1.6 Detak, Pengakuan, dan Kesempatan

655 68 6
                                    

Ab, kamu ingat gak malam minggu pertama kita di bulan September? Malam itu hujan dan demi apa pun dingin banget. Sebelumnya kamu jemput aku dari jam tiga sore, tumbem ya hari sabtu kamu keluar rumah. Biasanya kamu malem mingguannya sama keluarga. Kamu sering cerita kalau orang tua kamu sering ngajak kamu main timezone, bahkan pernah sampai ngabisin uang satu juta.

Tapi aku senang mendengar cerita kamu dan orang tua kamu. Mama kamu bener-bener sayang dan perhatian banget sama kamu, beliau suka whatsapp kamu tiap saat dan wajibin kamu nelfon tiap satu jam sekali. Kalau Papa kamu lebih cuek, kamu cerita kalau Papa kamu sukanya Line kalau ada perlu doang. Yah, wajar sih Papa kamu 'kan orang sibuk. Tiap bulan paling dekat pergi ke Singapur, tapi kamu sih malah senang soalnya bisa nitip game baru.

"Mama lo gak apa ditinggal sendiri di rumah?" tanyaku sembari membuka buku menu. "Mama 'kan paling gak suka ditinggal sendiri gitu."

Kamu memajukan bibirmu beberapa senti, tanda bahwa kamu sedang bingung memilih menu. Lucu sekali, bikin aku pengen nyubit pipi kamu.

"Gak di rumah kok, Mama lagi ketemu temen SMA. Tadi gue anterin dia dulu ke GI baru ke rumah lo," kamu menjelaskan tanpa menatapku. Kayanya menu pizza lebih menarik ya daripada aku?

"Hm, ya udah mau pesen yang mana?"

Sudah sekitar lima belas menit kami membuka buku menu tetapi tidak juga memesan. "Paket berdua aja."

Akhirnya Mbak pizza hut dipanggil dan menulis pesanan kami. Kayanya kalau lima menit lagi kami gak mesan, dia bakal nendang kami keluar deh. Bercanda.

"Pau," aku mendongak, karena gak biasanya kamu manggil nama aku dengan nada serius. "Gue mau ngomong tapi nanti aja."

"Dih, gak jelas kamu Bra," kataku meledek. Iya, aku suka manggil dia Bra kalau sedang bete. Kalau aku udah manggil kamu Bra, kamu pasti langsung berusaha bujuk aku biar gak marah lagi.

"Kan nyari momen, Pau, biar pas." Kamu cengengesan, gak jelas tapi lucu. "Kalo gue ngomong sekarang nanti malah awkward."

"Dih kaya mau nembak aja," balasku asal sambil memainkan ponsel. Anehnya kamu gak bales omongan aku, jadi aku mendongak untuk melihat ekspresi kamu yang aneh. "Kenapa sih, Ab? Lo aneh deh."

Kamu malah menggeleng, "gak apa."

Lima belas menit kemudian pesanan mulai datang. Kamu langsung ambil dua potongan pizza ke piring dan mulai memakannya. Kayanya kamu laper banget ya, Ab? Aku jadi kasihan gitu liat kamu kelaperan. Salahku juga sih kelamaan di toko buku.

"Kenyaanggg," ujarku sambil menepuk perut yang membuncit. Pizza, pasta, dan minuman sudah kandas, berpindah tempat ke perut kami.

"Yuk, balik." Kamu udah berdiri, sambil mengulurkan tangan seperti biasa. "Tar kena macet kalo gak balik sekarang."

Aku mengangguk, menyampirkan tas di bahu dan meraih tangan Abra. Tangan kananmu penuh dengan belanjaan milikku, padahal aku bilang bisa bawa sendiri tapi kamu keukeh mau bawain. Kamu tuh terlalu manis tau, Ab.

Parkiran mobil di rooftop sepi, hanya ada mobil yang terparkir. Malam ini Abra gak bawa si Minzy, tapi bawa Audi R8 putih yang diberi nama Didi. Sangat kreatif memang penamaan mobilnya.

Kamu menyuruhku menunggu dan duduk di kap mobil, tapi aku deg-degan takut mobil kamu kegores. Serius deh, Ab! Gak perlu kaya di tumblr kalau cuma mau ngomong.

"Sini, nyenderan, Pau. Lu duduk apa cuma nempelin pantat dah?" Abra malah langsung duduk dan menjadikan kaca depan mobil sebagai sandaran baginya. "Buru, Pau."

Aku menghela dan mengikutinya. Bedanya aku duduk dengan perlahan dan berhati-hati. Uang jajanku setahun juga gak bakal bisa bawa mobil ini ke bengkel.

"Bintangnya lagi bagus ya," kamu sudah berbaring dengan kedua tangan sebagai bantal. "Mungkin karena baru hujan."

Aku setuju dengan pernyataan kamu. Malam itu langit lagi cerah banget. Bulan terlihat bulat dan bersinar terang ditemani bintang-bintang.

"Gue ... suka sama lo." Pernyataan kamu buat aku diam. Dari nada kamu kelihatan jelas bahwa kamu gak mau aku potong. Jadi aku hanya memasang telingaku untuk mendengar perkataan kamu selanjutnya. Kalau boleh jujur aku deg-degan parah!

Matamu masih menatap lurus ke langit. "Kalau buat lo pertama kali liat gue adalah saat daftar ulang, tapi lo salah. Pertama kali gue liat lo adalah saat verifikasi rapot. Lo duduk di seberang gue, tapi lo terlalu sibuk ngobrol sama temen lo. Tapi bukan itu yang bikin gue jatuh cinta sama lo. Saat itu cewek di samping lo lagi pilek dan without a word lo ngeluarin tisu buat dia. Setelah verif lo duduk tiga baris jauhnya dari gue. Lo kepisah dari temen lo, tapi dengan mudah ngobrol sama cewek di samping lo. Meski baru kenal, saat dia bilang laper lo langsung ngeluarin roti dan ngasih dia."

Aku ingat kejadian yang disebutkan oleh kamu, Ab. Tapi yang aku gak sangka adalah bahwa kamu begitu memperhatikan aku.

"Saat itu gue mikir: ada ya cewek kaya dia? Meski gak orang gak minta atau pun bilang butuh sesuatu, kalau lo bisa ngasih yang dia butuhin tanpa banyak omong lo bakal ngasih apa yang mereka butuhin. Jadi, pas daftul dan lo duduk di samping gue, dengan berani gue ngajak lo ngomong. Karena gue sadar gak akan ada kesempatan kedua," kamu menoleh membuat mata kita saling bertemu.

Matamu melembut dan tanganmu terulur untuk mengusap pipiku. "Gue jatuh cinta sama lo, Pau."

Malam itu bukan hanya indah karena bulan dan bintang, tapi juga pernyataan yang keluar dari mulut kamu.

"Bisa gak kita kasih kesempatan untuk bersama? Lo dan gue, Pau. Meski kita beda, bukan berarti kita gak bisa bersama 'kan?"

Aku mengangguk, karena jujur aku menginginkan hal itu. Aku menginginkan kita untuk bersama dalam perbedaan yang ada. Entah apa kata orang tuaku nantinya, tapi untuk saat ini aku ingin bersikap egois. Aku ingin egois untuk bisa bersama kamu. Karena aku tahu bahwa, "gue juga merasakan hal yang sama, Ab."

* * *

Let US GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang