke Bada.
         "Makasih, Na. Aku nggak bisa disini sampe jam 4. Aku ada janji. Aku pengen kau memberikan masukan pada novelku ini. Kalo besok gimana? Soalnya deadlinenya seminggu lagi."
          "Bada....Ini ada 327 halaman yang mesti aku baca. Belum lagi mesti ngasih masukan. Ini kayak kerjaan editor dan proofreader. Kau tahu kalo ini profesi aku juga. Berarti kau juga harus membayarku. Ah...aku pusing. Aku juga bentar lagi tenggat. Udah sana pulang. Jangan ganggu aku hari ini."
          "Ih, Naina...Kok ngusir? Aku kan nggak punya uang buat bayar jasamu. Gimana kalo buku aku terbit, namamu akan kutulis dihalaman terima kasih. Namamu yang pertama. Suatu kehormatan loh Na bisa menjadi orang yang aku beri terima kasih di novelku. Mana namamu berada di urutan pertama." Bada pura-pura sedih. "Ya udah aku pulang. Sampe ketemu besok pagi, Na. Jangan lupa besok aku mau sarapan nasi goreng."
          Ruang kerja Naina terlihat kosong. Bada sudah pergi sudah dari 40 menit yang lalu. Selama 40 menit 2 lembar halaman buku sudah Naina kerjakan. Tapi Naina kehilangan fokus. Naina penasaran ingin membaca lembaran kertas yang terletak di meja seberang tempat Bada tadi. Kadang Naina merasa Bada sering memperlakukannya seenaknya saja. Tapi yang aneh walau dengan muka nggak ikhlas dan kesal, Naina masih melakukan apa yang diminta. Tidak. Lebih tepat melakukan apa yang diperintahkan oleh Bada.
          Naina mengambil draft novel tersebut. Naina mencoba membaca sinopsis kurang dari sepuluh kalimat. Tepatnya delapan kalimat pendek tapi membuat Naina yang baru membacanya penasaran dengan isinya. Naina berpikiran Bada bisa memporak-porandakan hati pembacanya. Naina hanya perlu membaca draft novel ini sampai akhir untuk membuktikan penilaian Naina terhadap Bada.
        Naina langsung ke kamarnya membaca draft novel tersebut. Kebiasaan jelek Naina adalah dia suka membaca sambil tiduran di kamarnya. Soalnya Naina tidak nyaman membaca dalam keadaan duduk. Beruntungnya Naina tidak mengalami gangguan dengan matanya walaupun matanya sering digunakan untuk menatap layar laptop.
        Halaman demi halaman, bab demi bab diselesaikan Naina tanpa Naina merasa bosan. Tulisan Bada mampu membangunkan sisi ingin tahu akhir dari perjalanan karakter dari si tokoh. Bada mengemas karakter tokoh novel ini sangat normal senormal-normalnya laki-laki. Bukan laki-laki tampan bertubuh atletis dengan enam roti sobek yang sering diciptakan oleh penulis-penulis novel roman yang sering Naina terjemahkan. Laki-laki bertubuh gemuk, pemalas, seorang pengangguran dan selalu ingin tahu urusan orang lain atau bahasa sekarang 'kepo' digambarkan dengan apik sehingga memudahkan pembacanya untuk membayangkan wajah si tokoh novel bernama Jaya. Suatu hari Jaya dimintai tolong oleh teman SMU-nya untuk menguntit suaminya. Jaya, karena sifat kepo dan ikut campur urusan orang, mau-mau saja melakukan apa yang diminta oleh teman SMU-nya. Jaya mengeluarkan semua kemampuannya sehingga dia berhasil menemukan apa yang telah dilakukan oleh suami teman SMU-nya. Teman SMU-nya sampe memuji kehebatan Jaya dalam mencari suaminya sehingga dia menyarankan Jaya untuk membuka biro privat khusus mencari orang hilang. Nah cerita sebenarnya dimulai. Jaya mendapatkan klien pertamanya yang memintanya mencari anak hilang. Kasus kehilangan berubah menjadi kasus pembunuhan. Jaya yang hanyalah seorang pria yang suka ingin tahu dengan masalah orang lain dihadapkan permasalahan apakah dia harus meneruskan kasus ini karena rasa ingin tahu atau menghentikannya karena Jaya juga penakut. Dia takut terbunuh karena ingin tahu masalah orang lain. Konflik-konflik kecil yang bertentangan dengan hati lalu ditambah dengan kasus pembunuhan tersebut sebagai konflik utama jelas-jelas membuat ketegangan-ketegangan pagi membacanya. Naina langsung berdecak kagum kepada Bada. Naina mulai mengerti mengapa Bada akhirnya mengundurkan diri dari pekerjaan yang dia bilang monoton dan mencoba peruntungannya sebagai penulis baru. Bada memang memiliki bakat yang Naina anggap hebat. Sebagai seorang penerjemah, Naina kadang-kadang menerjemahkan kalimat-kalimat dalam setiap buku agar sesuai dengan substansinya. Kadang kala Naina harus memadankan kalimat yang sesuai agar tidak terkesan kaku. Ada saat dimana Naina memperoleh novel yang hampir seluruh isinya menggunakan kata kasar dan umpatan-umpatan yang jika Naina terjemahkan bulat-bulat maka buku ini tidak akan lulus sensor dan tidak akan mendapatkan izin untuk beredar di Indonesia. Tugas Naina sebagai penerjemah adalah mencoba menghaluskan kalimat-kalimat tersebut sehingga menjadi layak baca di Indonesia. Seorang penerjemah senior yang pernah menjadi tempat magang Naina ketika memulai profesinya sebagai penerjemah mengatakan bahka kekuatan orang bahasa adalah kata-katanya. Semua yang buruk bisa diperhalus dengan padanan kata yang sesuai. Kata-kata dapat dipermainkan. Kita dapat merancang kata-kata agar orang-orang yang membaca dapat mempercayai apa yang kita katakan. Dan Bada menunjukkan kekuatannya lewat kata-katanya. Sudah hampir tengah malam Naina baru menyelesaikan bacaannya. Badannya sudah lengket padahal Naina sudah mengantuk. Dengan kekuatan tersisa Naina melangkahkan kakinya mandi. Biar saja Bada mengetok-ngetok pintu pagarnya karena Naina tidak bangun-bangun. Memang ini salah siapa? Tentu saja ini salah Bada. Lelaki yang tak diundang, pulang tak diusir.

****

        Matahari sudah benar-benar tinggi. Naina baru terbangun setelah tidur nyenyak semalam. Bunyi ketokan gembok pagar terdengar semakin keras. Naina dengan muka bekas tidurnya yang belum dicuci membukakan pintu rumahnya melihat Bada yang sudah berdiri bosan sambil membawa laptop dengan charger seperti biasa terlingkar di bahunya.
         "Na...Aku udah lama bertengger disini. Tangan aku udah kapalan membunyikan gembok pagar. Kau baru bangun? Pantas dari tadi nggak ada jawaban." Tatap Bada dari atas sampai kakiku. "Rambut naik ke atas semua, iler dimana-mana." Bada menggeleng ampun.
          "Kalo pengen ngeliat cewek cantik dengan wajah udah dibedakin dengan bau parfum menyengat dan senyum manis, kayaknya bukan disini tempatnya. Pergi aja ke hotel. Nanti disambut oleh mbak-mbak resepsionis yang kau inginkan."
           Bada langsung masuk tanpa memperdulikan omongan sarkastis Naina. Naina sendiri langsung mandi soalnya hari ini Bada pasti akan mengajaknya berdiskusi soal draft novelnya.
          "Na, kok nggak ada lauk? Aku kan laper. Kemaren aku udah bilang mau nasi goreng. Udah nunggu lama eh pas liat tudung saji di meja makan, nggak ada lauk."
         Naina mendengar protes Bada yang cukup keras.
         "Nggak usah protes. Itu ada telor di kulkas. Tinggal ceplok. Atau masak mie aja. Sekalian masakin punyaku juga. Aku kan baru bangun. Ini gara-gara siapa coba? Nyuruh aku nyelesain baca draft novelmu. Pokoknya aku nggak terima disalahin. Aku mau mie dan telur pas aku udah selesai mandi. Awas kalo nggak", teriak Naina kepada Bada.
         Setelah selesai mandi dengan rambut yang sudah dikeringkan menggunakan handuk, Naina ke ruang makan. Disana Bada sudah tergeletak kekenyangan sambil bersendawa yang keras. Naina sendiri agak jijik gimana gitu. Bada kayaknya nggak lagi membatasi dirinya. Dia benar-benar sebebas orang yang baru keluar dari penjara.
         "Mana buatku?" Bada langsung membuka tudung saji. Disana sudah tersedia telur dadar dan nasi goreng. "Aku malas buat mie. Ka makan aja nasi goreng."
        Naina langsung menyendokkan nasi goreng ke piring dan meletakkan semua telur yang tersisa. Naina benar-benar merasa lapar. Apalagi semalam dia tidak sempat makan. Nasi goreng plus telur dadarnya habis tak meninggalkan jejak.
        "Nah gini dong. Sekali-kali masakin. Bukan hanya numpang makan."
        "Kau mau ke ruang kerja sekarang atau masih mau disini? Aku pengen tahu pemikiran kamu dengan tokoh novel yang aku buat. Aku butuh semacam opini kedua. Pak Gathan bilang dia mau ke rumah besok buat melihat kemajuan tulisanku."
         "Kita ke ruang kerja aja." Naina dan Bada menuju ruang kerja Naina. "Aku ambil dulu novelnya. Masih di kamar."
             

****
       


Someone Over The RainbowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang