1.5 Rasa yang Tak Seharusnya Dimiliki

614 66 12
                                    

Akhirnya setelah rangkaian ospek berakhir, aku bisa bernapas dengan bahagia. Sudah seminggu ini aku menjalani kuliah, meski harus menelan kekecewaan karena seminggu ini hanya ada presensi. Bikin bete.

Pau, margo kuy

Itu pesan dari Abra, yah siapa lagi kalau bukan dia. Seminggu ini dia juga sama sepertiku, cuma presensi pas di kelas. Ada sih beberapa dosen yang masuk kelas tapi cuma untuk perkenalan, sisanya? Mungkin sibuk rapat atau tengah di luar negeri.

lo udah kelar?

Kalau aku sekarang sih udah gabut, jadi aku dan temanku sudah duduk cantik di bawah payung kantin. Di depanku sudah ada semangkuk yamien yang sudah habis setengahnya. Demi apa pun ini adalah yamien terenak, yah mungkin karena aku lapar.

Lagi ada dosen sih, tapi cuma perkenalan gitu. Kalo udah kelar gue langsung ke sana.

Karena terlalu malas membalas aku hanya membaca pesan dari kamu, maaf ya Ab. Maaf ya Ab.

"Anjir liat si Pau makan jadi pengen gue," itu Jihan yang tadinya gak bilang gak mau makan hal yang berbau mie tapi sekarang langsung ke kantin untuk memesan makanan yang sama sepertiku, dasar.

"Gue juga mau deh," dan entah bagaimana satu meja itu makan mie yamin tau mie ayam semua. Bahkan temanku yang duduk di bawah pun makan-makanan yang sama.

Gue lagi di teksas nih, masih di kansas?

Aku meraih gelas berisi es teh yang sudah tinggal setengah kemudian meminumnya hingga habis. Setelah itu baru aku membalas pesan Abra.

iya, mau ke sini? atau tunggu di klaster aja ya? tar gue ke sana.

Klaster itu kelas terbuka, dekat musholla. Ada sebuah bangku panjang dan lantai yang dibuat dari potongan keramik. Klaster berbentuk lingkaran di bawah pepohonan teduh dan dekat danau. Tempatnya tuh enak banget buat kumpul, atau sekedar duduk cantik menikmati angin sepoi di siang hari.

Ya udah. Sini.

Aku berdiri dari bangku, meraih tasku yang berada di bawah meja. "Duluan ya semua." Pamitku yang langsung dibalas dengan nada dan jawaban yang tidak serempak.

Saat tiba, kamu sudah duduk manis di klaster dengan earphone yang menutupi telingamu. Aku masih berdiri jauh dari kamu hanya untuk menatap kamu yang terlihat asik dengan duniamu. Kamu yang lagi dengerin musik sambil menaik turunkan kepalamu terlihat sangat menarik. Aku jadi senyum sendiri melihat kamu. Sampai akhirnya kamu mendongak dan memberikan senyum lebar yang memperlihatkan gigi putihmu. Aku melambaikan tangan ke arahmu dan mulai berjalan mendekati kamu.

"Hei," sapamu masih dengan senyum lebar. Kamu menepuk tempat kosong di samping kananmu, "duduk dulu sini."

Aku mengikuti kamu, yah aku 'kan memang kerjaannya ngikutin apa yang kamu minta deh kayanya. "Lo udah makan?"

Aku mengangguk, "oke. Lo solat dulu aja sana. Gue tungguin di sini."

Mendengar itu membuat hatiku tercubit, tapi aku sadar apa yang kamu ucapkan untuk kebaikanku. Tapi dengan egoisnya aku berharap kamu dan aku pergi ke tempat ibadah yang sama. Mungkin aku terlalu delusional ya? Mengharapkan sesuatu yang sulit untuk terjadi.

"Ya udah, gue nitip tas ya." Aku mengeluarkan mukena milikku kemudian berjalan menuju musholla. Siang itu, aku berdoa atas segala harapanku. Aku berdoa, berharap aku dan kamu bisa bersama. Berada di bawah naungan iman yang sama. Segala yang aku harapakan tentang kita aku ceritakan semuanya kepada Sang Pemilik Segalanya. Aku percaya tiap pertemuan tak ada yang kebetulan. Tiap perkenalan tak ada yang sia-sia. Semua sudah diatur. Dan aku percaya antara kamu dan aku memiliki sebuah jalan untuk kisah kita berdua.

Mungkin rasa ini salah dan tak di tempat yang seharusnya, kepada orang yang tak seharusnya. Aku tahu dengan pasti dan jelas bahwa ini sesuatu yang tak boleh aku miliki. Tapi semakin lama rasa ini malah semakin dalam dan menyakitkan.

* * *

Let US GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang