Prolog

198 17 7
                                    

Dara terus melangkahkan kakinya dengan cepat. Saat ini ia sedang kerepotan karena memangku banyaknya tumpukan tugas kliping di tangan kirinya, dan tangan kanannya yang menempelkan sebuah ponsel di samping telinganya. Terlihat gadis itu memutar bola matanya kesal. "Ya elah, sabar kali, lo pikir bawa beginian gak berat? Mana masih jauh lagi."

Ia terus mempercepat langkah kakinya tanpa mempedulikan orang-orang yang juga sedang berlalu lalang di trotoar jalan. Terkadang ia tidak sengaja menubruk orang di sekitarnya lalu meringis setelahnya dan menggumamkan kata maaf.

Walaupun cuaca mendung, tetap saja jalanan padat. Jam pulang kantor. Oke, Dara baru ingat hal itu.

"Ya udah bentar lagi gue nyampe, lo pada tunggu aja di kelas, awas jangan kemana-mana." Lagi-lagi Dara tidak sengaja sedikit menubruk seseorang yang tak ia hiraukan karena teman-temannya sudah tidak sabar menunggunya.

"Eh, eh..."

Sekilas Dara merasa tas yang ia gendong sedikit lebih berat.

"Tunggu,"

"Tau ah. Lagian harusnya yang bawa beginian tuh cowok." Ia terus mempercepat langkahnya sambil tetap menggerutu kepada temannya yang sedari tadi belum memutuskan sambungan telepon.

"Maaf."

Entahlah, malah sekarang gadis berseragam SMP itu merasa ada yang mengikutinya. "Lo gak kasian apa sama gue? Badan gue kan kecil, dan ini berat banget." Ucapnya merengek.

"Hey, tunggu." Dara terkejut ketika ada yang menepuk lengannya pelan, hampir saja ia menjatuhkan ponselnya. Ketika ia menoleh ke belakang, seorang lelaki berseragam SMA sedang berdiri di hadapannya dengan nafas terengah.

"Maaf Dek, tas kita nyatu." Ucap lelaki tadi masih dengan nafas yang sedikit terengah.

Dara mengerutkan keningnya tak mengerti.

"Maksud gue gantungan tas kita saling nyantel." Lelaki tadi memperlihatkan ransel mereka tanpa melepas ranselnya yang menggantung pada pundak kirinya. Dengan cepat ia mencoba melepaskan gantungan ranselnya yang mengait pada gantungan ransel milik Dara. Oke, posisi mereka saat ini sangat dekat dan itu membuat jantung Dara berdetak sedikit tidak santai.

Entah bagaimana caranya gantungan ransel mereka bisa saling mengait seperti itu.

"Oke kita tunggu pokoknya. Cepet!" Samar-samar terdengar suara perempuan di ponsel Dara, lalu sambungan telepon terputus. Namun, gadis itu masih menempelkan ponselnya sambil memperhatikan lelaki tadi yang masih sibuk dengan gantungan ransel mereka yang belum terpisah.

'Ngakak.' Ucap Dara dalam hati.

Akhirnya gantungan ransel mereka bisa terlepas. Lelaki tadi tersenyum kikuk kepada Dara yang dibalas pula dengan senyum kikuk.

Lelaki ini hanya mengernyit bingung menatap gadis di hadapannya yang menurutnya agak aneh.

Belum beranjak, lelaki tadi masih tetap dengan posisinya. Sedang apa? Menunggu gadis di hadapannya meminta maaf, mungkin. Karena memang Dara yang salah kan, karena telah menubruknya?

"Uhm... sorry." Gumam Dara seakan peka.

"No problem." Jawabnya dengan mengangkat bahu tak acuh lalu melenggang pergi meninggalkan Dara.

Untuk kedua kalinya Dara tersentak. Namun kali ini karena ponselnya bergetar menandakan ada telepon masuk. Dan ia baru menyadari bahwa ponselnya sedari tadi masih menempel di telinganya.

"Buset, lo masih dimana?! Lama banget. Cepet woy kita udah bete!" Sambungan telepon langsung terputus.

Ia menyadari kebodohannya yang membuat lelaki tadi mengernyit bingung. Lelaki yang memanggilnya 'dek' yang seketika membuatnya ingin segera memasuki masa SMA.

---

Sempet ragu sih mau publish atau enggak, but yaa semoga pada suka deh hehe. This is my first story, btw.
Don't forget to vote & comment, guys:) *wkwk banyak maunya*

Udara dan OksigenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang