1.1 Awal dari Kisah Ini

1.6K 89 19
                                    

30 Mei 2016

Hari itu aku dan kamu duduk bersisihan untuk pendaftaran ulang. Awalnya kamu diam, tapi saat aku mengeluarkan ponsel dan membaca webtoon kamu langsung berkata: baca God of High School juga?

Kalau kamu lupa, muka aku saat itu bener-bener bingung. Like, emang yang baca GoHS lo doang? Maaf ya kalau aku mikir kata gitu. Abis kamu 'kan tau kalau aku sensian orangnya.

"Eh, iya," aku menjawab setelah jeda lima detik. "Lo juga?"

"Iya nih, seru sih. Terus apa lagi yang lo baca?" mata kamu saat itu bersinar, seakan menemukan harta karun.

"Un, banyak sih. Gue baca Girls of Wild's, Noblesse, Dice, Untouchable, We Just Broke Up, ini gue sebutin semua?" kataku lelah.

Kamu tersenyum, menunjukan lesung di kedua pipimu. "Lo baca semua genre apa gimana?"

"Gak semua, gue gak baca horror soalnya." Aku menjawab sambil meringis yang malah membuatmu tertawa. "Oh, gue Pau."

"Pau? Lengkapnya? Gue Abraham Geraldi," kamu menyambut uluran tanganku. Saat itu aku merasa sangat kecil dalam genggaman tanganmu.

"Lengkapnya Freya Aulina," saat itu muka kamu tuh bingung membuat aku tertawa. Padahal aku udah sering ngeliat ekspresi kaya gitu, tapi ekspresi kamu saat itu bikin aku gemes. "Mama kebiasaan manggil Pau dari dulu jadi sampe sekarang dipanggil Pau deh."

"Oh," kamu menganguk kecil. "Lo jurusan apa?"

"Indonesia, lo Akuntansi ya?" tebakanku saat itu membuat kamu kaget, kamu pasti bingung kenapa aku tau 'kan? Tapi kenyataannya aku juga tak tau, hehe.

"Kok tau?"

Aku mengetuk jari telunjukku di kening, "ada tulisannya di jidat lo. Haha, bercanda kok. Gue asal nebak aja lagi dari kemaren gue duduknya sama anak FEB mulu sih jadi curiga aja lo anak akuntasi, eh bener."

Kamu ikut tertawa saat itu. "Antrian berapa? Gue tiga ratusan nih."

"Eh? Sama gue juga 300an, gue 319, lo?"

"Gue 318, ya udah nanti kita bareng-bareng aja ya." ajakan kamu saat itu benar-benar menghipnotis. Membuatku mengangguk dengan ikhlas.

Saat menunggu itu aku tahu kamu merupakan anak tunggal dan akuntansi adalah pilihan tunggalmu. Kamu bercerita bahwa dengan restu orang tua kamu bisa ada di tempat sekarang. Kamu bercerita bahwa kamu sebenarnya ingin sekali memiliki seorang adik perempuan, tapi tidak bisa. Kamu bercerita bahwa rahim ibumu sudah diangkat karena penyakitnya. Kamu bercerita seakan kita sudah mengenal sangat lama.

"Tiga hari sebelum UN gue diputusin sama cewek gue. Alesan klasik: pengen fokus UN. Halah bangsat, padahal besoknya dia jalan sama adik kelas. Brengsek banget emang," katamu kesal. Jujur saja saat itu aku takut melihat kamu seperti itu. Jadi yang dapat aku lakukan adalah mengelus pundakmu, mencoba untuk menenangkanmu.

"Selama SMA gue gak pacaran. Ada sih yang hampir jadian tapi ternyata gue cuma bahan taruhan. Sedih sih, tapi sukurin Allah itu adil. Dia nyakitin gue dan pada akhirnya dia gak dapetin apa yang dia harepin." Aku mengingat tentang Jay, kakak kelas brengsek yang sekarang entah ada dimana. Untungnya sih dia gak ada di kampus ini, manusia sialan itu ada masuk kedinasan entah apa dan dimana.

"Dia pasti nyesel," katamu sambil menatapmu. "Karena ngelepas cewek sekeren lo."

Saat itu aku tersentuh sampai senyumku tercipta, bagai orang bodoh karena sebuah kata sederhana darimu membuat aku bahagia. Membuat kupu-kupu yang selama ini tak pernah aku rasakan, muncul lagi ke permukaan.

"Eh, lo gak sholat?" tanyamu padaku. Aku menggeleng, "lagi enggak."

"Oalah. Kalau gue sih emang gak sholat. Soalnya gue ke gereja," saat itu jantungku rasanya berhenti berdetak selama satu detik. Ternyata kita beda ya.

Kita terus saja mengobrol, bahkan saat menunggu antrian. Yang paling membuatku tersentuh adalah meski pun kamu sudah mendapat KTM, kamu masih menungguku sampai aku mendapat KTM. Aku ingat kamu harus menunggu sampai pukul sepuluh malam karena aku. Kita berdua sama-sama duduk di trotoar, meluruskan kaki dengan air mineral botol di pahaku dan kebab terenak sepanjang masa di tangan masing-masing.

"Lo pulang sama gue aja," katamu saat aku selesai menghubungi kakakku yang tiba-tiba saja membatalkan janji untuk menjemputku.

"Rumah lo di Bekasi, gue di Cililitan. Gak usah deh, gue naik-"

"Lo gue anter pulang. Bodo amat," kamu entah kenapa begitu keras kepala membuatku mau tak mau mengikuti keinginanmu dan tersenyum di balik kebab.

Jadi malam itu kamu mengantarku, dengan mobil jazz putih yang kamu namai Minzy. Tapi kita tak langsung pulang karena kebab rasanya tak cukup untuk mengganjal lapar, kamu malah menepikan mobil di MCD dan aku mengikuti dengan sangat bahagia. Kamu memesankan double cheese burger untukku, dalam hati aku bertanya apa kamu ingat apa yang aku katakan siang tadi? Apa kamu ingat jika aku ingin makan double cheese burger?

"Gak apa 'kan kalau lo pulang jam segini?" tanyamu saat membuka bungkus nasi milikmu.

"Hue uha ihin hok."

"Telen dulu," katamu sambil terkekeh.

"Udah ijin kok," ulangku lebih jelas. "Lagi gue gak akan menyia-nyiakan makanan gratis."

"Dasar," kemudian kamu memberikan ponselmu padaku. "Tulis nomer lo sama add line lo."

Aku melakukan sesuai perintahmu. "Mau nambah kentang gak?"

Aku mengangguk lagi, "sama sundae cokelat plis."

Meski wajahmu sinis tapi kamu tetap membelikannya untukku. Dasar tsundere. Tapi aku senang. Sangat senang malah. Aku gak menyesal mengenalmu. Gak menyesal telah memiliki rasa untukmu. Meski kita bersama namun untuk waktu yang tak lama, aku bahagia. Dan aku bersyukur telah mengenalmu.

Jadi, meski telah mengetahui akhir dari kisahku, apa kamu masih akan tetap membacanya sampai akhir?

* * *

Let US GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang